Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
PERSATUAN Indonesia dalam sila ketiga sesungguhnya mempertemukan antara BhinÂneka (bercerai berai) dengan Tunggal Ika (Menjadi tetap satu). Sederhana dalam ucaÂpan tetapi tentu tidak mudah mewujudkannya menjadi satu kenyataan. Kenyataan bangÂsa Indonesia yang bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, serta dipisah-pisahÂkan oleh laut dan kondisi objektif alam membuat ke-bhinneka-an ini menjadi sulit di-tunggal ika-kan. Diperlukan kebesaran jiwa dan kejernihan pikiran serta kearifan para tokoh untuk menguntai kebhinÂnekaan itu menjadi satu kesatuan yang utuh (tungÂgal ika).
Empu Tantular, seorang arif yang pertama kali memopulerkan istilah Bhinneka Tunggal Ika di dalam karya monumentalnya 'Hutasoma'. MungÂkin ia tidak pernah membayangkan istilah yang dirumuskannya itu akan menjadi simbol pemerÂsatu bangsa dan negara yang amat dahsyat di kemudian hari. Para founding fathers bangsa ini memungut istilah ini sebagai ungkapan untuk mewadahi keberadaan bangsa Indonesia yang sedemikian heterogen dan plural menjadi sebuah negara ideal, Negara Kesatuan Republik IndoÂnesia (NKRI). Kalimat ini tergores di dalam pita yang dicengkeram burung garuda. Hingga saat ini menururut bacaan penulis belum pernah seÂorang pun mempersoalkan kalimat tersebut. Kata "Ketuhanan Yang Maha Esa" masih ada yang mempersoalkannya tetapi kata ini seolah bebas dari cela untuk dikritisi. Hal ini bisa dimaklumi karÂena semua agama dan kepercayaan serta adat istiadat sepertinya sepakat menganggap istilah itu penuh kearifan.
Al-Qur'an sendiri sesungguhnya mempunyai semangat yang sama dengan istilah tersebut. Al-Qur'an menegaskan bahwa perbedaan, hetÂerogenitas, dan pluralitas adalah sunnatullah. Menolak keragaman berarti menolak sunnatullah. Dalam Al-Qur'an ditegaskan: Wa lau sya'a RabbuÂka laja’alnakum ummatan wahidah (Jika Tuhan-Mu menghendaki niscaya ia menjadikan kalian suatu umat/(Q.S. al-Maidah/5:48). Dalam ayat tersebut AlÂlah Swt menggunakan kata lau, bukannya in atau idza. Dalam kaedah Tafsir dijelaskan, apabila Allah menggunakan kata lau (jika) maka sesungguhnya hampir mustahil kenyataan itu tidak akan pernah terÂjadi. Kalau kata in (jika) kemungkinan kenyataan itu bisa terjadi bisa juga tidak, dan kalau kata idza (jika) pasti kenyataan yang digambarkan itu akan terjadi. Masalahnya sekarang kamus bahasa Indoneseia kita tidak memiliki kosa kata sepadan dengan bahaÂsa Arab, sehingga keseluruhannya diartikan dengan jika (if). Al-Qur’an mempersilakan manusia berbeda-beda tetapi jika terjadi konflik Al-Qur'an mengajak para pihak untuk kembali kepada prinsip kesamaan (kalimah sawa'/common platform).
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Senin, 08 Desember 2025 | 19:12
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00
Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12
Senin, 08 Desember 2025 | 12:15
UPDATE
Jumat, 19 Desember 2025 | 00:09
Jumat, 19 Desember 2025 | 00:01
Kamis, 18 Desember 2025 | 23:47
Kamis, 18 Desember 2025 | 23:26
Kamis, 18 Desember 2025 | 23:19
Kamis, 18 Desember 2025 | 23:12
Kamis, 18 Desember 2025 | 23:00
Kamis, 18 Desember 2025 | 22:53
Kamis, 18 Desember 2025 | 22:24
Kamis, 18 Desember 2025 | 22:24