Gabungan Pelaksana KonÂstruksi Indonesia (BPP Gapensi) mengusulkan agar batas atau plafon proyek pemerintah yang tidak boleh digarap oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinaikkan dari Rp 50 miliar menjadi Rp 100 miliar. Cara ini dinilai ampuh untuk mendorong peran swasta di daerah untuk menggarap proyek infrastrukÂtur, utamanya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Permintaan pengusaha kok nggak ada habisnya.
"Kalau akhir-akhir ini ada hiruk pikuk minimnya peran swasta, itu memang ada beÂnarnya. Plafon Rp 100 miliar ini sangat tepat untuk mendorong swasta dalam menggarap inÂfrastruktur. Respons pemerintah sangat positif penerapannya tahun depan," ujar Sekjen GapÂensi Andi Rukman Karumpa di Jakarta, kemarin.
Andi mengatakan, sebelÂumnya, plafon nilai proyek pemerintah yang tidak boleh digarap perusahaan negara atau perusahaan besar adalah kurang dari Rp 50 miliar. Sebab itu, Gapensi telah mengusulkan nilainya plafon dinaikkan. Dengan plafon proyek Rp 100 miliar ini, tidak saja mampu melindungi kontraktor lokal, namun juga mempertegas segÂmentasi pasar konstruksi.
"Tentu plafon ini akan memÂpertegas implementasi dari segmen konstruksi nasional," ujar Andi.
Andi memaparkan, pemÂbagian pasar konstruksi telah diatur dalam Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 dan Peraturan Menter Pekerjaan Umum No 31 Tahun 2015. Keduanya mengÂatur segmentasi pasar proyek konstruksi yakni usaha konÂstruksi kecil menggarap proyek pemerintah di bawah Rp 2,5 milÂiar, menengah-1 sebesar Rp 2,5 miliar-Rp 50 miliar, menengah-2 sebesar Rp 50 miliar hingga Rp 100 miliar. Sedangkan besar dan asing menggarap proyek di atas Rp 100 miliar.
Ia menjelaskan, plafon Rp 100 miliar dapat mencegah kesenjangan penguasaan pasar konstruksi antara usaha kecil, menengah dan besar. Pasar konÂstruksi nasional masih dikuasai oleh segelintir perusahaan besar. "Yang besar-besar tidak banyak, tapi dia kuasai 87 persen pangsa pasar. Sedangkan kontraktor lokal dan kecil-kecil hanya 6 persen," ungkap Andi.
Karena itu, untuk memperkeÂcil kesenjangan pasar tersebut, perlu ditingkatkan plafon pasar yang tidak boleh digarap oleh BUMN dan usaha besar. Selain itu, kemitraan antara kontraktor kecil dan menengah dengan pengusaha besar harus ditingÂkatkan.
"Kesenjangan ini harus segera diperpendek dengan regulasi sesuai dengan Nawacita. TuÂjuannya, untuk meningkatkan kemitraan antara kecil, menenÂgah berupa kesempatan
join operation dengan penyedia jasa kualifikasi dengan yang besar," pungkas Andi.
Andi menambahkan, sektor konstruksi memiliki konstribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi yakni sebesar 10,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada tahun lalu dan memiliki
mulÂtiplier effect terhadap sektor lain. Bahkan pasar konstruksi Indonesia merupakan pasar konstruksi terbesar di Asia Tenggara dan nomor 4 terbesar di Asia, setelah China, Jepang dan India.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono meminta para eselon Idi jajarannya untuk mengamati dan mengawasi duÂgaan tren BUMN memonopoli pekerjaan di proyek infrastrukÂtur nasional. "Nanti saya minta para dirjen awasi dan amati hal ini. BUMN itu tak layak garap proyek-proyek kecil. Ini yang mungkin dilakukan oleh anak cucu usaha BUMN tersebut," kata Basuki. ***