DALAM banyak hal boleh dikatakan penandantangan Heads of Agreement ( HoA) yang dilakukan PLN dengan Keppel Offshore dan Pavilion Energy Singapore adalah bagian kerjasama di bidang energi antara kedua negara, sehingga dipilihnya event nostalgia 50 tahun persahabatan kedua negara adalah suatu kebodohan yang sangat memalukan Indonesia sebagai bekas produsen gas terbesar di dunia .
Bisa jadi Menko Kemaritiman salah menerima informasi secara utuh peta bisnis LNG nasional dari para pembisiknya terkait tidak memberi tahu bahwa PT Pertamina (Persero) diwakili Direktur Energi Baru Terbarukan Yeni Andayani telah menandatangi MoU dengan Pavilion Energy Ltd Singapore yang diwakili CEO Seah Moon Sing pada tanggal12 Juni 2016 di Singapura.
Memorandum of Understanding (MoU) Pertamina dan Pavillion ini dalam rangka Pertamina mengembangkan bisnis LNG ke Asean. Pertamina perlu ekspansi ke Asean, karena PLN, yang awalnya diharapkan sebagai
anchor buyer pembangunan infrastruktur LNG domestik, ternyata enggan bekerja sama dengan Pertamina.
Anehnya lagi, ternyata PLN lebih memilih melelangkan keperluan pembangkit listriknya yang sekaligus disertai dengan fasilitas penyimpanan dan regasifikasi LNG.
Padahal strategi bisnis seperti ini, sebenarnya PLN telah mengabaikan Pertamina sebagai sesama BUMN. PLN lebih memilih pihak lain untuk menyediakan infrastruktur LNG.
Oleh karena itu, maka tak salah Pertamina tahun lalu memilih bekerja sama dengan Pavillion LNG untuk bisa memasuki pasar ASEAN, daripada harus berurusan dengan PLN. Namun, tidak dinyana PLN justru mengikat perjanjian dengan Pavillion dan Keppel untuk membangun LNG skala kecil, di mana perjanjian yang senada, juga ditandatangani oleh Pertamina untuk membangun infrastruktur di Asean.
Kejadian ini bukan hanya menunjukkan adanya praktik-praktik yang tidak etis dalam pengelolaan kekayaan negara yang dikuasakan kepada BUMN. Namun juga bentuk nyata tiadanya koordinasi antar kedua BUMN besar tersebut, sehingga kalau kontrak PLN tetap dilanjutkan sama saja "jeruk makan jeruk".
Ibarat kata dalam hal ini PT PLN "malu bertanya sesat di jalan" atau "sok hebat atas kegiatan yang dia tidak pahami". Adapun petaka ini dimulai ketika Direktur Perencanaan Strategis PLN Supangkat Iwan Santoso saat itu mengatakan PT PLN secara mendadak mengubah konsep sturktur proyek disisa tender pembangkit 18 ribu MW dari total 30 ribu MW.
Dia katakan "konsorsium yang memenangkan tender hanya bertugas membangun pembangkit dan infrastruktur saja, tidak perlu menyediakan gas sekaligus, nanti PLN yang akan menyediakan gasnya, energi primer (gas) harus negara yang kuasai melalui PLN agar seluruh pembangkit ada jaminan pasokan," tutup dia kepada
Kontan (21/5).
Sejalan dengan itu, tentu perlu dicarikan solusi atas keterlanjutan yang sangat memalukan negara kita dimata dunia migas. Adapun langkah yang harus dilakukan adalah lebih baik HoA antara PLN dan kedua perusahaan Singapura itu dibatalkan dan menggantinya MoU dengan Pertamina.
Namun apabila kita ingin bersimpati dengan Singapura, karena sudah terlanjur tanda tangan HoA dalam suasana hubungan baik antar dua negara bersahabat, maka pihak Pavillion dan Keppel bisa diajak ikut serta sebagai pihak dalam MoU yang baru tersebut dengan kapasitas masing-masing sesuai kemampuannya, yaitu utilisasi fasilitas penyimpanan LNG milik otoritas LNG di Singapura untuk Pavillion dan untuk kajian teknik dan rekayasa fasilitas LNG skala kecil untuk Keppel.
Mungkin kejadian ini merupakan aib besar bagi tata kelola energi kita yang harus dibayar mahal akibat tidak sinerginya sesama BUMN energi kita.
Mungkin terkesan agak kurang
elok, manurut saya, di bagian penutup kalimatnya Menko Kemaritiman pada konferensi pers tanggal 13 September yang menyatakan bahwa studi bersama tetap dilakukan terus, kalau enam bulan cost-nya tidak masuk ya tidak jadi, Perjanjian itu ada dan tidak kami langgar, kami juga ngak bodoh-bodoh amat. Kami tidak ingin melacurkan diri untuk hal seperti itu. Dia kan belum pernah akan mati untuk negeri ini.
Seharusnya pemerintah segera memerintahkan kepada PLN , PGN dan Pertamina bersinergi dan action segera membangun fasilitas infrastruktur gas didaerah strategis dengan skala besar dan kecil untuk menunjang ketahanan energi nasional ketimbang harus tergantung pada negara kecil yang sumber gasnya juga dari negara kita selama hampir 20 tahun. [***]
Penulis adalah Direktur Eksekutif Center off Energy and Resources Indonesia (CERI)