Masih banyaknya lembaga keuangan non bank yang belum memenuhi kewajiban besaran investasi di surat berharga negara (SBN), membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melonggarkan aturan tersebut.
Wasit perbankan ini memuÂtuskan menambah instrumen investasi sebagai pengganti SBN dalam memenuhi batas miniÂmum yang dipersyaratkan.
Relaksasi ini tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) NoÂmor 56/ POJK.05/2017 tentang Perubahan Kedua Atas POJK Nomor 1/POJK.5/2016 tentang Investasi SBN Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang ditandatangani Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh SanÂtoso pada 28 Agustus 2017.
"Untuk dapat lebih mendorong peranan investor dalam pembanÂgunan nasional dan mengakomoÂdasi dinamika dan harapan LemÂbaga Jasa Keuangan Non-Bank, serta mempertimbangkan peÂmenuhan batasan investasi, perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan OJK dimaksud," tutur Wimboh, kemarin di Jakarta.
Dalam beleid teranyar itu, OJK menyebutkan jenis instruÂmen yang kini diperbolehkan menambal porsi SBN, yaitu efek beragun aset (EBA), reksa dana penyertaan terbatas (RDPT) maupun instrumen investasi lainnya, yang penggunaannya untuk pembiayaan proyek inÂfrastruktur pemerintah.
Sebelumnya, OJK telah memÂperbolehkan instrumen obligasi atau suku terbitan Badan Usaha Milik Negara/ Daerah untuk keperluan infrastruktur guna menambal porsi SBN.
Instrumen investasi penambal SBN tersebut harus tercatat di OJK dan memiliki peringkat inÂvestment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui oleh regulator.
Instrumen baru ini dapat diperhitungkan sebagai pemenuÂhan ketentuan batas minimum penempatan investasi di SBN maksimal sebesar 50 persen dari batas minimum yang dipersyaratÂkan. Di mana batasan minimum sendiri berbeda-beda bergantung pada sektor industri.
Sebagai informasi, batasan minimal penempatan investasi pada SBN/substitusi SBN sendiÂri berbeda-beda bergantung jenis industri IKNB. Namun, batasan maksimal penempatan investasi pada instrumen SBN/substitusi SBN, yakni 50 persen dari total investasi perusahaan.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu, relaksasi baru tersebut membuat industri lebih leluasa mengatur strategi investasinya, yang pada akhinya bisa memenuhi aturan OJK.
Selain itu, Togar menilai relakÂsasi OJK memudahkan industri mendongkrak hasil maksimal dari investasi yang mereka pilih. ArtiÂnya, industri diuntungkan dengan adanya POJK yang baru.
"Termasuk mencari yield investasi yang lebih tinggi dari instrumen efek beragun aset dan reksadana penyertaan terbatas. Pasalnya, secara historis kedua instrumen tersebut menawarkan imbal yang lebih tinggi ketimÂbang obligasi pemerintah," ucap Togar.
Apalagi belum lama ini, kata Togar, Bank Indonesia juga baru menurunkan bunga acuan sebesar 25 bps. Hal ini disebutnya bisa merembet ke sejumlah instrumen lain. Mulai dari deposito sampai surat utang baik yang diterbitkan oleh pemerintah maupun swasta.
"Dengan begitu, beberapa instrumen akan mengikuti acÂuan suku bunga tersebut. Akan semakin menggiurkan imbal hasil yang ditawarkan (EBA dan RDPT)," katanya.
Seperti diatur dalam POJK 1 TaÂhun 2016, asuransi umum dan reaÂsuransi batas minimalnya adalah 20 persen dari total dana investasi perusahaan. Hal sama juga berlaku untuk lembaga penjaminan.
Kemudian, untuk asuransi jiwa, dana pensiun pemberi, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan batas minimalnya adalah 30 persen.
Sementara, batas minimal investasi untuk BPJS KetenaÂgakerjaan sebesar 50 persen dari seluruh jumlah investasi Dana Jaminan Sosial KetenaÂgakerjaan dan 30 persen dari seluruh jumlah investasi BPJS Ketenagakerjaan. ***