Petani tebu menyesalÂkan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menolak mengerek harga eceran Tertinggi (HET) gula.
"Hitungan Mendag tidak masuk akal, tidak raÂsional. Kami akan datang lagi ke Jakarta (demo)," ancam Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M Nur Khabsyin kepada Rakyat Merdeka, pada akhir pekan.
Khabsyin menduga, biaya produksi gula yang dipaparkan Mendag adaÂlah biaya produksi gula di pertanian di luar negeri. Menurutnya, tidak adil membandingkan biaya produksi di dalam negeri dengan luar negeri karena strukturnya berbeda.
Dia mengaku, biaya produksi di luar negeri lebih rendah. Karena, lahan perÂtanian di luar negeri masih tersedia cukup luas dan bunga kredit usaha sangat rendah.
Khabsyih berharap, pemerintah bijaksana dalam mengambil keputusan.
Seperti diketahui, ribuan petani tebu belum lama ini menggelar demonstrasi di depan Istana negara. Mereka menuntut HET gula dinaikkan menjadi Rp 14.000 per kilogram (kg). Alasannya, harga itu terlalu tipis dengan biaya produksi petani sebesar Rp 10.600 per kg. Hal itu menyebabÂkan margin untuk distribusi mepet. Akibatnya, harga gula di level petani jatuh. Para pedagang membeli gula di bawah Rp 10.000 per kg.
Namun demikian, MenÂteri Enggar menolak tuntuÂtan tersebut. Enggar belum lama ini menyampaikan bahwa HET sekarang sudah memberikan margin yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan biaya pokok produksinya.
"Saya bilang tidak mungkin saya naikkan (HET gula), karena marginnya sudah terlalu besar, harusnya diturunkan," kata Enggar.
Enggar menerangkan, biaya produksi di pabrik gula tebu swasta yang memiliki perkebunan tebu sendiri hanya sebesar Rp 6.000 per kg. Sedangkan untuk pabrik gula yang mesti membeli tebu diperÂhitungkan maksimal Rp 8.000 per kg. Kemudian, Untuk raw sugar yang dioÂlah menjadi gula kristal putih berkisar Rp 8.000 sampai Rp 8.500 per kg.
Untuk mengatasi petani yang mengaku alami keruÂgian, menurut Enggar, buÂkanlah menaikkan HET gula, tapi dengan melakuÂkan revitalisasi dari fasilitas pabrik gula milik Badan Usaha Milik Negara. DenÂgan melakukan revitalisasi, diharapkan pekerjaan mesin tersebut menjadi lebih efisien dan dapat menekan ongkos produksi yang terÂlampau tinggi saat ini.
"Kalau HET yang dinaikÂkan, rakyatlah yang harus menanggung beban akibat ketidakefisienan sekelomÂpok perusahaan. Apakah adil 258 juta rakyat IndoÂnesia harus menanggung ketidakefisienan pabrik gula? Enggak adil, kan?" cetusnya.
Soal impor gula, Enggar mengaku, hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena, produksi dalam negeri belum mencukupi. BUMN dan swasta baru mampu memproduksi mencapai 2,2 juta ton, sedangkan kebutuhannya 3,3 juta ton. ***