PERLU kita acungkan jempol. Presiden Jokowi akhirnya meresmikan sekuritisasi aset pertama hari ini (31/8), dilakukan oleh BUMN Jasa Marga. Produknya diberi nama KIK EBA Mandiri JSMR01, surat berharga yang berbasis pada pendapatan Tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi).
Sekuritisasi aset atau sewa berjangka adalah terobosan yang sebenarnya sering diklaim Presiden sebagai Jokowinomics, yaitu cara mendapatkan tambahan modal pembangunan tanpa membebani anggaran negara.
Dalam acara yang juga dihadiri Presiden Jokowi beserta sebagian anggota Kabinet tersebut, seperti diberitakan, Presiden Jokowi sempat mencecar Dirut PT Jasa Marga, Desy Aryani, tentang alasan keterlambatan rencana penerbitan sekuritas ini hingga 9 bulan lamanya.
Desy akhirnya mengaku bahwa lambatnya proses penerbitan karena pihaknya lama menunggu konfirmasi pajak. Yang artinya di bawah Dirjen Pajak, yang dikomandoi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Mendengar jawaban tersebut., Jokowi kabarnya sampai melirik ke arah Menteri Keuangan Sri Mulyani yang duduk di kursi depan.
Jelas-jelas program sekuritisasi aset adalah bagian dari Jokowinomics yang bertujuan untuk mempercepat terwujudnya pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia, tapi Menteri Keuangan yang banyak menerima penghargaan di dalam dan luar negeri ini malah mencoba menghambatnya dengan memperlambat proses penerbitan sekuritisasi aset.
Padahal bila seluruh BUMN melakukan sekuritisasi asetnya seperti Jasa Marga, tanpa hambatan tentunya, niscaya melampui target pertumbuhan ekonomi pemerintah 5,4% bukanlah sesuatu yang sulit.
Kenapa Investor Tak Kunjung Datang?Dalam pidatonya di acara peluncuran Sekuritisasi Aset jasa Marga tersebut juga, Presiden mengaku kebingungan karena investasi (langsung) tidak kunjung datang besar-besaran, padahal berbagai penghargaan dan grade investasi telah diberikan oleh lembaga pemeringkat.
Juga jangan lupa, bahwa sudah ada juga belasan paket ekonomi yang ditelurkan Menko Darmin Nasution. Yang juga sudah dikritisi oleh berbagai kalangan peneliti dan asosiasi pengusaha karena dampaknya yang kurang terasa.
Ngomong-ngomong tentang penghargaan. Banyak penghargaan untuk Menkeu Sri Mulyani di luar negeri. Terutama penghargaan dari majalah-majalah keuangan, yang diberikan karena Sri Mulyani pandai memotong anggaran dan murah hati memberikan bunga tinggi untuk surat berharga negara.
Saya tidak tahu apakah prestasi semacam ini (pemotongan anggaran dan bunga tinggi surat utang) seiring dengan Jokowinomics atau tidak. Tapi pastinya yang diuntungkan dari pemotongan anggaran ini adalah para investor pasar uang yang tidak ingin aset-aset di Indonesia naik, kalau bisa jatuh demi menjaga tingkat imbal hasil (yield) surat utang mereka tetap tinggi. Kalangan ini pasti memuja Sri Mulyani sebagai Dewi Keberuntungan mereka.
Kemudian tentang survey kepercayaan Gallup, yang juga dilaporkan Sri Mulyani bulan lalu (18/7) kepada Presiden, yang isinya menempatkan Indonesia mengalahkan Swiss sebagai peringkat pertama dalam hal tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahannya. Boleh-boleh saja kita berbangga dengan sekala macam penghargaan ini, tapi kita harus lebih realistis dan waspada dengan puja puji yang demikian.
Kita tidak boleh lengah. Karena pertanyaan kritisnya adalah apakah investor sekedar melihat hasil survey Gallup dan berbagai rangking yang diberikan oleh lembaga pemeringkat. Mereka, investor, pasti melihat sentimen yang lebih luas dan data yang lebih dalam.
Negara-negara Jepang, Tiongkok, Singapura dan Korea Selatan, beserta para menterinya tidak perlu berbagai penghargaan seperti dari Gallup tersebut untuk dapat menjadi surganya investasi, sehingga memacu pertumbuhan ekonomi negaranya double digit. Terutama Tiongkok, saya tidak pernah mendengar ada menteri keuangan Tiongkok yang diberi penghargaan oleh Gallup ataupun lembaga lainnya atau majalah keuangan Barat. Padahal kita semua tahu fakta keberhasilan Tiongkok mengejar ekonomi Amerika Serikat (PDB berdasarkan purchasing power parity/ PPP). Belum lama ini.
Lainnya, untuk mengukur sustainabilitas keuangan suatu negara, ada kalangan investor yang lebih suka menggunakan data indikator
debt service ratio dibandingkan dengan
debt to GDP yang umum dipergunakan.
Debt service ratio (berdasarkan definisi OECD) adalah perbandingan (persentase) dari total pembayaran cicilan pokok utang beserta bunga utang yang dibayarkan suatu negara pada akhir tahun tertentu dibandingkan dengan total ekspor barang dan jasa negara tersebut selama tahun tersebut. Singkatnya melambangkan kemampuan bayar utang suatu negara berbasis pendapatan ekspornya.
Di
SULNI, data yang sesuai dengan definisi OECD tersebut adalah data
Debt to Export Ratio (
annualized).
Debt to Export Ratio (DER) Indonesia sejak tahun 2012 hingga 2017 ini mengalami kenaikan yang kontinyu cukup signifikan.
Periode 2012 hingga 2017 ini berbarengan dengan periode jatuhnya harga komoditi andalan Indonesia di pasar dunia. Sejak masa SBY tahun 2012, DER kita berada di level 113,82%, tahun 2013 naik ke level 123,12%. Tahun 2014, saat Jokowi naik menggantikan SBY, angka DER naik ke 139,46%. 2015 naik lagi ke 168,39%. Tahun 2016 kembali naik 174,96%. Dan kini, hingga semester pertama 2017, sedikit membaik, tapi itupun DER kita masih bertengger di level 173,04%.
Seharusnya untuk dapat memperbaiki DER Indonesia, menurunkannya sehingga menimbulkan kepercayaan bagi investor. Caranya adalah dengan melakukan berbagai teknik terobosan, seperti
debt swap dan
debt to nature swap, untuk meringankan
debt sevice kita. Sehingga dapat memberikan ruang lebih besar dalam anggaran negara, ketimbang hanya selalu diprioritaskan untuk bayar utang.
Karena seperti diketahui, untuk tahun 2018 pemerintah (Kemenkeu) berencana membayar cicilan pokok utang sebesar Rp 399,2 triliun dan bunga utang Rp 247,6 triliun. Bila dijumlahkan, total pembayaran
debt service pemerintah tersebut di tahun 2018 adalah sebesar Rp 646 triliun. Nilai ini jauh lebih besar dari rencana pembiayaan infrastruktur tahun 2018 yang hanya Rp 409 triliun. Artinya di balik segala gembar-gembornya tentang pembangunan infrastruktur, rencana anggaran ternyata masih sangat memprioritaskan pembayaran cicilan dan bunga utang.
Situasi di AS pun semakin
volatile (mudah menguap, tidak stabil), mengakibatkan terjadinya pelemahan dalam imbal hasil (yield) T-Bonds, dan juga pelemahan kurs dollar hingga rata-rata 9% terhadap seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah. Bila pemerintah tidak berhati-hati (terutama Bank Sentral), rupiah bisa semakin over-valued. Menguatnya kurs rupiah terhadap dollar dapat semakin menekan nilai ekspor. Pelemahan ekspor ujung-ujungnya juga akan kembali menaikkan DER.
Signal-signal inilah: terhambatnya proses sekuritsasi asset dan terus menanjaknya DER yang mungkin ditangkap oleh para pelaku bisnis. Sehingga kemudian mereka menjadi wait and see untuk mendatangkan modalnya ke Indonesia. Semoga tulisan ini menjawab kebingungan Presiden.
[***]