Badan Perencanaan Pembangunan (Bappenas) menseriusi rencana memberikan asuransi untuk pengangguran. Ide itu kini sedang dimatangkan.
Rencana mau memberikan asuransi bukan sekadar wacana semata. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, pihaknya saat ini masih terus mematangkan rencana tersebut.
"Bappenas sedang mengÂkaji, apakah itu bisa menjadi bagian untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan," kata Bambang dalam Seminar nasional bertema Pemanfaatan Demografi Indonesia di Sektor Kepariwisataan, Kebaharian, dan Ekonomi Kreatif di Jakarta, kemarin.
Bambang mengatakan, memÂberikan asuransi untuk pengangguran sejatinya ide bagus. Karena, bisa menjadi bantalan untuk masyarakat. Misalnya, orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa meÂnyambung hidup bila belum daÂpat pekerjaan. Namun demikian, rencana ini harus dikaji dengan benar agar tidak menimbulkan dampak negatif.
"Orang yang nganggur itu nanti masih bisa hidup minimal. Tapi, itu harus dikaji benar. Jangan malah membuat orang tidak tertarik mencari kerja," terang Bambang.
Untuk menampung masukan, pada akhir tahun lalu, Bappenas pernah menggelar diskusi mengundang berbagai pihak terkait membahas wacana asuransi untuk pengangguran. Namun sayang setelah acara itu, tak terÂdengar lagi kelanjutan rencana tersebut.
Sebelumnya, Bambang mengaku pernah mempelaÂjari pemberian asuransi untuk pengangguran di Australia. Di Negeri Kanguru, pengangguran mendapatkan dana bantalan namun dengan syarat setiap tiga bulan harus ikut daftar di bursa kerja. Namun, tidak sedikit, dari para pengangguran yang malah malas kerja karena sudah dapat benefit dari asuransi tersebut.
"Sisi positifnya, asuransi pengangguran bisa menjadi solusi keuangan tanpa harus mencairkan dana Jaminan Hari Tua (JHT)," ujarnya.
Ledakan Pengangguran Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksi, kelompok usia produktif pada 2019 akan menÂcapai 67 persen dari total popuÂlasi penduduk nasional. SeÂmentara 45 persen di antaranya berusia 15-34 tahun. Sementara 45 persen di antaranya berusia 15-34 tahun.
Bambang mengungkapkan, jumlah pengangguran di IndoneÂsia ke depan berpotensi meningÂkat bila tak diantisipasi.
"Jumlah pengangguran saat ini mencapai 7 juta orang, ini berpotensi meningkat tajam. Apalagi dengan pertumbuhan tenaga kerja per tahun sekitar 3-4 persen," ungkapnya.
Namun demikian, lanjut BamÂbang, bonus demografi terseÂbut bisa membawa dampak positif terhadap perekonomian bila mampu dikelola dengan baik. Yakni, pemerintah mampu mendorong peningkatan keÂmampuan sumber daya manuÂsia (SDM), keterampilan dan pendidikan.
"Peningkatan jumlah penÂduduk usia produktif menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Karena jumlah penÂduduk mampu meningkatkan konsumsi, peningkatan investasi, dan produktivitas," terangnya.
Bambang mengaku, tengah melakukan koordinasi lintas sektor dengan berbagai kemenÂterian, lembaga, hingga indusÂtri untuk menyiapkan potensi kelompok usia muda dalam menjawab tantangan demografi tersebut. Misalnya, dengan mengoptimalisasi fungsi dan peran Balai Latihan Kerja (BLK) dan lembaga pendidikan kejuÂruan di seluruh Indonesia.
Begitu juga dengan pengemÂbangan lembaga pendidikan dan pelatihan serta penyusunan standar kompetensi keahlian. Upaya tersebut tengah didorong untuk meningkatkan kualitas dan daya saing tenaga kerja muda di Indonesia.
Bambang mengakui, saat ini pemanfaatan pertumbuhan jumlah penduduk usia produkÂtif masih belum optimal. Salah satunya terlihat dari Angka Partisipasi Kerja tahun 2015 yang tercatat masih sekitar 66 persen dengan kenaikan yang relatif lambat. ***