Pemerintah menargetkan 350 perusahaan menerima serÂtifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) hingga akhir tahun ini. Saat ini, baru 16,7 persen lahan sawit yang memiliki sertifikat dari total lahan sawit.
"Pada Agustus 2017, terÂhitung jumlah pelaku usaha kelapa sawit yang sudah terÂsertifikasi ISPO sebanyak 306 pelaku usaha," ujar Ketua SekÂretariat ISPO Azis Hidayat di Jakarta, kemarin.
Ia mengatakan, 304 di antaranya adalah perusahaan kelapa sawit, satu asosuasi petani plasma dan satu koperasi petani swadaya. "Hingga saat ini terdapat 70 pelaku usaha yang sedang dalam proses audit," ujarnya.
Ia mengakui, saat ini banÂyak pelaku usaha yang masih belum mendapatkan kepastian atas kepemilikan lahan. "HGU (Hak Guna Usaha) sebenarnya sudah terbit, dan proses penerÂbitannya melalui Kementerian Kehutanan, jadi sudah clean and clear saat itu," tutur Azis.
Tidak hanya masalah kepemiÂlikan lahan, Azis juga menyeÂbutkan, pelaku usaha belum mendapatkan sertifikat ISPO lantaran tata kelola limbahnya yang belum baik. Selain itu, ada beberapa petani rakyat yang tidak mau membentuk koperasi.
Direktur Jenderal PerkebuÂnan Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang mengataÂkan, masih banyak perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang belum memenuhi standar ISPO. "Luas kebun sawit yang sudah bersertifikat sudah 1,82 juta hekÂtare atau 16,7 persen dari total 11,9 juta hektare lahan kelapa sawit," katanya.
Ia pun meminta, para penguÂsaha sektor industri kelapa sawit untuk mengurus sertifikat ini. Alasannya, sertifikat ISPO dapat meyakinkan pasar internasional bahwa kelapa sawit Indonesia dikelola dengan kaidah yang baik sehingga bisa mengurangi kampanye hitam di negara lain.
"Kita akan buktikan dengan sertifikat ISPO bahwa kelapa sawit Indonesia dilakukan denÂgan upaya ramah lingkungan," kata Bambang.
Bambang menjelaskan, sistem sertifikasi ISPO telah diatur melalu Peraturan Menteri PerÂtanian (Permentan) nomor 11 tahun 2015. Selama dua tahun, menurut catatan Bambang, suÂdah ada 306 sertifikat ISPO yang diterbitkan.
Ketua Umum Gabungan PenÂgusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono menÂgatakan, terdapat beberapa hamÂbatan yang menghalangi proses sertifikasi ini. Salah satunya adalah pelaku usaha yang masih menunggu kejelasan HGU.
"Saat ini terdapat kebun yang sudah memiliki HGU tetapi beÂlum terdapat pelepasan kawasan hutan sebagian atau keseluruÂhan," ungkapnya.
Kendati begitu, pihaknya mendukung sertifikasi ISPO. "Sifatnya harus karena sertifikat ISPO menjadi indikator kelapa sawit berkelanjutan Indonesia," ujar Joko.
Dia juga meminta supaya kementerian dan lembaga terkait lain untuk mendukung kepuÂtusan kelapa sawit. Sehingga masalah-masalah yang muncul seperti penggunaan kawasan hutan untuk kelapa sawit tidak lagi merugikan negara.
Menurut data Index Mundi, Indonesia merupakan negara eksportir minyak kelapa sawit terbesar dunia dengan produksi sebesar 25,75 juta ton pada 2016. Kelapa sawit juga meÂnyumbang Rp 239,4 triliun devisa negara. ***