Direktur Utama PTDI Budi Santoso mengatakan, saat ini perusahaan yang dia pimpin sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Salah satu hasil yang cukup membanggakan adalah suksesnya penerbangan perdana pesawat purwarupa N219 rancangan PTDI bersama LAPAN.
"Namun kita akui memang ada beberapa pekerjaan rumah (pr) yang masih terus dikerÂjakan. Seperti proses pembaÂyaran denda keterlambatan pengiriman pesanan pesawat ke konsumen," kata Budi kepada Rakyat Merdeka.
Selain itu, PTDI juga terus melakukan pengerjaan pesanan pesawat untuk konsumen.
Budi mengatakan, untuk besaÂran denda yang harus dibayarkan oleh perseroan kepada konsumen yang barangnya terlambat daÂtang, jumlahnya tidak seperti yang digembar-gemborkan meÂdia beberapa waktu lalu.
"Ramai di media sampai Rp 200 miliar. Tapi jumlah pastiÂnya bisa ditanyakan ke Direktur Operasi, saya tidak hafal. Ada beberapa juga yang sudah kita bayarkan," lanjut Budi.
Budi menegaskan, terkait kerja sama dengan pihak ketiga dalam proses penjualan produk PTDI, saat ini pihaknya sudah tidak lagi menggunakan mitra penjualan (agen) untuk menjual produk pesawat/helikopter ke dalam negeri (Kementerian Pertahanan) dengan pendanaan berasal dari APBN.
"Memang dulu sebelum perÂgantian direksi, penjualan kita masih pakai agen. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Dulu pakai agen karena kondisi keuangan kita sedang sulit, tapi sejak kita berbenah dan perusahaan sudah mulai bangkit, praktik itu kita tinggalkan," tegas Budi.
Budi juga menerangkan, PTDI sebelumnya memang mengalami masa-masa sulit bahkan sempat dicap pailit hingga sulit berkemÂbang. Namun Budi mengklaim PTDI mampu bertahan dan terus beroperasi hingga sukses memÂproduksi pesawat N219.
Banyak Masalah Ketua Tanah Air Institute Yudi Hastika mengatakan, saat ini masih ada sejumlah persoalan yang masih harus diselesaikan PTDI. Menurut Yudi, Dirgantara Indonesia saat ini belum mampu meningkatkan kinerjanya menÂjadi cemerlang kembali.
"PTDI saat ini justru masih menyisakan banyak sekali perÂmasalahan yang mendasar," tutur Yudi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (24/8).
Paling tidak menurutnya ada tiga permasalahan yang kini memÂbelit PT Dirgantara Indonesia. Pertama, keterlambatan penyeleÂsaian dan pengiriman pesawat ke konsumen, sehingga dikenakan denda. Misalnya seperti proyek pesawat N 111 pesanan Filipina yang dikenai denda sebesar Rp 222,56 miliar, proyek pesawat C 212-400 pesanan Thailand yang dikenai denda sebesar Rp 175,8 miliar, dan proyek pesawat Super Puma NAS 332 pesanan TNI-AU yang dikenai denda Rp 8,5 miliar.
Kedua, lebih banyak memasarkan produk non PTDI, seÂhingga selisih pendapatan dari penjualan produk tersebut tidak mencukupi biaya operasional tahunan PTDI.
Produk non PTDI yang dipasarÂkan PTDI (sebagai perantara), kata dia, antara lain C 295; Heli Serbu Bell 412; Heli Serang Fennec, EC 725; EC 135; dan AS 305.
Ketiga, PTDI masih mengÂgunakan mitra penjualan (agen) untuk menjual produk pesawat/ helikopter ke dalam negeri (KeÂmenterian Pertahanan) dengan pendanaan berasal dari APBN.
Misalnya, pengadaan heÂlikopter Bell 412 EP di KeÂmenterian Pertahanan yang menggunakan mitra penjualan (Agen) yaitu PT Bumiloka Tegar Perkasa dan PT Angkasa Mitra Karya.
"Dengan menggunakan mitra penjualan, menunjukkan marketÂing di internal PTDI tidak cuÂkup inovatif dalam meyakinkan Kemhan untuk menggunakan produk dalam negeri (PTDI). SeÂhingga mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh oleh PTDI karena harus dibagi dengan mitra penjualan tersebut," kata Yudi.
Ketiga permasalahan menÂdasar tersebut sangatlah berpenÂgaruh pada performance PTDI. Oleh karena itu permasalahan tersebut harus dapat segera diÂatasi. ***