Rencana pemerintah untuk memungut pajak dari transaksi bisnis online bikin bingung pengusaha e-commerce. Mereka minta pemerintah memperhatikan unsur keadilan.
CEO Blanja.com Aulia E MarinÂto meminta, pemerintah jangan gegabah, tiba-tiba langsung menetapkan pajak aturan baru. Mumpung masih digodok, KeÂmenterian Keuangan (KemenÂkeu) seharusnya membahas hal ini bersama pelaku e-commerce supaya penerapannya tidak merugikan pihak tertentu.
"Kalau diberlakukan ini baru tahap awal, kami ingin KeÂmenkeu mengajak kami dialog bisa dengan para perwakilan pelaku e-commerce atau bahÂkan mengajak asosiasi (idEA)," ungkap Aulia kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Munculnya aturan pajak diÂharapkan tidak merusak iklim bisnis digital yang lagi naik daun. Banyak pelaku usaha masih belum tahu secara detail mengenai pajak tersebut. "KebiÂjakan terkait pajak e-commerce nantinya harus dapat diaplikasiÂkan sesuai porsinya," ujarnya.
Menurutnya, pelaku usaha e-commerce nampaknya khawatir pajak tersebut dikenakan dengan nominal yang memberatkan miÂtra e-commerce. Apalagi pelaku usaha tengah menggandeng reseller atau penjual dari peloÂsok daerah. "Iya kami sedang gencar mengajak Usaha Kecil dan Menengah (UKM) go online dengan harapan masa depan UKM dapat lebih baik dan berÂtumbuh cepat," jelas pria yang juga menjabat Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) ini.
Digital Public Relations ManÂager Blanja.com Rieka HanÂdayani menyarankan, agar soÂsialisasi pajak ini harus jor-joran dan detail agar mereka yang dikenakan pajak sadar. "Kami juga ingin agar pajak dari peÂmerintah ini tidak dianggap beÂban," kata Rieka kepada
Rakyat Merdeka.Menurutnya, pemberlakukan pajak ini nantinya cukup diberÂlakukan kepada mereka yang memang seharusnya dikenakan sesuai aturan yang berlaku. PaÂjak juga seharusnya bisa menjadi pendorong semangat berbisnis.
"Misalnya, jika transaksi UKM meningkat dan mencaÂpai nilai tertentu maka UKM mendapat potongan pajak," pintanya.
CEO Bukalapak Ahmad Zaky mengaku, belum memahami tentang aturan pajak e comÂmerce yang diwacanakan KeÂmenkeu. Apalagi aturan dan penerapannya seperti apa belum dijelaskan.
"Nggak ada sosialisasi saya nggak ngerti ini pajak yang mana. Kalau pajak PPh (pajak penghasilan), pajak pendapatan
so far kami bayar tertib. Tapi apa ini pajak UKM-nya atau bagaimana. Takutnya pemerintah memperkenalkan pajak baru yang menurut saya perlu di-sounding," tuturnya.
Pada intinya, Zaky mengaku, mendukung rencana Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sebagai upaya meningkatkan pendapaÂtan negara. Namun, pemerintah harus bisa bijak dalam mengamÂbil keputusan.
Jika pemerintah mengenakan pajak kepada transaksi online yang akan dibebani ke pelapak di e-commerce, dia ingin, agar pengenaanya juga menyeluruh ke media sosial. Sebab, banyak juga penjual online di media sosial seperti Facebook dan Instagram.
"Takutnya efeknya enggak bagus untuk industri. Juga level playing field. Facebook baÂgaimana, Instagram bagaimana? Di sana banyak pedagang. Nanti kami bisa mati karena pedagang-pedagang ini bisa kabur ke meÂdia sosial. Kecuali diterapkannya secara masif," imbuhnya.
Ketua Bidang Pajak, InÂfrastruktur, dan Cyber Security dari idEA Bima Laga mengaÂtakan, isu pajak e-commerce bukan isu baru. idEA sebenarnya telah berusaha menolak aturan tersebut dengan melakukan penelitian akademis dengan beberapa universitas.
"Sejauh ini, pemerintah masih mengacu pada Surat Edaran Nomor 62 Tahun 2013 yang meÂnyatakan kalau situs e-commerce seperti iklan baris misalnya, tetap diharuskan membayar pajak. Saat ini bahkan telah ada salah satu anggota kita yang dipungut pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), meski masih menghadirkan beberapa layanan secara gratis," tutur Bima.
Bima mengungkapkan, isu pajak sejak lama belum terjawab dalam Rancangan Peraturan PeÂmerintah mengenai e-commerce yang saat ini tengah digodok. Kemenkeu diharapkan bisa mengeluarkan peraturan yang bijak dan tidak merusak iklim bisnis e-commerce. ***