Berita

Politik

Diktator: Earl Warren, Robiespierre, Jokowi

RABU, 23 AGUSTUS 2017 | 12:34 WIB | OLEH: DJOKO EDHI ABDURRAHMAN

JENDERAL Wiranto dan Prof Mahfud MD membantah Presiden Jokowi diktator di Metro TV.

Tokoh yang dengan gamblang menyatakan Jokowi diktator, ialah Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas. Tudingan itu presisi, karena Busyro orang hukum, bukan politisi, Ketua KY yang pertama, mantan Ketua KPK, dan namanya sudah besar ketika melawan rezim Soeharto di Orba. Antara lain, yang monumental, ia jadi pengacara korban waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah yang heboh itu.

Sukar memang membantah Busyro. Bagaimana Wiranto mau membantahnya, karena selama hayatnya berada di kekuasaan otoriter, sampai Gus Dur mengasuhnya. Mahfud MD juga, takkan mampu, karena Mahfud tak kunjung melawan diktator semasa Orba.


Jokowi sendiri menyatakan ia  bukan diktator. Bantahan yang wajar dan harus. "Mosok tampang begini disebut diktator?" katanya. Ndeso.

Lho, teori Lambrosso sudah 100 tahun lebih tak dipakai orang. Bahkan majelis hakim kasus Jessica tak menjadikan pertimbangan output teorema Lambrosso. Ilmu kriminologi Lambrosso yang masih dipakai hanya di Hollywood, penjahat mesti tampangnya menyeramkan. Castingnya didasarkan pada Lambrosso. Jessica juga mau dihukum dari Lambrosso.  Karena ia garuk-garuk yang, dalam bukti ahli kepolisian, jemari Jessica memanjang dua kali lipat, oleh Hasiholan dipanggil bukti mak lampir. Manipulasi bukti luar biasa.

Tampang Hitler secara Lambrosso tak mungkin jadi diktator. Culun, lucu, kumis ditempel yang lalu dibikin lelucon di film Charlie Chaplin. Tak ada mode kumis seperti itu sampai Hitler membikinnya.

Juan Peron, mana ada ia punya tampang diktator, tapi toh dinobat oleh Sosiolog se-dunia, fasis  nonmiliter. Dengan cakapnya, Peron mengekploitasi isterinya Evita Peron, dan mengirim semua tentara radikal ke Malvinas, perang 100 hari, untuk bunuh diri. Orangnya juga culun. Dont cry Argentina, teriak Evita sesaat Peron diturunkan.

Robiespierre juga tak punya tampang diktator yang mampu mengirim 60 ribu orang ke hukuman mati. Bagaimana  pendekar keadilan, pengacara yang membela orang kecil itu berubah menjadi diktator dengan juluk Reign of Terror (pemerintahan teror). Terakhir, Robiespierre digantung massa.

Sepanjang teorema Lambrosso, Jokowi tak terkecuali. Jika Lambrosso disingkirkan, diktator  adalah  tindakan, bukan style, gesture, maupun penampakan. Yang dimaksud Busyro, adalah tindakan penerbitan Perppu No 2/2017 yang tanpa proses hukum. Bukan untuk bela khilafatnya HTI.

Saya setuju tindakan itu diktator. Dalam referensi ilmiah, diktator lebih ditinjau dari urusan bagaimana peraturan perundang-undangan dibuat dan dilaksanakan sebagai kebajikan. Dalam istilah Robiespierre ialah virtue (kebajikan). Namun kebajikan tanpa teror, kata Robiespierre, adalah kekonyolan.

Perppu tanpa proses hukum adalah kebajikan tanpa teror. Agar tak konyol, negara kudu menteror warganya. Itu baru bajik. Terus? Batas antara negara dengan individu masyarakat hanya satu: hukum, law, rechts. Hilangkan saja itu.

Pemerintahan tanpa batas antara negara dengan individu masyarakat, adalah diktatorial. Itu kebajikan ala Robiespierre, presiden pertama yang diproduksi Revolusi Bastille. Reign of teror.

Belajar Dari Earl Warren

Tahun 1980, Amerika Serikat melakukan amandemen UU APP (Aksi Pornografi dan Pornoaksi). Rakyat berdebat. Para konservatif menghendaki tindakan lebih keras. Negara diusulkan boleh masuk ke rumah untuk menangkap orang yang lakukan kegiatan APP yang mengancam moral publik.

Para moderat, kaum pro choice menanyakan, sejauh mana negara boleh masuk ke rumah? Perdebatan berlangsung sengit antara kubu pro choice versus pro life.

Kita boleh belajar dari pidato Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, Earl Warren yang menghentikan perdebatan itu. Dan, inilah pidato monumental mantan Jaksa Agung yang paling populer sepanjang sejarah Amerika Serikat.

"Kita tidak boleh mengundang negara ke dalam rumah.

Kita harus melindungi keluarga kita dari negara.

Kita tak bisa dan tak boleh menangkap orang yang membaca novel porno di rumahnya sendirian."

Hukum adalah batas antara negara dengan keluarga. Begitu hukum dihilangkan, dinding pembatas itu rubuh diganti dinding lain. Dinding pengganti itu disebut tirai besi di USSR, dan tirai bambu di RRC. [***]

Penulis adalah mantan Anggota Komisi Hukum DPR

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

Kreditur Tak Boleh Cuci Tangan: OJK Perketat Aturan Penagihan Utang Pasca Tragedi Kalibata

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:15

Dolar Melemah di Tengah Data Tenaga Kerja AS yang Variatif

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:00

Penghormatan 75 Tahun Pengabdian: Memori Kolektif Haji dalam Buku Pamungkas Ditjen PHU

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:48

Emas Menguat Didorong Data Pengangguran AS dan Prospek Pemangkasan Suku Bunga Fed

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:23

Bursa Eropa Tumbang Dihantam Data Ketenagakerjaan AS dan Kecemasan Global

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:01

Pembatasan Truk saat Nataru Bisa Picu Kenaikan Biaya Logistik

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:46

Dokter Tifa Kecewa Penyidik Perlihatkan Ijazah Jokowi cuma 10 Menit

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:35

Lompatan Cara Belajar

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:22

Jakarta Hasilkan Bahan Bakar Alternatif dari RDF Plant Rorotan

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:11

Dedi Mulyadi Larang Angkot di Puncak Beroperasi selama Nataru

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:48

Selengkapnya