Berita

Foto/Net

X-Files

KPK Amankan Uang Rp 300 Juta Dan Satu Bundel Berkas Perkara

Panitera PN Jaksel Diduga Terima Suap
SELASA, 22 AGUSTUS 2017 | 08:10 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Hingga tadi malam, KPK masih memeriksa empat orang yang diringkus dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Hingga tadi malam, KPK masih memeriksa empat orang yang diringkus dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah menyatakan, empat orang yang dibekuk da­lam OTT itu adalah seorang Panitera Pengganti (PP) PN Jakarta Selatan berinisial T, dua orang pengacara, dan tenaga honorer di PN Jakarta Selatan berinisial T.

Dia belum bersedia menyebut­kan nama empat orang tersebut. Menurutnya, dugaan pelangga­ran hukum yang terjadi berkisar seputar suap menyuap. "Ada du­gaan terkait dengan penanganan perkara perdata," katanya.

Meski demikian, Febri lagi-la­gi belum bersedia membeberkan perkara apa yang menjadi pokok pangkal terjadinya penyuapan.

Selain menangkap dan me­meriksa empat orang, penyidik juga mengamankan uang sebesar Rp 300 juta dan sebuah mobil Honda HRV hitam bernopol B 160 TMZ. "Sampai malam ini (kemarin--red) masih didalami. Diperiksa seputar motif pembe­rian uang dan perkara yang di­tangani pengadilan," tuturnya.

Febri meminta waktu agar penyidik bisa menuntaskan pe­meriksaan untuk memutuskan status empat orang yang terjar­ing OTT. "Kita memanfaatkan waktu 1 x 24 jam yang ada untuk menyelesaikan pemeriksaan awal," katanya.

Diharapkan, bebernya, hari ini penyidik sudah bisa meny­impulkan siapa pihak yang patut dijadikan tersangka atas perkara suap-menyuap ini.

Selain itu, penyidik juga mampu mengungkap modus penyuapan ini. "Kita belum mengetahui, apakah hanya sebatas transaksional secara langsung atau ada pula yang melalui perbankan maupun bentuk lain­nya," kata Febri.

Pada sekitar pukul 12.00 WIB kemarin, tim KPK melakukan OTT di PN Jakarta Aelatan. Dari operasi itu, seorang panitera pengganti berinisial T diamank­an sekitar pukul 13.00 WIB.

Setelah itu dua advokat serta seorang tenaga honorer meny­usul dibawa ke KPK.

Kepala Humas PN Jakarta Selatan Made Sutrisna membe­narkan adanya penangkapan di lingkungan institusinya. "Saya belum dapat info soal kasusnya. Mereka ditangkap tidak dalam persidangan," ucapnya.

Ia mengungkapkan panitera yang ditangkap itu bernama Tarmizi. Panitera itu menangani belasan perkara.

Made Sutrisna menandaskan PN Jakarta Selatan akan koop­eratif terhadap tindakan hukum yang dilakukan KPK terhadap salah satu panitera di sini. "Kita siap memberikan bantuan pada KPK," tandasnya.

Made Sutrisna mengaku be­lum mendapat informasi dari KPK mengenai kasus yang men­jerat Tarmizi. "Karena ini sudah tindakan hukum, kita tunggu saja dari KPK," katanya.

PN Jakarta Selatan sudah melaporkan peristiwa ini ke Mahkamah Agung. "Kita kon­sultasikan ke MA untuk menen­tukan upaya hukum yang sepa­tutnya," kata Made Sutrisna.

Untuk keperluan mengum­pulkan barang bukti kasus suap ini, KPK telah menyegel meja kerja dan lemari Tarmizi. Saat digiring ke KPK, Tarmizi terlihat membawa satu bundel berkas perkara.

Kilas Balik
Terima Suap, Panitera PN Jakarta Utara Pasrah Dihukum Tujuh Tahun Penjara

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta men­jatuhkan vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Rohadi, Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Rohadi menyata­kan bisa menerima putusan ini.

"Saya bersalah dan saya men­erimanya Yang Mulia," kata Rohadi menanggapi putusan yang diketuk ketua majelis ha­kim Sumpeno.

Rohadi juga menegaskan tidak akan mengajukan banding. Lantaran itu, dia memohon agar putusan ini segera dieksekusi. "Saya tidak peduli tinggi ren­dahnya putusan. Saya tidak akan melakukan perlawanan apa-apa lagi. Tolong jangan dibuat seolah saya tidak menerima (putusan)," kata Rohadi.

Berbeda dengan Rohadi, jaksa penuntut umum (JPU) KPK me­nyatakan pikir-pikir. Jaksa hen­dak mempelajari dulu putusan ini sebelum mengambil sikap menerima atau banding.

Putusan ini memang lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yang meminta Rohadi dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider lima bulan kurungan.

Dalam pertimbangan putu­sannya, majelis hakim menilai Rohadi telah menciderai jaba­tannya sebagai panitera dengan menerima suap dari pihak ber­perkara.

"Hal yang meringankan, ter­dakwa belum pernah dihukum, berlaku sopan di persidangan, menyesali perbuatannya, serta masih mempunyai tanggungan keluarga," kata hakim Sumpeno.

Majelis hakim menilai, Rohadi terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap untuk mengurus penunjukan majelis hakim yang akan menangani perkara Saipul Jamil di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Serta agar hakim tidak menjatuhkan hukum yang berat terhadap pedangdut itu dalam perkara pelecehan seksual.

Perbuatan Rohadi menerima suap, menurut majelis hakim, telah memenuhi unsur Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi, yang didakwakan kepadanya.

Dalam perkara ini, Rohadi didakwa menerima suap Rp 50 juta terkait penunjukan majelis hakim yang akan menangani perkara Saipul Jamil. Kemudian menerima Rp 250 juta agar Saipul divonis ringan.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam putusan­nya juga menyatakan, menyita uang Rp 700 juta yang ditemu­kan di mobil Rohadi ketika ditangkap KPK.

"Menimbang permohonan jaksa penuntut umum yang ingin mempergunakan uang tersebut sebagai barang bukti dalam kasus pencucian uang oleh terdakwa. Maka sudah selayaknya permohonan jaksa dikabulkan," ujar hakim anggota M Idris.

Rohadi berdalih uang itu merupakan pinjaman dari ang­gota DPR Sareh Wiryono untuk keperluan rumah sakit yang didirikannya di Indramayu, Jawa Barat.

Namun jaksa KPK menilai, Rohadi tidak bisa membuktikan asal-asal uang karena tidak ada kuintansi penerimaan dan per­janjian pinjam-meminjam.

Jaksa mencurigai uang itu didapat dari pengurusan perka­ra dan akan dijadikan barang bukti dalam perkara gratifikasi dan pencucian uang Rohadi. Lantaran itu, jaksa meminta agar disita. ***

Populer

Duit Sitaan Korupsi di Kejagung Tak Pernah Utuh Kembali ke Rakyat

Senin, 10 Maret 2025 | 12:58

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Usia Pensiun TNI Bakal Diperpanjang, Ketum PEPABRI: Kalau 58 Tahun Kan Masih Lucu-Lucunya

Senin, 10 Maret 2025 | 19:58

UPDATE

Polri Gandeng INASSOC Sosialisasikan Aturan Penggunaan Airsoft Gun

Jumat, 14 Maret 2025 | 15:34

Wamenkop Ferry Juliantono Ingin Gapoktan Naik Kelas

Jumat, 14 Maret 2025 | 15:33

Kontrol Sipil ke Militer Harus Objektif, Jangan Pragmatis

Jumat, 14 Maret 2025 | 15:23

Warga Jakarta Diminta Waspada Cuaca Ekstrem

Jumat, 14 Maret 2025 | 15:12

Hasto Siap Sampaikan Eksepsi Pekan Depan

Jumat, 14 Maret 2025 | 14:51

Sidang Perdana Duterte di ICC, Momen Bersejarah bagi Keadilan Internasional

Jumat, 14 Maret 2025 | 14:30

Polisi Ungkap Motif Pembunuhan Ibu dan Anak di Tambora

Jumat, 14 Maret 2025 | 14:23

Anggaran Makan Bergizi Gratis Naik dari Rp71 Triliun Jadi Rp171 Triliun

Jumat, 14 Maret 2025 | 14:17

Pengamat: Bagaimana Mungkin Seorang Teddy Dilantik jadi Seskab?

Jumat, 14 Maret 2025 | 13:59

Korsleting Baterai Jadi Penyebab Kebakaran Air Busan

Jumat, 14 Maret 2025 | 13:54

Selengkapnya