Berita

Bisnis

Tarif Ekspor Batubara Perlu Dinaikkan Demi Pembangunan Energi Terbarukan

SENIN, 21 AGUSTUS 2017 | 10:24 WIB | LAPORAN: WIDIAN VEBRIYANTO

Harga Batubara kembali naik. Pada Agustus 2017, harga acuan batubara yang ditetapkan Kementerian ESDM sebesar 83,97 dolar AS.

Harga batubara dalam satu tahun terakhir ini relatif tinggi dibandingkan dengan harga terendah yang pernah tercatat yakni 50,92 dolar AS pada Februari 2016.

Kenaikan harga ini telah mendorong peningkatan produksi batubara dan ekspor batubara. Pemerintah bahkan telah mengubah target produksi batubara 2017 menjadi 470 juta ton. Target ini lebih tinggi dari yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), yakni 413 juta ton untuk tahun 2017. Selanjutnya target produksi tahun 2018 adalah 406 juta ton, dan tahun 2019 sebanyak 400 juta ton.


"Sementara semangat pemerintahan Jokowi seperti tertuang dalam dalam dokumen Nawacita adalah pengurangan ekspor batubara," ujar Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting dalam keterangan tertulisnya kepada redaksi, Senin (21/8).

Dijelaskan Pius, perkembangan harga ini baik bagi peningkatan pendapatan pemerintah karena ekspor batubara dikenakan pajak penghasilan 1,5 persen.

Namun begitu, kenaikan harga batubara dapat membuat kebijakan energi Indonesia kian terjebak dalam skenario energi batubara yang polutif dan menghambat pengembangan energi terbarukan.

"Keuntungan perusahaan batubara akan menjadi peningkatan modal bagi pengembangan pembangkit listrik tenaga batubara. Sejak harga batubara rendah, strategi bisnis batubara adalah mengintegrasikan tambang produksi batubara dengan pembangunan pembangkit listrik batubara di dalam negeri," jelasnya.

Keberadaan pembangkit listrik milik perusahaan tambang batubara dilihat oleh pelaku industri batubara memastikan kelancaran keuntungan ditengah harga ekspor batubara yang fluktuatif. Harga jual listrik di dalam negeri relatif stabil karena perusahaan pembangkit dan pemerintah diikat dengan perjanjian jual beli listrik (PBJL/PPA) untuk jangka panjang (25 hingga 50 tahun).

"Hal ini membuat Indonesia terperangkap dalam kebijakan energi batubara yang polutif. Masyarakat di sekitar pembangkit listrik batubara menjadi korban langsung pencemaran dari batubara," terang Pius.

Perkumpulan AEER dalam penelitiannya tentang kesehatan anak-anak dan masyarakat di sekitar pembangkit listrik tahun 2017 menemukan bahwa masyakat di Aceh Barat mengalami pencemaran parah debu batubara dari PLTU Nagan Raya. Debu yang masuk ke rumah menutupi semua perlengkapan dalam rumah.

"International Energy Agency memperkirakan terjadi 70.000 kematian dini pada tahun 2015 akibat pencemaran udara, salah satunya karena pembangkit listrik batubara," sambungnya.

Pius menguraikan bahwa pemborosan biaya dalam jangka panjang juga bisa terjadi akibat pembangkit listrik batubara. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam laporan IEEFA (Institute for Energy Economics and Financial Analysis). Diperkirakan pemborosan terjadi akibat kelebihan produksi listrik batubara sebanyak 16,2 miliar dolar AS pada periode 2017 hingga 2026.

Penghematan biaya dapat terjadi jika pemerintah mengantisipasi penurunan energi terbarukan. Dan melakukan pengembangan energi terbarukan.

"Laporan IEEFA memperlihatkan tren penurunan teknologi energi terbarukan, sehingga harga listrik dari pembangkit surya akan lebih rendah dari harga produksi listrik rata-rata sebelum tahun 2022. Namun ruang untuk pengembangan energi terbarukan ini telah tertutup dengan dominasi energi batubara," lanjutnya.

Inisiatif pengembangan energi terbarukan telah dilakukan beberapa perusahaan tambang batubara. Namun jumlah investasi di sektor ini lebih kecil dibandingkan dengan investasi di sektor batubara, umumnya kurang dari 5 persen.

"Nilai penyusutan aset dari perusahaan tambang batubara lebih lambat dan cenderung ekspansi investasi saat harga naik. Dengan begitu, pengembangan energi terbarukan menjadi ancaman bagi pasar listrik dari batubara," kata Pius.

Pemerintah, lanjutnya, perlu melakukan inisiatif untuk melakukan pengembangan energi terbarukan untuk melindungi lingkungan yang sehat bagi warga. Pengembangan energi terbarukan juga membuka lapangan kerja baru, terlebih jika mempertimbangkan PHK massal yang kerap terjadi di sektor tambang batubara karena harga fluktuatif.

"Dan sumber pembiayaan pengembangan energi terbarukan dapat diperoleh pemerintah dengan meningkatkan persentase pajak atas ekspor batubara di tengah harga yang naik saat ini," pungkasnya. [ian]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Slank Siuman dari Jokowi

Selasa, 30 Desember 2025 | 06:02

Setengah Juta Wisatawan Serbu Surabaya

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:30

Pilkada Mau Ditarik, Rakyat Mau Diparkir

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:19

Bukan Jokowi Jika Tak Playing Victim dalam Kasus Ijazah

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:00

Sekolah di Aceh Kembali Aktif 5 Januari

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:50

Buruh Menjerit Minta Gaji Rp6 Juta

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:07

Gegara Minta Duit Tak Diberi, Kekasih Bunuh Remaja Putri

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:01

Jokowi-Gibran Harusnya Malu Dikritik Slank

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:45

Pemprov DKI Hibahkan 14 Mobil Pemadam ke Bekasi hingga Karo

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:05

Rakyat Tak Boleh Terpecah Sikapi Pilkada Lewat DPRD

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:02

Selengkapnya