Sikap melunak pemerintah dalam melakukan negosiasi dengan PT Freeport, bertepuk sebelah tangan. Perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu keukeuh dengan tuntutannya. Namun demikian, Kabinet Kerja masih berharap ada win-win solution.
Menko Kemaritiman, Luhut Panjaitan meminta, Freeport tidak mendikte pemerintah. Karena, perundingan dilakukan untuk kompromi, mencari win-win solution.
"Jangan dia yang ngatur lah. Kita ini melindungi kepentingan dia, tapi negara ini jangan diatur-atur orang lain. Jangan maunya dia, maunya kita juga boleh dong. Maunya kita, sesuai aturan. Enggak mau lagi kita seperti dulu," tegas Luhut di Jakarta, kemarin.
Seperti diketahui, perundingan antara pemerintah dan PT FreeÂport Indonesia yang dijadwalkan dilakukan selama 8 bulan, samÂpai 10 Oktober 2017, hingga kini belum menemukan titik temu. Sikap Freeport belum berubah terhadap beberapa tuntutannya. Antara lain seperti meminta perpanjangan kontrak selama 20 tahun dan jaminan stabilitas investasi setara dengan Kontrak Karya (KK).
Seperti diketahui, perundingan antara pemerintah dan PT FreeÂport Indonesia yang dijadwalkan dilakukan selama 8 bulan, samÂpai 10 Oktober 2017, hingga kini belum menemukan titik temu. Sikap Freeport belum berubah terhadap beberapa tuntutannya. Antara lain seperti meminta perpanjangan kontrak selama 20 tahun dan jaminan stabilitas investasi setara dengan Kontrak Karya (KK).
Sementara itu, selama negoÂsiasi berlangsung, pemerintah sudah memberikan berbagai kemudahan. Seperti memberiÂkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sementara kepaÂda Freeport agar bisa mendapatkan izin ekspor konsentrat.
Luhut menegaskan, pemerinÂtah tidak akan menabrak aturan demi Freeport. Namun demikian, dia menilai, selama ini negosiasi masih berjalan baik.
Misalnya, soal tuntutan FreeÂport mengenai stabilitas investaÂsi. Pemerintah sedang menyusun sebuah regulasi untuk menjamin investasi jangka panjang. NaÂmun, ditegaskannya, pemerintah tidak bisa membuat perjanjian seperti maunya Freeport karena tidak dimungkinkan menurut hukum yang berlaku.
Untuk diketahui, berdasarÂkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan, pemerintah menÂetapkan sistem pajak prevalling , yakni besaran pajak kepada perusahaan tambang ditetapkan mengikuti aturan yang berlaku yang ditetapkan pemerintah. Sementara itu, Freeport inginkan
nailed down atau bersifat tetap dengan alasan agar ada kepastian investasi.
Direktur
Executive Energy Watch, Mamit Setiawan kecewa dengan sikap Freeport yang terkesan tidak mau mengalah.
"Kalau begini nggak akan selesai Oktober. Karena rakyat mengharapkan hasil negosiasi yang adil dan fair," ungkap Mamit.
Dia menilai, Freeport bersikap keras karena merasa keberadaanÂnya sedang dibutuhkan pemerintah. Mereka tahu pemerintah butuh inÂvestasi. Namun, seharusnya tidak boleh begitu karena kerja sama harus didasari saling menghormati dan menghargai.
Mamit menduga, sudah sejak awal negosiasi dengan FreeÂport bakal alot. Jika memang perusahaan itu mau menerima ketentuan pemerintah, Freeport sudah membangun smelter.
"Pembangunan smelter itu bukan isu besar kok. Banyak perusahaan mau membangun. Mereka memang mau menekan saja. Mereka terlihat yakin menang kalau di bawa ke mahkamah arbitrase," cetusÂnya. ***