. Motif penolakan perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh Serikat Pekerja (SP) JICT ditengarai dilatarbelakangi motif ekonomi. Jika kontrak perpanjangan batal maka para pekerja JICT akan mendapatkan uang pesangon miliaran rupiah.
Menurut mantan Kepala Biro Hukum Kementerian Perhubungan Kalalo Nugroho, jika kontrak JICT-Pelindo II batal, otomatis pada saat tahun 2019 JICT tidak akan punya wilayah operasional di terminal Tanjung Priok dan tidak ada pekerjaan buat para pekerja.
"Mau kerja dimana mereka, wong dermaganya diambil alih Pelindo II," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Sabtu (5/8).
Dalam situasi tanpa operasional itulah menurut Kalalo, JICT akan dipaksa untuk rasionalisasi para pekerjanya. Dalam perhitungan di Perjanjian Kerja Bersama (PKB), masing-masing pekerja akan mendapatkan pesangon dengan jumlah miliaran.
Menurut UU 17 tentang Pelabuhan, Pelindo II sebagai pemilik konsesi berhak untuk bermitra untuk kegiatan operasional.
"Itu dermaga yang sekarang dioperasikan oleh JICT juga aset Pelindo II, aset negara," ujarnya.
Kalalo melihat penolakan yang dilakukan oleh SP ini tidaklah berdasar karena UU Pelayaran tidak melarang Pelindo II untuk bekerjasama dengan pihak ketiga. UU mengatur bahwa kerjasama dengan pihak ketiga tetap berlaku, akan tetapi wajib disesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam UU 17/2008 Pasal 345. Dan hal ini sudah dilakukan oleh Pelindo II dan JICT baik pada perjanjian asli yang akan berakhir tahun 2019 maupun perpanjangannya.
"Di JICT, pekerja mungkin ingin perusahaannya tutup dan segera dapat pesangon besar. Jika JICT tutup itu yang akan merugikan negara, karena sahamnya dimiliki Pelindo II yang juga BUMN," imbuhnya.
Kalalo juga menegaskan, penolakan SP JICT terhadap perpanjangan JICT justru merugikan merah putih. Dengan rental fee yang naik hingga 85 juta dolar AS pasca perpanjangan kontrak, yang diuntungkan adalah Pelindo II.
"Rental fee naik untuk pembangunan pelabuhan di Indonesia. Tapi kok malah dipersoalkan sama SP karena naiknya rental fee itu mengurangi bonus mereka. Jadi merah putihnya SP ini dimana, mereka nggak mau berkorban untuk negara kok, itu faktanya," tegas Kalalo.
Terpisah, Siswanto Rusdi Direktur Namarin Institute mengatakan, cara-cara SP JICT sudah merugikan negara. Dengan mogok kerja, SP JICT sudah mengganggu ekonomi nasional. Apalagi motif mogok tersebut hanya untuk memaksa direksi JICT membayar tambahan insentif yang tidak menjadi haknya.
"Soliditas pemangku kepentingan, kepolisian dan JICT dalam mengatasi mogok kerja SP JICT ini luar biasa. Perusahaan jangan kalah dengan ulah segelintir orang yang berusaha membangkrutkan aset negara," tegas Siswanto.
[rus]