RMOL. Pekan lalu Indonesia menjadi tuan rumah konferensi regional pemberantasan terorisme lintas batas negara. Negara-negara yang ikut konferensi tersebut adalah Selandia Baru, Australia, Brunei Darussalam, Malaysia, serta Filipina. Berikut penuturan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, terkait beberapa kesepakatan yang dihasilkan dari pertemuan tersebut;
Apa saja yang dibahas daÂlam pertemuan kemarin?
Ada tiga agenda yang dibahas di pertemuan itu. Agenda utamanya adalah soal perkembanÂgan foreign terrorist fighters (FTF) dan cross border terrorÂism di sub kawasan.
Kami ingin meningkatkan kerja sama di tingkat domestik dan kawasan, terkait counter violent extremism dan deradikaÂlisasi, serta upaya penguatan kerangka hukum dan kerja sama hukum.
Apa saja hasil pembahasan tersebut?Dalam pertemuan itu dicapai lima kesepakatan bersama antar perwakilan negara. Pertama, kami sepakat membentuk forum FTF dalam rangka memperkuat kerja sama untuk tukar informasi dan kerja sama penegak hukum, serta badan intelijen.
Kedua, mendorong kerja sama dengan semua perusahaan yang memberikan layanan media soÂsial, video file sharing dan mesÂsaging di negara masing - masÂing. Jadi perusahaan-perusahaan sosial media ini nantinya ikut membantu kami mencari keÂberadaan teroris atau menangkal secara langsung.
Apa kesepakatan lainnya?Selanjutnya, kami menilai perlu ada studi komparatif huÂkum terkait terorisme yang berÂlaku di masing-masing negara. Terkait hal ini, kami sepakat untuk memperkuat kerja sama antara lembaga penanggulangan kegiatan pendanaan kegiatan terorisme. Kelima, kami sepakat untuk meningkatkan kerja sama antar badan imigrasi. Terutama untuk mengamankan wilayah batas negara. Selain itu keÂmarin Saya juga mengajak teÂman-teman dari Australia, New Zealand, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, untuk bersaÂma-sama keroyok basis ISIS di Marawi, Filipina Selatan.
Kenapa Anda mengajak keÂlima negara itu untuk mengeÂroyok basis ISIS di sana?Saya ajak mereka bantu Filipina supaya masalah di sana cepat selesai. Karena kalau tidak, nanti bisa merambat ke Indonesia. Basis ISIS di Marawi merupakan hasil pemindahan pusat ISIS di Suriah yang telah hancur. Itu konsep pemindahan pusat ISIS di Suriah yang telah digempur semua oleh negara seÂkutu, maka mereka mencoba unÂtuk masuk ke konsep divergen.
Bagaimana respons kelima negara tersebut atas ajakan itu?Respons mereka sangat positif. Dalam pertemuan keÂmarin sudah ada kesepakatan dan sudah ada kesadaran bahwa tidak ada satu negara yang bisa menghadapi sendiri masalah terorisme. Single state, tidak mungkin. Mereka adalah organÂisasi internasional yang mempuÂnyai jaringan di seluruh dunia untuk itu tidak mungkin hanya dihadapi satu negara.
Kemarin kan sempat muncul usulan agar Amerika Serikat dilibatkan dalam upaya penÂanganan teroris di Marawi. Bagaimana terkait usulan ini?Terkait hal itu, beberapa bulan lalu negara-negara di seluruh dunia sudah melakukan perÂtemuan beberapa kali, salah satunya dalam forum G-20 di Jerman. Pertemuan itu juga memÂbicarakan bagaimana seluruh negara sepakat, menempatkan terorisme sebagai ancaman nyata dunia. Seluruh negara sepakat terlibat untuk mengatasi masalah terorisme, termasuk Amerika Serikat. Namun dalam pertemuan saya dengan Yang Mulia George Brandis bulan Januari dan Maret tahun ini, kami mencoba untuk terlebih dahulu memfokuskan pada negara-negara di kawasan perairan Sulu, untuk menghadapi satu ancaman baru di wilayah Filipina Selatan.
Kenapa begitu?Karena negara-negara yang ada di kawasan ini mempunyai kepentingan langsung dengan keamanan regional. Ini step perÂtama yang kami lakukan, dan kaÂmi harapkan ada satu step lagi.
Step apakah itu?Dari pertemuan kemarin ada satu keputusan, yaitu akan ada pertemuan lanjutan dari pejabat-pejabat tinggi antarnegara, untuk mengaplikasikan kesepakaÂtan kemarin menjadi satu aksi yang lebih nyata. Pertemuan sub-regional selanjutnya ini recananya akan diselenggarakan pada tahun 2018. ***