Berita

Jaya Suprana/Net

Jaya Suprana

Tertawa Belum Tentu Sehat

MINGGU, 30 JULI 2017 | 10:25 WIB | OLEH: JAYA SUPRANA

AKIBAT meyakini pameo 'tertawa itu sehat', bangsa Indonesia gemar tertawa. Sayang akhir-akhir ini tampil suatu gejala kemerosotan peradaban bahwa kegemaran tertawa merosot menjadi kegemaran menertawakan orang lain.

Gejala buruk tersebut jangan dianggap sepele sebab makna  tertawa bukan sekadar berhenti pada tertawa saja. Makna tertawa merambah ke kawasan luar biasa kompleks sampai ke berbagai penjuru aspek kehidupan baik yang terduga mau pun tak terduga memiliki kaitan dengan tertawa  secara positif namun juga secara negatif bahkan destruktif terhadap peradaban bangsa Indonesia.

Psikobiologis
Secara psikobiologis tertawa merupakan suatu bentuk refleks motorik yang diproduksi oleh kontraksi tidak kurang dari 15 otot yang berada di kawasan wajah manusia secara terkoordinir dalam pola-pola stereotipikal serta diiringi dengan hambatan pada pernafasan.  

Secara psikobiologis tertawa merupakan suatu bentuk refleks motorik yang diproduksi oleh kontraksi tidak kurang dari 15 otot yang berada di kawasan wajah manusia secara terkoordinir dalam pola-pola stereotipikal serta diiringi dengan hambatan pada pernafasan.  

Stimulasi elektrikal pada otot-utama pada bibir bagian atas -zygomatic major- dengan beragam intensitas arus menciptakan ekspresi wajah mulai dari sesimpul senyum sampai ke seringai lebar sampai ke kejang mulut akibat tertawa  terbahak-bahak.

Itu baru aspek mekanikal tertawa, di mana sisi lainnya tidak kalah kompleks, rumit dan ruwet! Memang tertawa  bisa dianggap sebagai suatu bentuk response, sementara humor  adalah  stimulus.  

Namun keliru jika menganggap humor  adalah satu-satunya stimulus bagi tertawa. Sama kelirunya dengan anggapan bahwa tertawa  adalah satu-satunya reaksi  terhadap humor .  
Kedua untuk itu tidak berambisi untuk saling memonopoli. Tertawa bisa timbul sebagai reaksi terhadap stimulus-emosional (akibat pihak yang tertawa merasakan sesuatu yang lucu ), namun bisa juga stimulus-fisikal (gelitik, itik-itik) atau stimulus-kimiawi  (akibat gas N2O) atau stimulus-faal (stadium-akhir penyakit multiple-sclerose  disebut sebagai pseudobulbaire paralyse , suatu gejala ragawi mirip tertawa namun berdampak melumpuhkan sebelum membinasakan). Atau ada juga tertawa  tanpa stimulus seperti orang yang tertawa sendirian  akibat gangguan kejiwaan.

Sehat
Hadir suatu keyakinan bahwa “tertawa itu sehat” padahal  tertawa belum tentu sehat.  Bahkan  tertawa  bisa berbahaya bagi kesehatan! Tertawa berlebihan bisa menimbulkan gangguan terhadap mekanisme pernapasan sampai  pencernaan. Tidak sedikit pasien terpaksa masuk unit gawat darurat rumah sakit  akibat kejang sekat-rongga-badan akibat tertawa.

Bagi yang baru saja mengalami bedah tubuh bagian perut, dada sampai mulut, sebaiknya jangan tertawa, bukan hanya demi cepat sembuh namun juga demi mampu tetap hidup. Tertawa bahkan potensial menjadi penyakit menular, seperti yang terjadi di desa Bukobia, Tanzania pada tahun 1972 di mana para gadis remaja di dusun itu secara berjemaah tertawa  tanpa bisa berhenti selama berhari-hari. Ternyata tertawa  tanpa henti apalagi selama berhari-hari sama sekali tidak sehat!  Dalam keadaan tertawa, manusia sulit melakukan kegiatan makan, minum sampai buang air kecil mau pun besar!  

Sosial
Secara sosial, peran tertawa sama sekali tidak sepele.  Hubungan antar insan lebih baik terjalin dalam suasana gelak-tawa bersama, ketimbang saling pelototan mata sambil saling cemooh, hujat, fitnah, kriminalisasi bahkan saling mengancam untuk saling membinasakan! Namun tertawa harus dikendalikan agar “empan papan” alias tepat tempat, waktu serta sasaran.

Tertawa wajib bertanggung jawab sosial, seperti misalnya jangan tertawa pada upacara pemakaman. Lelucon yang paling jenaka bisa saja sama sekali tidak merangsang seseorang untuk tertawa, apabila inti makna kejenakaan lelucon tidak tertangkap.

Lelucon beraroma SARA lazimnya sulit bikin pihak sasaran lelucon untuk tertawa. Bisa juga akibat secara pribadi, pihak penerima lelucon kebetulan antipati, dengki, cemburu, dendam , benci terhadap pihak pemberi lelucon maka selucu apa pun sang lelucon mustahil bikin tertawa.

Berdasar etika peradaban, memang adalah jauh lebih adil dan beradab untuk gemar menertawakan diri sendiri ketimbang  gemar menertawakan orang lain.[***]


Penulis adalah pendiri Pusat Studi Humorologi


Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

Makin Botak, Pertanda Hidup Jokowi Tidak Tenang

Selasa, 16 Desember 2025 | 03:15

UPDATE

Bawaslu Usul Hapus Kampanye di Media Elektronik

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:26

Huntap Warga Korban Bencana Sumatera Mulai Dibangun Hari Ini

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:25

OTT Jaksa Jadi Prestasi Sekaligus Ujian bagi KPK

Minggu, 21 Desember 2025 | 11:11

Trauma Healing Kunci Pemulihan Mental Korban Bencana di Sumatera

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:42

Lula dan Milei Saling Serang soal Venezuela di KTT Mercosur

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:35

Langkah Muhammadiyah Salurkan Bantuan Kemanusiaan Luar Negeri Layak Ditiru

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:24

Jadi Tersangka KPK, Harta Bupati Bekasi Naik Rp68 Miliar selama 6 Tahun

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:56

Netanyahu-Trump Diisukan Bahas Rencana Serangan Baru ke Fasilitas Rudal Balistik Iran

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:32

Status Bencana dan Kritik yang Kehilangan Arah

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:55

Cak Imin Serukan Istiqomah Ala Mbah Bisri di Tengah Kisruh PBNU

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:28

Selengkapnya