Berita

Ilustrasi/Net

Hukum

Terkait Persekusi, Saatnya Aparat Introspeksi Apakah Sudah Adil Dalam Penegakan Hukum

RABU, 07 JUNI 2017 | 14:14 WIB | LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR

"Apa yang membedakan norma-norma hukum dari norma umum lainnya? Jawabannya sangat sederhana. Kalau kita berlaku kurang sopan, kita barangkali akan dipukul orang. Kalau kita berlaku amoral, misalnya selalu mengejek orang yang cacat fisiknya, kita akan ditegur atau dijauhi orang. Tetapi kalau kita melanggar hukum, kita akan ditangkap, dihadapkan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman. Jadi perbedaan antara norma hukum dan norma-norma lain tidak terletak dalam isinya, melainkan dalam sanksi yang akan dikenakan atas pelanggarannya."

Penjelasan di atas ditulis filsuf Franz Magnis-Suseno dalam buku Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraaan Modern, dalam Bab IV "Apa Itu Hukum" halaman 69.

Meski berpendapat demikian, saya sendiri yakin rohaniawan yang akrab disapa Romo Magnis itu tidak akan membenarkan praktik persekusi yang ramai diberbincangkan belakangan ini. Menurut saya, dia hanya ingin mengatakan bahwa ada aturan yang hidup di tengah masyarakat, dan masyarakat punya cara untuk menyelesaikanya.

Persekusi memang sekonyong-konyong menjadi aturan baru. Banyak yang menolak istilah tersebut karena tidak tepat, bahkan berlebihan. Tapi Kepolisian malah sudah menetapkan dua orang tersangka terkait persekusi.

Masyarakat yang baru mendengar istilahnya tiba-tiba dijerat dengan aturan tersebut. Apakah itu tidak melanggar HAM? Asas hukum menyatakan, nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali bahwa tidak ada tindak pidana jika belum ada undang-undang pidana yang mengaturnya lebih dahulu.

Kalau memang pada akhirnya para tersangka dijerat dengan aturan yang sudah berlaku, gunakan saja istilah yang ada dalam UU itu. Bukan menggunakan kosa kata baru yang membuat masyarakat bingung. Apalagi pada praktiknya, apa yang dituduhkan sama sekali tidak sama dengan defenisi atau contoh yang dikenal di tengah masyarakat selama ini.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Mempersekusi berarti menyiksa atau menganiaya. Istilah persekusi ini digunakan ketika massa dan pemerintah Romawi kuno mengejar-ngejar umat Kristen untuk dieksekusi. Perburuan ini hanya karena berbeda agama dengan penguasa ketika itu.

Apa yang dialami dr Fiera Lovita misalnya, berbeda sekali bila dibandingkan dengan defenisi atau ketika istilah persekusi pertama kali muncul. Bahkan Kadiv Humas Polri mengungkapkan tidak ada masalah lagi setelah dokter di RSUD Solok, Sumatera Barat tersebut meminta maaf kepada FPI atas unggahannya.

Namun, kata Kadiv Humas lagi, ada yang mencoba mengadudomba dengan mendramatis kejadian tersebut, lalu memviralkan sehingga menyedot perhatian masyarakat luas.

Belakangan setelah dr Fiera terbang ke Jakarta, semakin dibesar-besarkan adanya persekusi. Yang terbaru Kapolri mencopot Kapolresta Kota Solok AKBP Susmelawati Rosya karena tidak puas atas penanganan kasus tersebut.

Begitu juga dengan kasus yang dialami Mario Alvian, remaja 15 tahun warga Cipinang Muara, Jakarta Timur. Betul bahwa telah terjadi penamparan terhadap Mario oleh orang yang disebut anggota Front Pembela Islam (FPI). Tapi itu lokasinya di 'kantor pemerintahan', Kantor RW.

Meski penamparan tidak dapat dibenarkan, saya menduga persoalan tersebut sudah dianggap selesai setelah ada "pertemuan" di kantor RW. Apalagi Mario sudah menulis permohonan maaf atas apa yang dia lakukan atau tulis di media sosial. Saya juga tidak tahu, apakah perbuatan Mario bisa dianggap kurang sopan, seperti disampaikan Romo Magnis di atas sehingga wajar untuk mendapatkan perlakuan demikian.

Sepertinya tidak hanya FPI. Ormas dan elemen masyarakat lain juga pernah melakukan hal yang hampir sama. Kokam Muhammadiyah misalnya, beberapa kali mendatangi netizen karena menulis sesuatu yang tidak tepat di Facebook. Masalah selesai setelah adanya permintaan maaf dan berjanji tidak akan mengulangi.

Masyarakat menempuh caranya sendiri, yaitu secara kekeluargaan. Itu mungkin positif. Karena kalau semua perkara yang dinilai mengundang hoax, hate speech atau melanggar UU ITE dibawa ke proses hukum, mungkin pihak Kepolisian tidak akan selesai-selesai mengusutnya. Karena begitu banyaknya kasus sejenis.

Dan saya sendiri tidak tahu apakah bisa dibandingkan, disamakan atau tidak persekusi ini dengan aksi pembubaran pengajian di banyak tempat oleh Banser NU, bahkan penyerbuan ke bandara oleh sekelompok orang di Manado dan Pontianak lengkap dengan senjata tajam. Dua contoh terakhir ini, sepertinya belum terdengar tindakan hukum yang diambil Kepolisan.

Terlepas dari itu, persekusi ini adalah reaksi masyarakat terhadap unggahan seseorang di media sosial karena mengandung unsur kebencian, fitnah, SARA dan lain sebagainya. Untuk mengantisipasinya, Patroli Cyber yang dibentuk Kepolisian harus aktif dan gencar dalam menanggulanginya. Yang tak kalah penting, aparat harus adil.

Karena banyak yang menilai aparat tidak fair. Polisi cepat menindak para netizen yang kontra Kepolisian atau pemerintah. Entah sudah berapa para penghina Kapolri atau Presiden yang dijadikan tersangka. Hal ini berbeda dengan penghinaan atau ujaran kebencian yang dialami oleh tokoh-tokoh yang selama ini kerap 'berbeda pandangan' dengan pemerintah.

Kepolisian cepat sekali menangkap penggunggah percakapan yang diduga rekayasa antara Kapolri dengan Kapolda Jawa Barat. Demikian juga pihak yang menyebarkan "fake chat" antara Kapolri dengan Kabid Humas Polda Metro Jaya, juga sudah diamankan.

Sementara misalnya, pihak yang menyebarkan percakapan yang mengandung pornografi yang disebut terkait Habib Rizieq dan Firza Husein sampai sekarang belum juga berhasil tangkap. Bahkan penghina Ketua MPR di Twitter sampai saat ini tidak jelas bagaimana tindak lanjut hukumnya.

Karena itulah yang dibutuhkan saat ini adalah penegakan hukum yang adil. Polisi harus segera bertindak begitu menemukan adanya konten yang mengandung ujaran kebencian, hoax, fitnah dan lain sebagainya sebelum masyarakat bergerak.

Ingat, seperti ditulis Romo Magnis dalam bukunya, suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil, bukan sekadar hukum yang buruk, melainkan bukan hukum sama sekali. [zul]

Populer

Demo di KPK, GMNI: Tangkap dan Adili Keluarga Mulyono

Jumat, 20 September 2024 | 16:22

Mantan Menpora Hayono Isman Teriak Tanah Keluarganya Diserobot

Jumat, 20 September 2024 | 07:04

Makin Ketahuan, Nomor Ponsel Fufufafa Dicantumkan Gibran pada Berkas Pilkada Solo

Senin, 23 September 2024 | 09:10

Pasukan Berani Mati Bela Jokowi Pembohong!

Minggu, 22 September 2024 | 14:03

Roy Suryo: Akun Fufufafa 99,9 Persen Milik Gibran

Kamis, 19 September 2024 | 10:39

Kejagung di Bawah ST Burhanuddin, Anak Buah Jalan Masing-masing

Rabu, 25 September 2024 | 17:11

Akun Fufufafa Ganti Nama dari Gibran jadi Slamet Gagal Total

Senin, 23 September 2024 | 08:44

UPDATE

Bank Mandiri Berkomitmen Bakal Terus Aktif Tingkatkan Prestasi Olahraga Nasional

Minggu, 29 September 2024 | 22:06

Keluarga Kesultanan Kutaringin Yakin Agustiar Sabran Layak Pimpin Kalteng

Minggu, 29 September 2024 | 22:01

Hidayatullah: HIRO Hadir Untuk Membawa Medan Berdaya dan Berjaya

Minggu, 29 September 2024 | 21:52

BKSAP Luncurkan Buku Sekaligus Deklarasi Pembentukan Asosiasi Parlemen Berbahasa Indonesia-Melayu

Minggu, 29 September 2024 | 21:24

Indikator: Popularitas Khofifah Indar Parawansa Moncer di Pilgub Jatim

Minggu, 29 September 2024 | 20:36

Polisi Cari Penyebar Pertama Video Pembubaran Diskusi FTA

Minggu, 29 September 2024 | 20:07

JaDI Sumut: Prof Ridha Sudah Tepat Mengadu ke Bawaslu

Minggu, 29 September 2024 | 19:56

Rudy Mas'ud Punya Utang Rp137 Miliar, Komitmen Pemberantasan Korupsi Dipertanyakan

Minggu, 29 September 2024 | 19:55

Unggul Polling, Tim Robinsar-Fajar Optimistis Menang di Cilegon

Minggu, 29 September 2024 | 19:48

Perkuat Kebersamaan, Kritikus Politik Ini Ajak Puluhan Tokoh Bahas Perubahan

Minggu, 29 September 2024 | 19:43

Selengkapnya