Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memasukkan sejumlah usulan dalam RUU yang merupakan inisitif dari Pemerintah tersebut. Setidaknya ada lima aspek.
"Setelah melalui RDP, RDPU, kemudian pembahasan dalam rapat-rapat ditemukan formula baru yang sebenarnya sangat penting untuk dikonstruksikan menjadi bagian dari RUU yang sedang dibahas," jelas Ketua Pansus RUU Anti-Terorisme, Muhammad Syafii, dalam perbincangan dengan Kantor Berita Politik RMOL lewat sambungan telepon pagi ini (Jumat, 2/6).
Pertama, aspek pencegahan. Yaitu, mengedepankan proses edukasi dan mengembalikan orang yang terpapar paham terorisme ke jalan yang benar.
"Pansus melihat paling penting pencegahan supaya tidak terpapar paham terorisme dengan melibatkan banyak kementerian dan lembaga negara, termasuk intelijen, baik BIN, BAIS," ungkap politikus Gerindra ini.
Kedua, penindakan harus memenuhi standar penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Ketiga, korban peristiwa terorisme menjadi tanggung jawab negara.
"Seperti saat wawancara ini tiba-tiba ada meledak bom dekat kita. Masak (kita) enggak ada yang urus. Jadi harus tanggung jawab negara," tekannya.
Keempat, penguatan peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Bahkan BNPT diusulkan menjadi
leading sector dalam menangani masalah terorisme.
"Terorisme ini
extra ordinary crime, seperti korupsi dan narkoba. Kalau korupsi ada KPK, narkoba BNN," katanya membandingkan.
Karena itu, yang menentukan lembaga mana yang menindak kalau ada aksi atau indikasi terorisme adalah BNPT. Densus atau satuan elit lain di tubuh TNI, seperti Dengultor (AD), Denjaka (AL), dan Denbraovo (AU) tinggal menunggu perintah dari BNPT.
"Kalau soal ketertiban kemanan, polisi. Kalau eskalasi tinggi, ada ancaman (terhada) negara, maka BNPT menetapkan polisi bersama TNI. Kalau murni ancaman negara, zonasi kewenangan TNI, polisi tidak ikut. Jadi enggak ada BKO-BKO. Keberadaan Polisi/TNI di BNPT menjadi satgas menindak teror," tandasnya.
[zul]