TINDAKAN Pemerintah Orde Baru membina kelompok mantan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII) dan Tentara Islam Indonesia (TII) pengikut SM Kartosuwiryo seperti memelihara anak macan. Selagi masih kecil berlaku jinak dan patuh, namun setelah besar justru akan memangsa yang memeliharanya.
Hal tersebut terlihat pada masa digulirkannya reformasi 1998. Orde Baru tumbang dan berganti dengan Orde Reformasi yang menggaungkan kebebasan. Pada masa bergulirnya Orde Reformasi itu, romantisme perjuangan DI/TII kembali mengilhami sejumlah ormas Islam dan kepemudaan di daerah, khususnya di tempat-tempat yang pada masa lalu pernah menjadi basis perjuangan DI/TII.
Para ormas dan kelompok kepemudaan itu membentuk komite-komite yang memperjuangkan penegakkan sya'riat Islam. Misalnya Komite Persiapan Penegakkan Sya'riat Islam di Banten, Front Thoriqatul Jihad di Kebumen, Gerakan Penegak Sya'riat Islam di Yogyakarta, Lembaga Pengembangan dan Pengkajian Sya'riat Islam di Sukabumi, Lembaga Pengkajian Penerapan Sya'riat Islam di Pamekasan dan seterusnya.
Namun paska berakhirnya masa Orde baru, terlebih lagi setelah wafatnya Ali Moertopo, gerakan-gerakan binaan tersebut menjadi kehilangan kendali. Pertama, karena sudah terlalu lama terputusnya komunikasi reguler antara pihak intelijen pemerintah dengan mereka. Kedua, bergulirnya reformasi yang membawa perubahan politik di Indonesia, termasuk perubahan dalam pengelolaan sistem keamanan nasional.
SETARA Institute-Jakarta pada tahun 2012 mempublikasikan hasil penelitiannya yang diberi judul "DARI RADIKALISME MENUJU TERORISME-Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta". Risalah penelitian itu menyebutkan bahwa transformasi gerakan Islam di Indonesia terbagi dalam tiga babak yang tidak berkesinambungan karena gerakan Islam tidak hanya bertransformasi tetapi juga melakukan metamorfosis yang terpisah-pisah dalam berbagai bentuk gerakan dan aksi.
Babak pertama, pada masa pra kemerdekaan atau pada masa kolonial sampai di masa awal kemerdekaan, gerakan Islam kebangsaan sudah mulai memasuki wilayah politik praktis seperti yang diwujudkan oleh organisasi Syarekat Islam pimpinan HOS Tjokroaminoto. Namun di masa kolonial itu, dasar dari gerakannya masih bertumpu kepada nilai-nilai kultural.
Berikutnya di masa awal kemerdekaan, organisasi-organisasi Islam yang dahulunya berbasis kultural semakin bertansformasi ke dalam gerakan politik praktis. Contohnya adalah NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti) yang melembaga ke dalam partai politik atau menjadi organisasi sayap partai politik di masa itu. Keberadaannya menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kelompok nasionalis yang memperdebatkan Piagam Jakarta yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia) dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang menghendaki Pancasila sebagai ideologi negara. Dinamika yang terjadi pada kisaran tahun 1955 ketika Pemilu pertama diselenggarakan hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang terus berbuntut panjang sampai pada Pemilu pertama di masa orde baru tahun 1971. Yakni merefleksikan gerakan politik praktis sebagai perjuangan umat Islam di Indonesia.
Babak kekua, yaitu pada paska Pemilu 1977 ketika gerakan Islam dari gerakan politik praktis bertransformasi kepada gerakan dakwah yang pada periode ini melahirkan dua kelompok besar yaitu kelompok Islam substansialistik dan kelompok Islam legal formalistik setelah arus politik Islam dimarginkan oleh Orde Baru. Di masa itu, kedua kelompok besar tersebut menempatkan diri sebagai kelompok intelektual Islam yang kegiatannya lebih bersifat dakwah atau diskusi wacana wawasan Islam.
Saat ini muncul nama-nama tokoh intelektual Islam seperti Abdurrachman Wahid, Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo dan sejumlah nama tokoh lainnya. Namun seiring dengan periode itu pula muncul kembali arus radikalisme Islam yang dimotori para eskponen DI (Darul Islam) dan NII (Negara Islam Indonesia) melalui pertemuan Mahoni tahun 1974 yang melahirkan Dewan Imamah di bawah pimpinan Daud Beureuh, Gaos Taufik, Adah Jaelani, Aceng Kurnia, Dodo Muhammad Darda dan Danu Muhammad Hasan. Pertemuan Mahoni tersebut menjalin komitmen untuk tetap melanjutkan perjuangan mendirikan negara Islam.
Berikutnya radikalisme Islam pada periode tersebut mewujud dalam gerakan Islam garis keras yang mulai melancarkan aksi-aksi teror seperti aksi Komando Jihad, pembajakan pesawat Woyla, Teror Warman, gerakan Imran dan peristiwa Lampung (1979) sebagai aksi Wasdi dan peristiwa yang dikenal dengan nama "Geger Talangsari". Selanjutnya pada tahun 1981, Imran Muhammad Zein mengobarkan konfrontasi fisik dengan latarbelakang revolusi Islam di Indonesia. Tahun 1980-an kelompok Imran yang menyebut dirinya sebagai Komando Jihad dari Islam Jama'ah melakukan aksi pengeboman bank BCA di Jakarta, peledakan bom di Candi Borobudur-Magelang, Jawa Tengah. Kerusuhan berdarah di Tanjung Priok pada 12 September 1984 dan seterusnya.
Babak ketiga, terjadi pada paska peristiwa 11 September 2001 di New York-AS yang menjadi tragedi terorisme paling serius di dunia. Setelah di Indonesia terjadi reformasi 1998 yang juga memberi perubahan besar terhadap gerakan Islam radikal. Di masa inilah muncul gerakan-gerakan Islam yang mengancam demokrasi itu sendiri.
Misalnya berkembangnya organisasi Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Salafi. Disusul lagi dengan munculnya gerakan-gerakan Islam dalam bentuk organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Gerakan Reformis Islam dan Thaliban yang memainkan kontestasi politik dan kultural di Indonesia.
Di saat inilah kelompok-kelompok Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad mendapat dua pesaing sekaligus yaitu kelompok Islam transnasional dan kelompok Islam radikal berskala lokal.
Akhirnya pada babak kekiga itu, gerakan Islam radikal di Indonesia bertransformasi menjadi gerakan terorisme.
Lebih dari satu dasawarsa setelah reformasi 1998, Indonesia diguncang dengan berbagai aksi teror yang juga menjadi perhatian dunia internasional. Aksi teror yang terkait dengan terorisme internasional dan transnasional.
Definisi Teroris:
UU No.15-Tahun 2003 tentang Terorisme menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan terorisme adalah aksi atau tindakan kriminal yang tertera dalam Peraturan Pemerintah No. 2 - Tahun 2002 Pengganti Undang-Undang Nomor 1 - Tahun 2002 tentang Aksi Terorisme Kriminal. Sehingga dengan demikian, berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentunya, aksi terorisme merupakan suatu perbuatan kriminal yang menimbulkan gangguan ketertiban dan keamanan di masyarakat.
Sedangkan menurut Ensiklopedia Indonesia Tahun 2000, terorisme adalah kekerasan atau ancaman kekerasan yang diperhitungkan sedemikian rupa untuk menciptakan suasana ketakutan dan bahaya dengan maksud untuk menarik perhatian nasional mau pun internasional terhadap suatu aksi mau pun tuntutan. Kemudian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian teror ialah rasa takut yang ditimbulkan oleh orang atau sekelompok orang. Tidak berbeda dengan pengertian dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang menyebutkan bahwa terorisme adalah tindakan atau praktek teror yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).
Demikian pula penjelasan di dalam Webster Students Dictionary yang menegaskan bahwa terorisme adalah suatu metode dalam mengontrol kondisi politik dengan cara yang menimbulkan ketakutan di kalangan pemerintah. Selain itu juga menjadi alat kaum oposisi (penentang) dalam menggunakan rencana jahat untuk menyebabkan ketakutan dan kepanikan di kalangan pemerintah yang sedang berkuasa.
Konvensi PBB tahun 1989 juga telah merumuskan bahwa terorisme adalah suatu bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
Maka singkat kata, berdasarkan Undang-Undang No.15 - Tahun 2003 tentang Penanggulangan Masalah Terorisme itu, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan terorisme adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan tujuan untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara. Yaitu dengan aksi yang membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran pada obyek-obyek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum atau fasilitas internasional sebagaimana tertera pada Bab I, Pasal 1 - Undang-Undang No.15 - Tahun 2003 tentang Terorisme.
Terorisme juga bisa dikategorikan sebagai suatu tindak kekerasan politis (political violence). Misalnya menciptakan kerusuhan massal, menyebabkan konflik sosial, menimbulkan pemberontakan, perang saudara dan sebagainya yang bernuansa atau berlatarbelakang politis dengan target berdampak politis. Sedangkan bentuk aksinya bermacam-macam, bisa dalam bentuk penyebaran isu yang berimplikasi kepada pembangunan konflik kepentingan golongan, kelompok atau ideologi. Misalnya dengan melakukan aksi peledakan bom yang ditargetkan untuk menarik perhatian pihak-pihak tertentu dalam aspek politis, di dalam negeri mau pun dunia internasional. Melakukan aksi pembajakan pesawat komersil atau kapal kargo, penyanderaan indvidu atau kelompok serta lain sebagainya. Semua aksi tersebut dilakukan dengan sadar, terencana dan memiliki target tertentu.
Terorisme - menurut Prof. Drs. Budi Winarno, MA, PhD. - merupakan fenomena yang kompleks dan definisinya sangat luas. Kendati demikian, semuanya hampir berangkat dari titik awal yang sama. Yaitu merumuskan bahwa terorisme memiliki karakteristik utama seperti penggunaan kekerasan. Sedangkan menurut Viotti dan Kaup (2011) dalam buku Prof.Drs. Budi Winarno, MA, PhD. dikemukakan bahwa terorisme biasanya dibedakan secara tradisional dengan bentuk-bentuk kriminal lainnya. Hal tersebut dikarenakan tindakan terorisme senantiasa mengandung muatan politik.
Menurut mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara) Jenderal Purn. Prof. DR. Ir. HM. Hendropriyono, kegiatan terorisme itu ibarat sebatang pohon dengan teroris diperumpamakan sebagai daunnya, organisasi sebagai batang dan ranting. Ideologi politis sebagai akarnya serta habitat sosial sebagai tanah tempat pohon itu tumbuh. Oleh karena itu, kegiatan teroris menurut HM Hendropriyono, dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang jika dibaratkan sebatang pohon, mak matahari adalah kondisi global, sedangkan kondisi geopolitik global sebagai pupuk yang menyuburkannya, kemudian gesekan atau konflik antarperadaban sebagai atmosfer.
Namun secara umum dapat disimpulkan bahwa terorisme dan aksi teror, semata-mata bertujuan untuk menarik perhatian pemerintah atau dunia internasional, dengan cara menimbulkan gangguan keamanan serta ketakutan dan kepanikan masyarakat terhadap aksi-aksi teror tersebut. Terlebih bilamana aksi-aksi teror itu menimbulkan kerusakan dan kehancuran fisik, korban jiwa serta hal-hal lainnya yang mengancam keselamatan hidup orang banyak.
Kata "terorisme" berasal dari Bahasa Perancis le terreur yang artinya bergetar. Awalnya istilah tersebut digunakan untuk menjuluki tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang menggunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang rakyat Perancis yang dituduh telah berkhianat melakukan kegiatan anti pemerintah. Akan tetapi terorisme mulai dikenal luas sejak abad ke-19 ketika Eropa Barat memasuki era industrialisasi dan urbanisasi. Saat itu buruh industri di wilayah perkotaan yang tumbuh cepat dieksploitasi habis-habisan, diperlakukan secara tidak adil oleh manajemen perusahaan dengan jam kerja panjang dan upah yang tidak memadai. Sehingga menumbuhkan sikap perlawanan buruh kepada para majikan atau pemilik perusahaan. Berbeda dengan abad ke-20, sejumlah negara melihat terorisme sebagai sarana bargaining dalam hubungan internasional.
Terorisme berkembang pesat pada paruh ke dua dari abad ke 20 ketika dunia terlibat dalam peperangan antara kapitalis bersama demokrasi Barat berhadapan dengan komunis dan Marxis-Leninis. Namun setelah runtuhnya Negara Uni Soviet serta berkembangnya dominasi neoliberal, gerakan terorisme lebih diwarnai oleh persoalan-persoalan ideologis keagamaan seperti yang terjadi dan sedang tumbuh berkembang di Indonesia. Meskipun begitu harus juga diakui bahwa perkembangan gerakan teroris juga tidak terlepas dari kondisi ekonomi. Martin dan Schumann misalnya, dalam buku Prof.Budi Winarno (2011) merumuskan analisisnya bahwa manakala 95 % peningkatan ( populasi ) penduduk berlangsung di daerah-daerah paling miskin, pertanyaan yang muncul bukan lagi apakah akan terjadi perang baru ? Melainkan bagaimana bentuk perang itu, dan siapa akan melawan siapa?
Tipe-tipe Terorisme
Paul Wilkinson dalam tesis Reza Ahmad Syaiful: "Pembentukan Badan Penanggulangan Terorisme" FISIP UI-2010, menyebutkan ada beberapa tipe, tujuan dan ciri-ciri dari terorisme yang digolongkan menjadi empat macam, yaitu Terorisme Epifenomenal, Terorisme Revolusioner, Terorisme Subrevolusioner dan Terorisme Represif
Terorisme Epifenomenal ialah terorisme yang tidak memiliki tujuan khusus, suatu ekses dari kekerasan horizontal berskala besar, teror jenis ini tidak memiliki perencanaan yang rapi. Terorisme Revolusioner bertujuan untuk merevolusi suatu sistem yang ada secara radikal, oleh sebab itu terorisme jenis ini memiliki ciri fenomena kelompok, memiliki organisasi dan struktur kepemimpinan, ideologi, konspirasi dan elemen paramiliter.
Terorisme Subrevolusioner ialah teror yang bermotif politis, menekan pemerintah untuk mengubah ketentuan hukum atau kebijakan tertentu, perang politis dengan rival atau teror untuk menyingkirkan pejabat tertentu. Ciri-ciri dari Terorisme Subrevolusioner ialah dilakukan oleh kelompok kecil, sulit untuk diprediksi dan sulit dibedakan dengan tindakan psikopatis.
Terorisme Represif ialah aksi teror yang menindas orang lain atau kelompok yang tidak dikehendaki oleh penindas dengan cara likuidasi. Ciri-ciri dari teror jenis ini ialah berkembang menjadi teror massa, ada aparat teror, polisi rahasia, penculikan, penyebaran rasa curiga-mencurigai di masyarakat dan umumnya digunakan sebagai alat penguasa menakuti rakyatnya seperti yang sering terjadi di masa pemerintahan orde baru.
Terorisme secara skalatif dapat dibagi menjadi dua tipe kongkrit, yakni terorisme internasional dan terorisme transnasional. Menurut Reza Achmad Syaiful dalam tesisnya itu, bahwa yang dimaksud dengan terorisme internasional ialah aksi jaringan teroris dengan cakupan wilayah yang terbatas yaitu dalam suatu batas wilayah (teritorial) suatu negara. Serangan aksi terorisme internasional lebih ditujukan kepada warga asing atau aset asing yang diorganisasikan oleh lebih dari satu negara dan bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah asing terkait dengan latabelakang ( motiv ) aksi teror tersebut. Sedangkan terorisme transnasional ialah jaringan terorisme global yang mempersiapkan revolusi global untuk tatanan dunia baru dan menjadi bagian dari terorisme internasional yang radikalis.
Namun secara umum dapat disimpulkan bahwa terorisme internasional mau pun terorisme transnasional memiliki tujuan yang hampir sama yaitu untuk mempengaruhi kebijakan suatu negara atau beberapa negara terhadap pandangannya kepada ideologi kelompok atau jaringan teroris tersebut. Sebagai contoh aksi terorisme Irlandia (IRA atau Irish Republican Army) yang menuntut pembebasan Irlandia dari jajahan Inggris. Atau contoh lainnya ialah aksi terorisme PLO (Palestina Liberation Organitation) yang dahulunya dipimpin oleh Yasser Arafat. Aksi terorisme yang dilancarka oleh organisasi PLO itu bertujuan untuk menjadikan Negara Palestina merdeka dari tekanan dan jajahan Negara Israel. Demikian pula aksi terorisme yang dilakukan oleh organisasi Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden, atau organisasi ISIS dan semacamnya yang memiliki tujuan kurang lebih sama.
Menurut Ansyaad Mbai, mantan Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris), tipe atau ciri-ciri teroris di Indonesia ialah memiliki jaringan yang kuat antara satu kelompok dengan kelompok lainnya di berbagai wilayah di Indonesia. Misalnya di suatu ketika antara mereka saling berkoalisi, merencanakan aksi bersama dan saling membantu dalam mewujudkan rencananya, namun di suatu saat yang lain mereka bisa saja memecah diri menjadi sel-sel jihad, dan ketika ada kesempatan untuk berkoalisi lagi maka mereka pun saling merapatkan diri. Hanya satu hal yang mengikat mereka, yaitu motivasi terhadap perjuangan Islam radikal yang ingin mengubah haluan negara menjadi negara Islam. Oleh karena itu, menurut Ansyaad Mbai dalam bukunya "DINAMIKA BARU JEJARING TEROR DI INDONESIA", bahwa pemahaman terhadap jaringan teroris masa lalu dan kaitannya dengan teroris masa kini menjadi penting, karena akan memberikan pemahaman yang lebih utuh soal karakter dan dinamika terorisme di Indonesia, serta akan memberikan pengetahuan untuk memprediksi kemungkinan aksi terorisme masa depan.
Bila mencermati aksi terorisme di Indonesia paska Indonesia merdeka sampai masa kini, dapat diketahui dengan jelas bagaimana modus operandi aksi mereka dari peristiwa demi peristiwa yang pernah terjadi. Yaitu pada umumnya memiliki latarbelakang ideologi islam radikal dan selalu dalam bentuk serangan fisik seperti pembajakan pesawat, peledakan bom, penyerangan bersenjata dan semacamnya yang berakibat menimbulkan kerusakan fisik bangunan, fisik kendaraan, fasilitas umum dan lainnya serta menyebabkan terjadinya korban jiwa atau korban luka parah.
Maka secara umum modus operandi aksi terorisme di Indonesia adalah suatu aksi kekerasan yang menimbulkan ketegangan dan kepanikan di masyarakat. Umumnya berupa peledakan bom atau pun bom bunuh diri dan pelemparan granat yang secara keseluruhan menyebabkan korban tewas, luka-luka serta kerusakan fisik bangunan dan semacamnya. Sedangkan jenis bom yang digunakan, ada yang berdaya ledak tinggi dan ada pula yang berkekuatan rendah, tetapi semua merupakan bom rakitan. Secara teknis ada pemicunya yang dihubungkan dengan sinyal handphone, namun ada juga yang menggunakan baterei dan timer. Perangkat bom demikian sering digunakan oleh para teroris dari Timur Tengah atau negara-negara lainnya yang menjadi bagian jaringan terorisme transnasional. Selain itu juga terdapat aksi teroris dengan peledakan bom pipa seperti yang pernah dilakukan oleh kelompok teroris pimpinan Peppi Fernando dan Santoso-Ketua Majelis Mujahidin Indonesia wilayah Indonesia Timur yang sudah tewas dalam Operasi Tinombala. Sekarang muncul lagi modus baru yaitu dengan menggunakan bom panci.
Jika mencermati perkembangan aksi terorisme dewasa ini, baik yang dilakukan dalam bentuk kelompok atau per orangan (lone wolf), Pemerintah dalam hal ini TNI dan Polri, bersama masyarakat luas harus dapat membangun sinergi yang berupaya mencegah atau menangkal aksi terorisme tersebut secara bersama-sama, serta semakin mempersempit ruang gerak para teroris tersebut. Karena sejak reformasi 98 bergulir, aksi terorisme seolah mendapat kesempatan tumbuh dan berkembang sehingga semakin marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
[selesai/***]Penulis adalah pemerhati isu-isu keamanan dan pertahanan. Tinggal di Bandung. Tulisan ini adalah bagian terakhir dari empat bagian tulisan.