DENGAN reputasinya sebagai seseorang yang terbiasa berpikir dan bersikap kontroversil, Mayor Jenderal TNI Ali Moertopo yang pada awal 1965 menjabat sebagai Komandan Divisi Opsus (Operasi Khusus) BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara), segera melakukan pendekatan dengan para mantan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII) dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang sedang memulai gerakan baru.
Orang pertama yang didekati adalah Danu Muhammad Hasan, seorang eksponen DI/TII yang dikenal bersikap moderat dan terlihat mudah untuk didekati.
Ternyata upaya awal itu berhasil, Danu Muhammad Hasan membuka diri terhadap pendekatan Opsus, sekaligus menyatakan kesediaannya untuk membantu mendistribusi informasi tentang gerakan NII baru tersebut.
Selang tiga tahun kemudian, Dodo Muhammad Darda - salah seorang anak SM Kartosuwiryo - menginisiasi pertemuan rahasia dengan sejumlah mantan kepercayaan almarhum ayahnya.
Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk menghidupkan kembali visi Darul Islam demi mewujudkan Indonesia sebagai negara non sekuler dan hanya berdasarkan hukum Islam. Saat itulah terbentuk organisasi baru dengan nama: Komando Jihad.
Jika NII Fillah merupakan manifestasi kebangkitan gerakan DI/TII yang baru dengan meninggalkan karakter militeristik dan non struktural, karena lebih berfungsi menggerakan kaum ulama Darul Islam yang melaksanakan dakwah dengan konsep baru yang flexsible, Komando Jihad justru menempuh cara berbeda.
Yaitu masih bertumpu pada karakter militeristik dan akan mengedepankan gerakan perjuangan yang bersifat agitasi militer. Maka sebagai Ketua Komando Jihad dipercayakan kepada Adah Djaelani, mantan "tangan kanan" SM Kartosuwiryo.
Dalam konsep gerakannya, Komando Jihad membagi tujuh wilayah perjuangan yang menyerupai struktur organisasi Darul Islam sebelumnya. Dari tujuh wilayah komando tersebut yang terpenting justru wilayah komando tiga di Jawa Barat yang kepemimpinannya dipercayakan kepada Danu Muhammad Hasan yang telah lama dibina menjadi informan Opsus.
Mengetahui munculnya gerakan Komando Jihad tersebut, Ali Moertopo melihat peluang untuk memberdayakan para pimpinan Komando Jihad dalam rangka pemenangan Golkar dalam Pemilu 1971. Yaitu menggunakan organisasi Komando Jihad untuk kepentingan Pemerintah Orde Baru sambil terus mengawasi aktivitas pergerakan organisasi tersebut.
Sedangkan orang yang dinilai paling tepat dipercaya untuk membina kelompok Komando Jihad itu adalah Pitut Soeharto, seorang perwira menengah TNI AD. Karena jauh sebelum ini Pitut Soeharto sudah menjalin hubungan akrab dengan para mantan petinggi DI/TII tersebut.
Pendekatan Pitut Soeharto membuahkan keberhasilan. Dengan menawarkan konsensus sebagai agen pendistribusian minyak tanah dan sembako kepada para petinggi DI/TII itu, para pimpinan Komando Jihad bersedia membantu memperjuangkan pemenangan Golkar dalam Pemilu 1971. Sejak itu pula Komando Jihad menjadi binaan tim Opsus Orde Baru.
Tidak saja digunakan untuk penggalangan massa demi kemenangan Golkar dalam Pemilu demi Pemilu, tetapi juga digunakan sebagai "alat" dalam menumpas sisa-sisa kelompok Komunis dan jaringan organisasi bawah tanahnya di seluruh Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Sementara pada saat yang sama, yaitu di tahun 1971-1973, Ali Moertopo juga "menggarap" kelompok Islam Jama’ah yang dipimpin oleh Nurhasan al-Ubaidah.
Kelompok NII Fillah juga berhasil didekati, dibentuk menjadi LEMKARI (Lembaga Karyawan Islam Indonesia) sebagai salah satu organisasi sayap Golkar. Selanjutnya LEMKARI berubah nama menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) sampai sekarang dan tetap menjadi organisasi sayap Partai Golkar.
[bersambung/***]Penulis adalah pemerhati isu-isu keamanan dan pertahanan. Tinggal di Bandung. Tulisan ini adalah bagian ketiga dari empat bagian tulisan.