Berita

Militer/net

Pertahanan

Teroris Masalah Militer

SENIN, 29 MEI 2017 | 17:15 WIB | OLEH: ZENG WEI JIAN

SELAMA 50 tahun, terorisme merupakan fenomena internasional. Kata "teroris" dan "terorisme" bersifat pejoratif. Sebagai gantinya, beberapa media barat seperti BBC lebih suka gunakan kata “militants,” “separatists,” “guerillas,” atau “insurgents" (pemberontak).

Recent experience, seperti di Chechnya, memperlihatkan terorisme berdampak negatif pada proses demokratisasi, memukul reformasi politik, dan jadi pintu-masuk bagi diktatorial Vladimir Putin.

Seorang pedantic demokrasi (Hendardi) tegas nyatakan terorisme adalah masalah kriminal. Pendekatannya: law enforcement. Masuk domain polisi.

Saya ngga setuju. Audrey Kurth Cronin menyatakan "terrorism picks at the vulnerable seam between domestic law and foreign war".

Terorisme berada di luar kelaziman paradigma demokrasi. Ia tidak termasuk criminal act atau perang. Lebih menakutkan dari rampok, drugs, dan aliran sesat (okultis).

Teroris network masuk kategori non-state actor of violence. Namun merupakan state-based adversary. Musuh negara. Military approach mesti diaplikasi sebagai metode kontra-terorisme. Sehingga, terorisme adalah masalah militer.

Military-approach ini ditolak kelompok center left, liberal democracy, komunis infantiles, dan terrorist groups itu sendiri.  

Jelas, aksi terorisme ngga bisa disamakan dengan pencuri ayam (tapok). Bukan kriminal biasa. Serangan al Qaeda terhadap World Trade Center dan markas Pentagon menewaskan 3000 orang. Serbuan School Number One di Beslan, North Ossetia, bikin mati 400 orang. Termasuk 156 children. Tanggal 26 November 2008, sepuluh anggota Lashkar-e-Toiba (LET) merilis serangkaian serangan bom di Mumbai. Membunuh 170 orang hanya dalam waktu 48 jam.

Contoh aksi teroris ini tidak berbeda dengan perang. Warlike attacks. Tidak heran, bila banyak orang berpendapat, militarized response adalah solusinya. Bukan law enforcement.

Banyak negara mengadopsi military approach. Pasukan khusus dibentuk, dilatih dan dipersenjatai paramiliter. Ada unit detasemen polisi seperti Gendarmerie (Perancis) dan Carabinieri (Italia). Sedangkan Jandarma di Turki, Vnutrenniye Voiska (Rusia) atau Indian Border Security Force (BSF) dan Rashtriya Rifles (RR) dianggap unit militer karena ikut berperang melawan Kurdistan Worker’s Party (PKK), pemberontak Chechen dan Kashmiri.

CIA punya sayap paramiliter sendiri (Special Activities Division). Divisi ini mengontrol unmanned drones dengan target membunuh para pemimpin teroris. Blackwater Private Military Company (Xe Services) adalah operasi rahasia Amerika dan Pakistan dalam rangka menghancurkan al Qaeda.

Unit khusus bisa dibentuk on ad hoc basis sebagai bagian dari prolonged engagement.

Penanganan masalah terorisme jadi sulit dan berbelit-belit di negara demokrasi. Sedari dulu, Carl von Clausewitz sudah memperingatkan "war everything is simple, but the simplest thing is difficult".

Geraint Hughes melihat pemimpin sipil dan militer dibikin puyeng memetakan metode menangkal terorisme sekaligus melindungi masyarakat tanpa melanggar hukum, konstitusi dan norma-norma sosial.

Para pedantic demokrasi, aktifis bayaran, jurnalis bodrex, NGO Proxy, bandit bertopeng human rights watchers, pseudo moralis, dan so called Tokoh Masyarakat bikin kesulitan itu bertambah. Mereka suka ngoceh sembarang soal hukum dan hak asazi. Mereka bilang, "all military responses to terrorism are inherently illegitimate and conceptual flawed".

Sikap anti militer mereka didasari perilaku militer asing. Bukan TNI. Pembentukan "death squads", penculikan dan extra-judicial killings oleh militer di Afrika Selatan dan beberapa negara Amerika Latin di tahun 1970-1980an kerap jadi alasan mereka.

Pada dasarnya, mereka anti TNI. Mereka punya agenda merusak NKRI dengan memperlemah TNI.

Jangan jadikan terorisme sebagai proyek. US Government dan administrasi Bush 43 dapet stigma Anti Islam karena blunder approach. Indonesia adalah negara bermayoritas muslim terbesar. Sangat berbahaya bila masalah terorisme ditangani oleh pihak yang salah dan inkompeten. Itu bisa menciptakan mispersepsi anti terorisme sebagai gerakan anti Islam.[***]

Populer

Demo di KPK, GMNI: Tangkap dan Adili Keluarga Mulyono

Jumat, 20 September 2024 | 16:22

Mantan Menpora Hayono Isman Teriak Tanah Keluarganya Diserobot

Jumat, 20 September 2024 | 07:04

Makin Ketahuan, Nomor Ponsel Fufufafa Dicantumkan Gibran pada Berkas Pilkada Solo

Senin, 23 September 2024 | 09:10

Pasukan Berani Mati Bela Jokowi Pembohong!

Minggu, 22 September 2024 | 14:03

Roy Suryo: Akun Fufufafa 99,9 Persen Milik Gibran

Kamis, 19 September 2024 | 10:39

Kejagung di Bawah ST Burhanuddin, Anak Buah Jalan Masing-masing

Rabu, 25 September 2024 | 17:11

Akun Fufufafa Ganti Nama dari Gibran jadi Slamet Gagal Total

Senin, 23 September 2024 | 08:44

UPDATE

Bank Mandiri Berkomitmen Bakal Terus Aktif Tingkatkan Prestasi Olahraga Nasional

Minggu, 29 September 2024 | 22:06

Keluarga Kesultanan Kutaringin Yakin Agustiar Sabran Layak Pimpin Kalteng

Minggu, 29 September 2024 | 22:01

Hidayatullah: HIRO Hadir Untuk Membawa Medan Berdaya dan Berjaya

Minggu, 29 September 2024 | 21:52

BKSAP Luncurkan Buku Sekaligus Deklarasi Pembentukan Asosiasi Parlemen Berbahasa Indonesia-Melayu

Minggu, 29 September 2024 | 21:24

Indikator: Popularitas Khofifah Indar Parawansa Moncer di Pilgub Jatim

Minggu, 29 September 2024 | 20:36

Polisi Cari Penyebar Pertama Video Pembubaran Diskusi FTA

Minggu, 29 September 2024 | 20:07

JaDI Sumut: Prof Ridha Sudah Tepat Mengadu ke Bawaslu

Minggu, 29 September 2024 | 19:56

Rudy Mas'ud Punya Utang Rp137 Miliar, Komitmen Pemberantasan Korupsi Dipertanyakan

Minggu, 29 September 2024 | 19:55

Unggul Polling, Tim Robinsar-Fajar Optimistis Menang di Cilegon

Minggu, 29 September 2024 | 19:48

Perkuat Kebersamaan, Kritikus Politik Ini Ajak Puluhan Tokoh Bahas Perubahan

Minggu, 29 September 2024 | 19:43

Selengkapnya