Berita

Djoko Edhie

Hukum

Dramaturgi Judex Pactie Ahok

SENIN, 29 MEI 2017 | 05:10 WIB | OLEH: DJOKO EDHI ABDURRAHMAN

DRAMATURGI Judex Pactie dimulai. Sebab, sudah terbit nama majelis tinggi pengadilan banding Ahok, Jumat. Ini adalah babak akhir pertandingan Bani Islam melawan Bani Kotak.

Ketua Judex Pactie ialah Imam Sungudi. Anggota Elang Prakoso Wibowo, Daniel D Pairunan, I Nyoman Sutama, dan Achmad Yusak. Pemain utama di JPU tetap Ali Mukartomo, sang bintang, pemain watak Broadway.

Disebut babak akhir, karena pertandingan hanya sampai di Judex Pactie. Artinya tak ada lakon di kasasi. Tentu ada varian lakon.

Varian satu, jika vonis Judex Pactie lebih tinggi daripada vonis tingkat satu (yang dua tahun) Ali Mukartomo naik ke kasasi.

Atau Ali Mukartomo tak naik ke kasasi, tapi Humprey Djemat sang lawyer, juga pemain watak Broadway, mengambil peran naik ke kasasi.

Varian dua yang menarik. Jika vonis Judex Pactie sesuai dengan requisitor JPU, ialah hukuman percobaan, alias bebas, Ali Mukartomo tak naik ke kasasi.

Humprey Djemat juga tidak. Langsung inkraht van gewische. Final. Selesai. The End.

Lakon Gila

Majelis Pengadilan Tinggi disebut Judex Pactie punya hak: (1) mengukuhkan vonis tingkat 1 (Pengadilan Negeri) dengan cara menolak tuntutan JPU.

(2) Mengabulkan tuntutan JPU yang dalam kasus Ahok membatalkan vonis tingkat 1.

(3) Menambah vonis, yang berarti menolak JPU yang, dengan demikian, membatalkan vonis tingkat 1.

Ada yang baru dalam kasus Congbi ini. JPU Ali Mukartomo naik banding karena vonis tingkat 1 lebih tinggi daripada tuntutan JPU, atau sering disebut vonis ultra petita.

Konvensinya, menurut Peraturan Jaksa Agung 2014, JPU naik banding jika vonis tingkat 1 kurang dari tuntutan JPU. Bukan sebaliknya.

Saya kurang paham tindakan banding JPU Ali Mukartomo. Baru sih: JPU banding  karena vonis lebih tinggi dari tuntutan Ali Mukartomo.

Lalu, siapa JPU? Tidak diketahui, karena pula tak punya memori bandingnya. Siapa tahu Ali Mukartomo menuntut Ahok menjadi 4 tahun. Who knows?

Pasti tak bisa karena tak boleh mengubah isi tuntutan. Dengan kata lain azas hukum acaranya, mengubah tuntutan adalah batal! Harakiri.

Wajarnya, penasihat hukum Humprey Djemat yang mengajukan memori banding. Isinya meringankan vonis terdakwa.

Maka JPU Ali Mukartomo melawan memori banding Humprey Djemat dengan kontra memori banding. Isinya bertahan pada tuntutan yang memberatkan terdakwa. Bukan meringankan vonis terdakwa. Lakon Ali Mukartomo jungkir.

Dalam kasus Ahok, karena JPU naik banding untuk mempertahankan tuntutannya, yaitu hukuman percobaan yang meringankan terdakwa, praktis Humprey Djemat tak perlu melakukan banding. Karena itu, memori banding Ahok ditarik. Bukan main kerjasama Ali Mukartomo dan Humprey Djemat.

Hasilnya, ada memori banding JPU, tapi tak ada kontra memorinya. Muluslah Ahok. Bebas.

Tapi jika Judex Pactie menolak bandingnya Ali Mukartomo, dengan mengukuhkan vonis tingkat 1, atau menambah hukuman, maka kuasa hukum Ahok segera mengajukan memori kasasi (tingkat 3). JPU tak perlu lagi mengajukan kasasi.

Atau, JPU mengajukan memori kasasi, tapi kuasa hukum tak mengajukan kasasi. Sebab, posisi kuasa hukum versus JPU adalah paradoksal, bertentangan. Ali Mukartomo dengan doktrin presumption of guilty (praduga bersalah), Humprey Djemat dengan doktrin presumption of innocent (praduga tak bersalah).

Diitariknya memori banding kuasa hukum Ahok, tidak membatalkan hak kuasa hukum untuk mengajukan memori kasasi, karena tidak inkraht van gewiscze (berkat JPU mengajukan banding).

Menurut hukum, "JPU mewakili rakyat melawan terdakwa", di persidangan pidana Amerika (Anglo Saxon), wajib dibunyikan. Sedang di persidangan pidana Inggris (British Law) "JPU mewakili negara melawan terdakwa", wajib dibunyikan di persidangan. Wajib.

Hukum Eropa Continental sama. Cuma di Indonesia tak ada kewajiban membunyikannya di depan persidangan.

Kini JPU Ali Mukartomo mewakili terdakwa Ahok untuk melawan terdakwa Ahok. Sudah gila! [***]

Penulis adalah mantan Anggota Komisi III DPR dan Wakll Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU.

Populer

Seluruh Fraksi di DPR Kompak Serang Kejagung soal Tom Lembong

Rabu, 13 November 2024 | 18:01

Kapolri Mutasi 55 Pati dan Pamen, Ada 3 Kapolda Baru

Selasa, 12 November 2024 | 23:52

"Geng Judol" di Komdigi Jadi Gunjingan sejak Bapak itu Jabat Menteri

Rabu, 06 November 2024 | 07:53

Dedi Prasetyo Dapat Bintang Tiga jadi Irwasum, Ahmad Dofiri Wakapolri

Selasa, 12 November 2024 | 22:50

Tak Terima Dikabarkan Meninggal, Joncik Laporkan Akun Facebook "Lintang Empat Lawang" ke Polisi

Kamis, 07 November 2024 | 06:07

Musa Rajekshah Dorong Pemetaan Potensi dan Keunggulan Desa

Kamis, 07 November 2024 | 21:43

Beredar Kabar Sekda DKI Jakarta Diganti

Jumat, 08 November 2024 | 15:43

UPDATE

Kemenangan Trump Dongkrak Dolar AS Capai Level Tertinggi dalam Setahun

Kamis, 14 November 2024 | 17:58

Program Transmigrasi Harus Terintegrasi Food Estate

Kamis, 14 November 2024 | 17:57

Mafia Tanah Dago Elos juga Dijerat Pasal TPPU

Kamis, 14 November 2024 | 17:37

Imbas Kasus Bahlil, Program SKSG UI Harus Diaudit

Kamis, 14 November 2024 | 17:32

Integritas Bahlil

Kamis, 14 November 2024 | 17:22

Kader Golkar Geram Beredar Berita Bohong Putusan PTUN Jakarta

Kamis, 14 November 2024 | 17:13

Ini Kunci Sukses Gregoria Tundukkan Ratchanok di Japan Masters 2024

Kamis, 14 November 2024 | 17:10

Taj Mahal dan Kuil Emas India Tertutup Kabut Asap Beracun

Kamis, 14 November 2024 | 16:55

KPK Sita Rumah Milik Wadirut PT Totalindo Eka Persada Salomo Sihombing

Kamis, 14 November 2024 | 16:52

Komisi I DPR Sebut Ancaman Medsos Jadi Tugas Wantannas

Kamis, 14 November 2024 | 16:41

Selengkapnya