ADA dua model dalam peperangan asimetris yaitu, pertama, melalui gerakan aksi massa di jalanan dalam rangka menekan target sasaran. Kedua, melalui meja para elit politik dan pengambil kebijakan negara agar setiap kebijakan yang diterbitkan selaras, sejalan dan senantiasa pro asing guna meraih tiga hal sesuai definisi perang asimetris versi Global Future Institute.
“Pertama, belokan sistem suatu negara sesuai kepentingan kolonialisme. Kedua, lemahkan ideologi serta ubah pola pikir rakyatnya dan kemudian ke tiga, hancurkan ketahanan pangan dan pasokan energinya. Selanjutnya ciptakan ketergantungan negara tersebut terhadap pangan dan dan energi.
Arab Spring misalnya, adalah contoh nyata perang asimetris yang digelar oleh Barat (Amerika dan sekutunya) dengan model gerakan massa yang bertujuan melengserkan rezim dan elit penguasa di jalur sutera.
Hasilnya? Ben Ali di Tunisia pun lengser, Ali Abdullah Saleh di Yaman terbirit-birit, Hosni Mubarak tumbang di Mesir dan seterusnya.â€
Berdasarkan pandangan di atas, untuk membangun dan mengembangkan perang asimetris di suatu negara harus dicermati potensi dan kemungkinan peluang terjadinya instabilitas di negara tersebut.
Misalnya kondisi perekonomian yang lemah karena berbagai faktor, atau bisa juga kondisi stabilitas politik yang terganggu oleh banyak kepentingan politik dan bisnis, kebijakan-kebijakan pemerintah yang labil dan tidak dilaksanakan secara tegas, serta lain sebagainya yang merupakan potensi dan peluang untuk memunculkan perang asimetris.
Semua itu merupakan proses awal yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pelaku perang asimetris di mana pun dan oleh siapa pun.
Namun apa bila di negara yang akan menjadi target perang asimetris itu masih tampak stabil dan aman-aman saja, maka dilakukanlah suatu upaya pengkondisian agar terjadi instabilitas di negara tersebut.
Misalnya dengan menggunakan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM untuk melancarkan isu kritik terhadap kebijakan pemerintah atau isu-isu lainnya yang berpotensi menimbulkan keresahan atau dapat dikembangkan menjadi polemik tajam di masyarakat luas. Selanjutnya isu-isu yang semakin berkembang itu terbentuk menjadi opini yang semakin meresahkan
dan bahkan mampu menciptakan polarisasi di masyarakat luas.
Kondisi demikianlah yang menjadi potensi peluang berlangsungnya perang asimetris di suatu negara atau antara negara dengan negara dan seterusnya.
Singkat kata, bila dianalogikan dengan teori perang konvensional yang melalui tiga tahap yaitu di awali dengan serangan udara dan serangan meriam jarak jauh atau istilah lainnya dibombardir, terhadap target daerah musuh. Kemudian langkah berikutnya adalah serangan pasukan kavaleri dengan tank-tank dan kendaraan lapis baja lainnya, hingga terakhir adalah pendudukan wilayah oleh pasukan infanteri.
Jika ketiga tahapan perang konvensional itu diaplikasikan dalam perang asimetris dapat dijelaskan seperti berikut :
Pertama, serangan awal dimulai dengan penyebaran isu yang dapat mengarah membentuk opini. Kedua, serangan berikutnya adalah dengan menyelenggarakan aksi unjuk rasa yang menentang kebijakan pemerintah atau menyampaikan berbagai kritik terhadap kinerja pemerintah dan sebagainya. Ketiga, pada tahap akhir, melakukan kontrol dan kendali terhadap sistem ekonomi, kekayaan sumber daya alam yang dimiliki serta mengelola dinamika politik, sosial dan budaya.
Pemerintah RI telah mengalami beberapa kali serangan perang asimetris yang berdampak luar biasa. Misalnya terjadinya pemberontakan DI/TII, PRRI, Permesta dan sebagainya di saat awal kemerdekaan, kemudian dilanjut dengan peristiwa G30S PKI 1965 yang mengubah Orde Lama menjadi Orde Baru, serta peristiwa Mei 98 yang akhirnya menggusur orde baru menjadi orde reformasi.
Namun sampai saat ini perang asimetris itu, disadari atau tidak disadari, masih terus berlangsung.
[Bersambung/***]Penulis adalah pemerhati isu-isu keamanan dan pertahanan. Tinggal di Bandung. Tulisan ini adalah bagian ketiga dari empat bagian tulisan.