MENURUT Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu, perang generasi ke empat atau fourth generation warfare disebut juga ebagai perang asimetris, yaitu suatu perang modern tanpa keterlibatan militer secara formal atau bisa juga disebut perang sipil (civil war).
Dalam bahasa populernya dikenal dengan sebutan smart power atau perang non militer. Perang sipil yang murah meriah tetapi memiliki daya hancur yang sangat dahsyat.
“Jika Jakarta dibom atom, daerah-daerah lain tidak terkena dampaknya. Tetapi bila dihancurkan dengan menggunakan
asymmetric warfare sama artinya dengan penghancuran sistem di negara ini, hancur berpuluh-puluh tahun dengan akibat menyeluruh,†ujar Menhan Ryamizard dalam forum diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh Global Future Institute di Jakarta pada tanggal 29 Januari 2015.
Dewan Riset Nasional (DRN) pada tahun 2008 telah merumuskan definisi tentang perang generasi ke empat sebagai berikut, “Perang asimetris (
asymmetric warfare) adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim dan di luar aturan peperangan yang berlaku dengan spektrum perang yang sangat luas, mencakup aspek-aspek astagatra sebagai perpaduan antara rigatra (geografi, demografi dan sumber daya alam/SDA) dengan pancagatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya). Selain itu perang asimetris selalu melibatkan antara dua aktor atau lebih dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang yaitu pihak yang lemah melawan pihak yang kuat atau disebut juga antara
non state actor dan
state actor.â€
Hal yang sama juga disampaikan oleh K. Mustarom dalam
Jurnal Syamina yang menyebutkan bahwa perang generasi ke empat itu bersifat transnasional, tidak mengenal medan perang yang pasti, tidak membedakan sipil dan militer, serta tidak mengenal garis depan.
Aktor dalam perang generasi ke empat pada umumnya memiliki tujuan regional yang jauh lebih luas dan bahkan memiliki visi global. Mereka berusaha menerapkan sistem sosial yang sama sekali baru berdasarkan ideologi atau agama mereka.
Singkatnya dapat dirumuskan bahwa perang generasi ke empat itu bersifat politis, jaringannya terbentuk secara sosial dan membutuhkan jangka waktu yang lama serta berlarut-larut.
Bahkan bisa juga dikatakan sebagai antithesis dari konsep dan strategi perang versi Pentagon yang mengandalkan teknologi persenjataan mutakhir. Sehingga dalam implementasinya, perang generasi ke empat akan memaksimalkan seluruh jaringan yang dimiliki musuhnya seperti kondisi dinamika politik, sosial, ekonomi dan militer, agar pihak musuh tidak mampu melakukan keputusan pasti atau melaksanakan tindakan tegas terhadap tujuan strategisnya. Bisa dilakukan dalam bentuk aksi teror, penyebaran isu
hoax atau pun sabotase.
Jika dianalogikan, mungkin seperti filosofi Silat Minangkabau. Yaitu gunakan kekuatan “lawan†untuk memukul “lawan†tersebut.
Maka untuk itu instrumen yang paling utama digunakan dalam melancarkan perang generasi ke empat ini adalah informasi, maka peran informasi menjadi elemen kunci dalam setiap pengejawantahan strategi perang generasi ke empat.
Menurut US Army War College, dalam makalah M. Arief Pranoto, perang asimetris dapat didiskripsikan sebagai suatu konflik dari dua pihak yang berseteru dengan sumber daya inti serta tujuan perjuangan yang berbeda, melakukan tindakan interaksi dan upaya untuk saling mengeksploitasi karakteristik kelemahan-kelemahan musuhnya.
Perjuangan tersebut sering berhubungan dengan strategi dan taktik
unconventional war. Pihak yang lebih lemah akan berusaha menggunakan strategi untuk mengimbangi kekurangan yang dimiliki. Misalnya dalam hal kuantitas dan kualitas.
Alhasil dapat ditafsirkan bahwa perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara non militer, namun daya hancurnya tidak kalah bahkan dampaknya bisa lebih dahsyat daripada perang militer atau perang konvensional.
Perang ini memiliki medan tempur yang luas meliputi segala aspek kehidupan (astagatra). Sasarannya tidak hanya tertuju kepada satu aspek tetapi justru beragam aspek yang dapat dilakukan bersamaan atau secara simultan dengan intensitas berbeda.
Sasaran perang asimetris ada 3 (tiga) yaitu: 1) membelokkan sistem suatu negara sesuai arah atau tujuan kepentingan pihak kolonialisme, 2) melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat dan 3) menghancurkan ketahanan pangan serta ketahanan energi suatu negara. Sehingga dengan demikian pihak pelaku yang memenangkan perang asimetris tersebut akan dengan mudah mengontrol kondisi ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam dari negara yang telah dikalahkannya dalam perang asimetris tersebut.
Hal itu selaras dengan pendapat Henry Kissinger, mantan Menlu AS, yang mengatakan bahwa dengan mengontrol sumber daya alam, pangan dan energi, sudah dapat mengendalikan mekanisme sistem suatu negara yang menjadi korban perang asimetris atau perang generasi ke empat itu.
Sementara apa bila mencermati sifat dan bentuk perang asimetris, ada 2 (dua) model yaitu, pertama, melalui aksi massa di jalanan dengan target untuk menekan sasaran. Kemudian yang kedua, melalui keputusan politik yang tentunya menguntungkan bagi pihak tertentu, khususnya pemenang dalam perang asimetris tersebut.
[Bersambung/***]Penulis adalah pemerhati isu-isu keamanan dan pertahanan. Tinggal di Bandung. Tulisan ini adalah bagian pertama dari empat bagian tulisan.