Berita

Politik

HTI Dan Tantangan Demokrasi Kita

RABU, 17 MEI 2017 | 16:51 WIB | LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR

PEMERINTAH tidak bisa seenaknya membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia, yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tak hanya harus melalui pengadilan, berdasarkan UU 17/2013 tentang Organisasi Kemsyarakatan, Pemerintah semestinya juga harus menempuh berbagai tahapan lainnya sebelum membawa ke meja hijau.

Bahkan sebelum menjatuhkan sanksi administratif saja, Pemerintah harus terlebih dahulu melakukan upaya persuasif, seperti tertuang dalam Pasal 60 ayat (2) UU Ormas.

Namun, sayang Pemerintah tak menjalankan perintah UU tersebut. Padahal, salah satu isi sumpah Presiden dan Wapres adalah memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.

Malah dalam perkembangan terbaru, Pemerintah berencana melewati jalan pintas. Yaitu, dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Karena pembubaran HTI lewat pengadilan akan memakan waktu lama, yang diperkirakan Mendagri Tjahjo Kumolo lebih kurang 4-5 bulan.

Bila saja Pemerintah melaksanakan UU Ormas dengan selurus-lurusnya, rencana pembubaran HTI ini setidaknya tidak akan semakin memanaskan suhu politik nasional. Hal ini juga sekaligus menepis anggapan adanya dendam politik terhadap HTI. Karena meski menolak sistem demokrasi dan tentu juga kapitalisme, HTI menolak pencalonan Basuki T. Purnama.

Bahkan ada yang menduga pernyataan Ahok soal Al Maidah 51 yang disampaikan pada 27 September 2017 di Kepulauan Seribu karena terprovokasi aksi ribuan anggota HT, yang berdemo pada 5 September 2016. Tuntutan dalam unjuk rasa tersebut adalah menolak kepemimpinan kafir pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.

Keengganan Pemerintah untuk membuka ruang dialog dengan HTI memunculkan spekulasi baru. Yaitu ketidaksiapan Pemerintah dalam meyakinkan HTI. Karena dalam dialog, pasti yang akan digali dan diklarifikasi terlebih dahulu adalah kenapa HTI ingin menerapkan hukum Islam lewat sistem khilafah.

Bagi HTI, kapitalisme dan demokrasi merupakan sistem gagal. Kapitalisme tidak menjamin kesejahteraan rakyat; sedangkan demokrasi melahirkan pemimpin-pemimpin yang korup.

HTI menawarkan sistem khilafah yang menurut mereka akan menjaga agama, darah, harta, jiwa, akal, kehormatan, keturunan, negara, sumber daya alam, termasuk setiap jengkal wilayahnya.

Tema-tema yang diangkat HTI dalam setiap demonstrasi pun selalu terkait dengan isu-isu umum yang juga menjadi sorotan luas. Seperti soal kemiskinan, kenaikan BBM, TDL, bahkan menyuarakan pentingnya SDA dikuasai negara, termasuk terkait Freeport. Tentu semua isu yang diangkat solusinya adalah penerapan hukum Islam.

Karena itu, kalau ada ruang dialog, kita juga menjadi tahu bagaimana cara Pemerintah meyakinkan bahwa semua persoalan yang selama ini disuarakan HTI bisa diselesaikan tanpa harus melalui khilafah.

Khawatirnya, Pemerintah sendiri tidak percaya diri untuk bisa mengatakan telah melaksanakan sepenuhnya Pancasila dan UUD 1945. Bisa-bisa malah HTI menagih janji Jokowi saat masa kampanye akan membeli kembali  Indosat, yang dijual pada era Pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Dikhawatirkan pula, hal-hal semacam ini yang membuat Pemerintah mengambil jalan pintas. Yaitu membubarkan HTI lewat Perppu, tidak lagi menempuh jalur hukum. Apalagi ada juga pengalaman di Inggris. Di negara tersebut, bahkan dua pemerintahan berbeda, Tony Blair dan David Cameron, gagal membubarkan HTI. Karena tak cukup bukti untuk melarang keberadaan organisasi tersebut.

Saya sendiri sepakat dengan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan terkait keberadaan HTI ini. Bagi Dahlan, HTI saat ini tidak berbahaya. Ide besar HTI akan kalah oleh ide demokrasi. Bahkan kata dia kalah telak.

Namun, sepanjang demokrasi bisa berjalan baik. Sepanjang demokrasi bisa membuat rakyat sejahtera. Sepanjang demokrasi bisa membuat hukum tidak jadi alat politik semata.

"Ide HTI tidak akan bisa membesarkan HTI. Kitalah yang malah bisa membesarkannya. Lewat kesalahan-kesalahan kita," tutup Dahlan dalam sebuah tulisannya. [zul]

Populer

Demo di KPK, GMNI: Tangkap dan Adili Keluarga Mulyono

Jumat, 20 September 2024 | 16:22

Mantan Menpora Hayono Isman Teriak Tanah Keluarganya Diserobot

Jumat, 20 September 2024 | 07:04

Makin Ketahuan, Nomor Ponsel Fufufafa Dicantumkan Gibran pada Berkas Pilkada Solo

Senin, 23 September 2024 | 09:10

Pasukan Berani Mati Bela Jokowi Pembohong!

Minggu, 22 September 2024 | 14:03

Kejagung di Bawah ST Burhanuddin, Anak Buah Jalan Masing-masing

Rabu, 25 September 2024 | 17:11

Akun Fufufafa Ganti Nama dari Gibran jadi Slamet Gagal Total

Senin, 23 September 2024 | 08:44

KPK Harus Serius Usut Dugaan Korupsi Keluarga Jokowi

Jumat, 20 September 2024 | 15:05

UPDATE

Aset Pegadaian Moncer Terus, Akhir Tahun Diprediksi Bisa Tembus Rp100 Triliun

Senin, 30 September 2024 | 07:59

Janji Ridwan Kamil-Suswono, Wujudkan Kepulauan Seribu sebagai Kawasan Ekonomi Wisata

Senin, 30 September 2024 | 07:44

Buku Baru Admiral Rosihan Arsyad

Senin, 30 September 2024 | 07:43

Balas Rudal Houthi, Puluhan Jet Israel Bombardir Yaman

Senin, 30 September 2024 | 07:35

Praktisi Hukum: Integritas Kejagung Makin Bobrok!

Senin, 30 September 2024 | 07:21

Stimulus Tidak Cukup, Aliran Dana Asing ke China hanya Sementara

Senin, 30 September 2024 | 07:19

Bikin Bangga, Tiga Anak Hebat Ini Lestarikan Seni Budaya Daerah

Senin, 30 September 2024 | 07:01

Bukan Cuma Lebanon, Israel juga Tingkatkan Serangan ke Yaman

Senin, 30 September 2024 | 07:00

Kapolri Didesak Usut Aktor Utama Kericuhan Diskusi Diaspora

Senin, 30 September 2024 | 06:21

Dukung Program Makan Bergizi Gratis, Baznas Optimalkan Peran Mustahik

Senin, 30 September 2024 | 06:04

Selengkapnya