Berita

Politik

Jokowi Menanti Momentum

SENIN, 15 MEI 2017 | 22:23 WIB | OLEH: ALDI GULTOM

Situasi sosial politik dalam negeri yang mengarah polarisasi ekstrem di tengah masyarakat merupakan akibat ulah para elite politik nasional. Pandangan ini terurai dalam berbagai kesempatan forum diskusi politik di ibu kota akhir-akhir ini.

Parahnya, situasi yang demikian seolah tak mendapat perhatian serius dari kepala negara yang notabene simbol persatuan bangsa. Presiden Joko Widodo tampaknya lebih mengutamakan kerja-kerja pembangunan infrastruktur dan memancing investasi yang memang sangat penting dalam proses pembangunan negara.

Hal itu terlihat dalam kunjungan Lintas Nusantara pekan lalu, di mana Jokowi lebih fokus pada isu perkembangan infrastruktur pertanian, perhubungan, hak kelola lahan dan pembangunan pos lintas batas di daerah-daerah terluar. Jokowi tidak banyak mengeluarkan pernyataan publik yang terkait stabilitas politik dan keamanan.


Jokowi juga tidak banyak berkomentar atas vonis bersalah dari pengadilan terhadap sosok fenomenal yang menghebohkan jagat nusantara, Basuki Purnama alias Ahok. Padahal, perkara Ahok dan segala kericuhan yang ditimbulkannya kemudian sudah kelewat batas menguras energi bangsa hingga melahirkan perpecahan tajam berbumbu sentimen suku, agama dan ras.

Sikap Jokowi hari ini, di mata awam, berbanding terbalik dengan konsolidasi yang dilakukannya setelah kericuhan Aksi Bela Islam 4 November 2016, atau 411. Kala itu, Jokowi secara telanjang memamerkan kekuasaan dan kewenangannya sebagai pimpinan tertinggi angkatan-angkatan bersenjata di Indonesia. Ia menginspeksi langsung kesiapan dan memastikan loyalitas jajaran pasukan elite TNI dan Polri di markas mereka masing-masing. Secara paralel ia juga melakukan kunjungan ke kantor pusat dua Ormas Islam terbesar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Publik memastikan saat itu merupakan kode keras dari presiden kepada aktor-aktor yang menggerakkan kericuhan pasca demo 411.

Ada beberapa pandangan yang terjaring mencoba mengartikan sikap pasif presiden saat ini, di tengah ancaman serius terhadap solidaritas nasional dan laju rezim berkuasa.

Yang pertama menganggap wajar ketidakpedulian Jokowi. Ia sedang tidak mau diganggu dengan perkara-perkara sentimentil di tengah ambisinya membangun "mahakarya-mahakarya" yang boleh ia banggakan di masa akhir pemerintahannya (tidak lebih dari dua tahun lagi). Tentu, mahakarya deretan infrastruktur dan program redistirbusi lahan besar-besaran tahun ini, jika sukses, akan menjadi modal besar pencalonan kembali dirinya di Pilpres 2019.

Pandangan lain mengungkapkan bahwa mantan walikota Solo itu tengah membaca peta kawan dan lawan di lapangan pertempuran. Konon, Jokowi mendapat jaminan dari para pejabat keamanan yang sudah teruji loyalitasnya, terutama di Polri dan Badan Intelijen. Jaminan itu memastikan pemerintahannya tetap bertahan hingga akhir periode meski harus melewati riak-riak.

Bukan berarti kelompok elite yang terus merongrong kekuasaan akan dibiarkan terus menyalak. Inventarisasi kasus-kasus hukum dan skandal-skandal personal masing-masing mereka sudah dikantongi presiden, dan tinggal menunggu waktu untuk dimainkan.

Jokowi mau mementahkan anggapan yang menuding dirinya sebagai "pembela" Ahok. Karir politik koleganya semasa bertugas di Balai Kota Jakarta itu sudah tamat. Cukuplah vonis Pengadilan Negeri yang menetapkan Ahok terbukti bersalah melakukan penodaan agama. Meski belum inkrah, tetapi cacat di wajah Ahok mustahil pulih dalam waktu singkat.. Hampir sudah tidak ada peluang bagi Ahok menduduki jabatan publik yang prestisius. 

Jokowi menciptakan kondisi, memancing para lawan untuk keluar dari persembunyian, mengumpulkan amunisi, menunggu momentum yang tepat, dan "meminta dimaklumi" jika suatu waktu nanti melancarkan serangan balik. Menjatuhkan hukuman yang begitu berat kepada para lawan politiknya, terutama para pengkhianat di barisannya. Dengan begitu, jalan menuju dua periode kian lapang. [ald]

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

Kapolda Metro Buka UKW: Lawan Hoaks, Jaga Jakarta

Selasa, 16 Desember 2025 | 22:11

Aktivis 98 Gandeng PB IDI Salurkan Donasi untuk Korban Banjir Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:53

BPK Bongkar Pemborosan Rp12,59 Triliun di Pupuk Indonesia, Penegak Hukum Diminta Usut

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:51

Legislator PDIP: Cerita Revolusi Tidak Hanya Tentang Peluru dan Mesiu

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:40

Mobil Mitra SPPG Kini Hanya Boleh Sampai Luar Pagar Sekolah

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:22

Jangan Jadikan Bencana Alam Ajang Rivalitas dan Bullying Politik

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:19

Prabowo Janji Tuntaskan Trans Papua hingga Hadirkan 2.500 SPPG

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Trio RRT Harus Berani Masuk Penjara sebagai Risiko Perjuangan

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Yaqut Cholil Qoumas Bungkam Usai 8,5 Jam Dicecar KPK

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:47

Prabowo Prediksi Indonesia Duduki Ekonomi ke-4 Dunia dalam 15 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:45

Selengkapnya