Berita

BLBI/net

Hukum

Audit BPK Harus Jadi Dasar Pijakan Dalam Ungkap SKL BPPN

MINGGU, 14 MEI 2017 | 02:45 WIB | LAPORAN:

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengusut kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap para obligor BLBI yang ikut dalam Perjanjian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Namun, belakangan ditemukan fakta bahwa audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) per tanggal 30 November 2006 menyatakan proses pemberian SKL BLBI PPL tidak ada masalah.

Pengamat sekaligus Praktisi Hukum, Alfons Loemau menekankan bahwa hasil audit BPK itu harus menjadi acuan bagi KPK.  Karena BPK sebagai lembaga tinggi Negara, yang bekerja berdasarkan amanat Undang-Undang secara resmi telah mengatakan kebijakan pemberian SKL tidak bermasalah.


"Kalau itu tidak dijadikan acuan, buat apa ada BPK,” jelasnya kepada wartawan, Sabtu (13/5).

Dijelaskannya pasal 23 ayat 1 dikatakan tugas BPK adalah untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara. Dan hasil pemeriksaan BPK dilaporkan dan ditindaklanjuti oleh Lembaga Perwakilan dan/atau badan sesuai Undang-Undang seperti aparat penegak hukum Kejaksaan Agung, Kepolisian dan KPK.

Dalam laporannya, BPK menyatakan bahwa SKL itu layak diberikan kepada Pemegang Saham BDNI, lantaran Pemegang Saham dalam hal ini Sjamsul Nursalim telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA serta perubahan perubahannya dan sudah sesuai dengan kebijakan Pemerintah dalam hal ini instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2002.

Audit BPK sendiri diadakan dalam rangka pemeriksaan atas laporan pelaksanaan tugas BPPN ( Badan Penyehatan Perbankan Nasional).  Pemeriksaan atas PKPS yang bertujuan untuk menilai kepatuhan pada peraturan, kebijakan pemerintah serta perjanjian yang telah disepakati, kewajaran jumlah kewajiban pemegang saham yang telah ditetapkan, efektvitas pengalihan dan pengelolaan asset eks Pemegang Saham Pengendali dan penyelesaian akhir PKPS. Audit itu satu persatu atas 10 Obligor yang masuk program penyehatan BPPN.

Alfons menjelaskan proses penegakan hukum sesuai dengan pasal 184, UU No 8 tahun 1981, tetang hukum acara pidana disebutkan tehtang adanya dokumen dan keterangan ahli.

"Mengenai dokumen yang dimaksud salah satunya adalah dokumen resmi BPK, untuk mengungkap suatu perkara pidana,” jelasnya.

Kemudian di dalam UU Tipikor diatur secara limitatif siapa yang memiliki kewenangan audit, yang harus dipakai dalam menentukan kerugian Negara. Artinya, secara lugas TIpikor mengamanatkan lembaga pemeriksa keuangan dalam hal ini BPK adalah yang memiliki tugas untuk menentukan besaran kerugian Negara.

Dokumen BPK  mengungkapkan kasus pemberian, SKL seharunya  menjadi alat utama  dalam mengungkap kasus tersebut. Sebab apabila dokumen BPK hanya sekedar jurnal dan tidak memiliki nilai  hukum buat apa. Padahal BPK mengerjakan audit tersebut atas perintah Undang-Undang dan dibiayai oleh Negara. Dengan demikian dokumen hasil audit BPK, tidak terbantahkan dan harus dipakai.

"Apabila ada dugaan misalnya dokumen itu tidak sah dan tidak valid maka harus ada review atau gugatan terhadap hasil audit  tersebut.  Jangan hanya didiamkan Misalnya ada temuan baru  terhadap obyek yang sama namun hasilnya berbeda, kita bisa mempertanyakan profesonalisme BPK.  Namun jika tidak ada gugatan, maka apapun hasil audit BPK menjadi dokumen yang menjadi dasar pijakan bagi penyidik, untuk mengungkap sebuah kasus," ujarnya.

BPK menurutnya merupakan lembaga yang memiliki tupoksi sebagai auditor untuk memeriksa keuangan Negara, dan hasil auditnya bisa menjadi temuan awal untuk mengungkap ada atau tidaknya perkara korupsi. Demikian pula sebaliknya jika audit pelaksanaan tugas BPPN dalam menjalankan kebijakan pemberian  Surat Keterangan Lunas  BPK clear dan tidak ada masalah.

“Maka harus menjadi acuan, kalau diabaikan itu sama dengan tindakan gegabah. Hasil audit BPK adalah dokumen resmi Negara, yang menjadi acuan bagi siapapun, bukan sekedar laporan biasa," pungkas mantan Wakil Mabes Polri yang menjadi anggota tim pembentukan lembaga korupsi cikal bakal KPK ini.[san]

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Berjuang Bawa Bantuan Bencana

Kamis, 04 Desember 2025 | 05:04

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

UPDATE

12 Orang Tewas dalam Serangan Teroris di Pantai Bondi Australia

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:39

Gereja Terdampak Bencana Harus Segera Diperbaiki Jelang Natal

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:16

Ida Fauziyah Ajak Relawan Bangkit Berdaya Amalkan Empat Pilar Kebangsaan

Minggu, 14 Desember 2025 | 19:07

Menkop Ferry: Koperasi Membuat Potensi Ekonomi Kalteng Lebih Adil dan Inklusif

Minggu, 14 Desember 2025 | 18:24

Salurkan 5 Ribu Sembako, Ketua MPR: Intinya Fokus Membantu Masyarakat

Minggu, 14 Desember 2025 | 18:07

Uang Rp5,25 Miliar Dipakai Bupati Lamteng Ardito untuk Lunasi Utang Kampanye Baru Temuan Awal

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:34

Thailand Berlakukan Jam Malam Imbas Konflik Perbatasan Kamboja

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:10

Teknokrat dalam Jerat Patronase

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:09

BNI Dukung Sean Gelael Awali Musim Balap 2026 di Asian Le Mans Series

Minggu, 14 Desember 2025 | 16:12

Prabowo Berharap Listrik di Lokasi Bencana Sumatera Pulih dalam Seminggu

Minggu, 14 Desember 2025 | 16:10

Selengkapnya