Berita

Politik

Terkait HTI, Komnas HAM: Politik Stigmatik Cara Fasis Membungkam Lawan Politik

SELASA, 09 MEI 2017 | 10:03 WIB | LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR

Pemerintah atau pihak manapun tidak boleh menstigma antitoleransi, anti-Pancasila dan anti-NKRI kepada ormas-ormas Islam, atau lawan politiknya, juga kepada masyarakat umum bila tak sepaham akan kebijakan rezim yang dikuasainya.

"Pejabat pemerintah atau siapapun tidak boleh membuat stigma anti-Pancasila dan anti-NKRI. Karena itu adalah cara fasis untuk membungkam lawan politik," tegas Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, pagi ini, terkait sikap Pemerintah yang akan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia.

Mengutip Ketua Komisi Yudisial RI, dia menjelaskan, stigma anti-Pancasila, anti-NKRI atau anti Kebhinekaan tidak boleh dilakukan Negara atau pihak manapun. [Baca: Wiranto: Pemerintah Sepakat Bubarkan HTI]


"Politik stigmatik adalah cara fasis membungkam lawan politik. Karena Fasisme adalah ideologi yang berdasarkan pada prinsip kepemimpinan dengan otoritas absolut di mana perintah pemimpin dan kepatuhan berlaku tanpa pengecualian," ungkapnya.

Dia mengingatkan Pemerintah tidak elok mempertontonkan perilaku membabibuta memberangus pihak-pihak yang tak sepaham dengannya, lewat stigma-stigma anti Pancasilan, anti NKRI, guna melegitimasi tindakan represif pemerintah kepada pihak lain.

"Sejatinya pemerintah mengedepankan dialog dalam menyelesaikan perbedaan pandangan yang mana semua permasalahan diputuskan lewat asas pemufakatan dan musyawarah," ungkapnya. [Baca: Dulu Bersahabat, Kenapa Kini Wiranto Mau Membubarkan HTI?]

Lebih jauh Maneger menjelaskan, jika ada orang atau pihak manapun yang tidak setuju dengan pandangan dan gerakan organisasi apapun, cara yang paling elegan adalah melalui proses hukum, yaitu mengajukannya ke pengadilan.

Pembubaran terhadap organisasi/perkumpulan, apalagi sudah terregistrasi dalam lembaga negara terkait, adalah harus berdasarkan keputusan pengadilan. orang atau pihak manapun tdk boleh main hakim sendiri.

"Sekali lagi, hanya proses hukum di Pengadilanlah yang boleh memutuskan seseorang atau organisasi bersalah sebagai melawan Pancasila dan NKRI. Bukan dengan cara stigma," tandasnya. [zul]

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Bank Mandiri Berikan Relaksasi Kredit Nasabah Terdampak Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12

UMP Jakarta 2026 Naik Jadi Rp5,72 Juta, Begini Respon Pengusaha

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05

Pemerintah Imbau Warga Pantau Peringatan BMKG Selama Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56

PMI Jaksel Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54

Trump Selipkan Sindiran untuk Oposisi dalam Pesan Natal

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48

Pemerintah Kejar Pembangunan Huntara dan Huntap bagi Korban Bencana di Aceh

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15

Akhir Pelarian Tigran Denre, Suami Selebgram Donna Fabiola yang Terjerat Kasus Narkoba

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00

Puan Serukan Natal dan Tahun Baru Penuh Empati bagi Korban Bencana

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49

Emas Antam Naik, Buyback Nyaris Tembus Rp2,5 Juta per Gram

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35

Sekolah di Sumut dan Sumbar Pulih 90 Persen, Aceh Menyusul

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30

Selengkapnya