Di detik-detik akhir menjelang hari pencoblosan putaran dua, calon Presiden Perancis, Emmanuel Macron, tertimpa sial. Jumat (5/5) waktu Perancis, Macron mengalami pembajakan email secara besar-besaran.
Lagi-lagi, seperti halnya Pilpres Amerika Serikat, pihak Rusia dituduh ada di belakangnya.
Sekumpulan dokumen dari email Macron dirilis secara online. Tim kampanye Macron mengatakan, pembajak menggabungkan file asli dengan yang palsu untuk membingungkan para calon pemilih.
"Jelas para hacker ingin merusak Macron menjelang pemilihan putaran kedua hari Minggu," kata tim kampanye Macron dalam pernyataan resmi, dikutip dari
BBC.
Dokumen-dokumen itu bocor pada akhir Jumat, saat periode kampanye kepresidenan resmi berakhir. Sekitar sembilan gigabyte data diposkan secara online oleh akun anonim. Sementara, jajak pendapat sementara di Perancis saat itu masih menunjukkan bahwa Macron memimpin 20 persen mengungguli Le Pen.
Gerakan Macron En Marche mengatakan bahwa dokumen kampanye internal, termasuk email dan data keuangan, telah diambil oleh "tindakan hacking besar-besaran yang terkoordinasi".
"Berkas bocor tersebut diperoleh beberapa minggu yang lalu dengan meng-hack akun email pribadi beberapa pejabat gerakan tersebut," demikian sebuah pernyataan dari pihak Macron.
Tim kampanye Macron memang tidak menyalahkan pihak tertentu, namun mengatakan bahwa pembajakan tersebut bertujuan untuk merusak demokrasi Perancis.
Kejadian ini mengingatkan pada kebocoran email Partai Demokrat jelang pemilihan presiden AS tahun lalu. Para peretas Rusia dituduh bertanggung jawab.
Bulan lalu, pakar keamanan dari perusahaan Trend Micro mengatakan bahwa peretas Rusia menargetkan kampanye Macron. Sementara itu, Rusia sudah membantah keras tuduhan berada di balik serangan yang ditujukan kepada Macron.
Macron sebelumnya juga diserang rumor yang viral di media sosial, yang menyebut dirinya memiliki rekening di sebuah bank rahasia di kawasan Karibia.
Macron menyebut tuduhan tersebut "berita palsu dan kebohongan". Tak lupa, ia mengatakan bahwa beberapa situs yang menyebarkannya terkait dengan kepentingan Rusia.
Apapun yang terjadi, Minggu besok (7/5), Macron yang liberal akan adu perolehan suara dengan Capres perempuan dari aliran ekstrem kanan, Marine Le Pen.
Rakyat Perancis akan memiliki presiden baru. Di putaran pertama pilpres, para pemilih telah menolak dua partai politik besar, Sosialis dan Republik, yang telah memerintah selama beberapa dekade.
Besok, para pemilih akan membuat keputusan mengenai arah masa depan Perancis dan keberadaannya di Uni Eropa.
Jika mayoritas memilih Emmanuel Macron, berarti Perancis akan berintegrasi lebih dalam dengan Uni Eropa. Jika mayoritas memilih Le Pen, maka Perancis akan mengarah sebaliknya.
[ald]