Berita

Ubedilah Badrun/Net

Nusantara

PILKADA JAKARTA

Perubahan Keputusan KPU DKI Membuka Celah Pemilih Siluman Dan Kisruh DPTb

SABTU, 25 MARET 2017 | 07:38 WIB | OLEH: UBEDILAH BADRUN

TULISAN saya sebelumnya mengkritik pernyataan Komisioner KPUD DKI yang mengabaikan Kartu Keluarga (KK) sebagai alat verifikasi pemilih dari Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). Tulisan itu mengingatkan bahwa secara substansial berarti KPU mengabaikan dasar legal kependudukan seseorang tetapi lebih mempercayai surat dari Dinas Dukcapil yang secara hukum kependudukan tidak memiliki legalitas formal dimata hukum. Sebab dimata hukum legalitas identitas kependudukan itu ada di KTP dan KK sebagai alat verifikasinya, bukan surat Dukcapil. Dalam tulisan tersebut juga saya ingatkan untuk mencermati permintaan 500.000 blanko e-KTP dari dinas dukcapil yang tidak berdasar pada data kebutuhan yang valid.

Kali ini saya lebih mendalami surat Keputusan KPU yang dibuat KPUD DKI yang dijadikan dasar salah satunya dalam soal DPTb. Surat Keputusan yang dijadikan dasar ternyata berubah-ubah, anehnya perubahan SK tersebut terjadi hanya dalam waktu lima hari saja pada awal Maret 2017.

Para analis dan pemerhati Pilkada DKI Jakarta hampir abai mengamati perubahan Keputusan KPU DKI Jakarta ini. Dalam catatan saya, pada 4 Maret 2017 KPU mengeluarkan Keputusan KPU Nomor: 49/Kpts/KPU-Prov-010/Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2017 Putaran Kedua. Kemudian pada 9 Maret 2017 keputusan tersebut diubah dengan  Keputusan KPU Nomor: 57/Kpts/KPU-Prov-010/Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta  Nomor: 49/Kpts/KPU-Prov-010/Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2017 Putaran Kedua.


Perubahan surat keputusan KPU DKI tersebut selain mengundang tanya karena berubah dalam waktu lima hari, juga secara isi memuat sejumlah kejanggalan.

Pertama, janggal dari segi argumentasi perubahanya. Argumentasi yang dibuat KPU dalam diktum "menimbang" dikemukakan untuk membuat pilkada putaran kedua berlangsung demokratis dan sebagai penyempurnaan atas keputusan sebelumnya. Faktanya pada Keputusan KPUD No 57 justru cenderung mengurangi kualitas demokrasi karena mengabaikan verifikasi dengan KK. Bukankah kualitas demokrasi itu juga perlu diukur dari validitas data pemilihnya? Jika data pemilih tidak valid maka proses pemilu sebagai bagian dari demokrasi menjadi tidak berkualitas.

Kedua, pada diktum "memperhatikan" memuat naskah perjanjian hibah daerah antara Pemda DKI dengan KPUD tentang dana hibah penyelenggaraan pilkada 2017. Pertanyaanya adalah apa urgensi dan korelasi hibah pemda DKI dimasukan sebagai diktum dengan pedoman penyelenggaraan pilkada putaran kedua. Bukankah lebih tepat jika diktum perjanjian hibah itu ditempatkan KPU dalam keputusannya terkait distribusi anggaran penyelenggaraan pemilu, bukan pada Keputusan terkait penyelenggaraan pilkada, putaran kedua pula?

Ketiga, adanya perubahan syarat DPTb ketika memilih. Pada SK no 57 dalam bagian Ketentuan Umum poin ke 4 disebutkan bahwa pemilih yang termasuk dalam DPTb boleh memilih dengan menunjukan KTP dan surat dari Dinas Dukcapil Provinsi DKI Jakarta. Padahal dalam SK no 49 pada bagian Ketentuan Umum poin ke 4 disebutkan bahwa pemilih yang termasuk dalam DPTb boleh memilih dengan menunjukan KTP, surat dari Dinas Dukcapil Provinsi DKI Jakarta dan dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK). Pertanyaanya mengapa pada SK 49 yang dikeluarkan 4 maret yang memuat syarat KK kemudian pada SK 57 yang dikeluarkan 9 maret syarat KK dihilangkan?

Dengan mencermati kejanggalan-kejanggalan tersebut, perubahan Keputusan KPU DKI yang terjadi dalam lima hari tersebut membuka celah hadirnya 'pemilih siluman' karena tanpa verifikasi KK dan Kisruh Pemilih DPTb dimungkinkan terjadi. Solusi sistemiknya seharusnya untuk DKI jika sistem pendataan penduduknya bener tidak mungkin sampe puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu DPTb. Pertanyaanya adalah mengapa soal data pemilih selalu tidak pernah beres? Padahal jelas itu celah kecurangan. [***]

Penulis adalah analis politik UNJ dan Direktur Eksekutif Puspol Indonesia

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya