Surat dakwaan dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (E-KTP) mengundang banyak pertanyaan dari kalangan praktisi hukum.
Mantan Direktur Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung, Chairul Imam, menggugat isi dakwan yang disusun Jaksa Penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dibacakan pada persidangan 9 Maret itu. Jika melihat tebal dakwaan, kasus ini bisa digolongkan kasus luar biasa penting. KPK mengatakan, tebal seluruh berkas penyidikan dalam kasus itu mencapai 24 ribu halaman.
"Terus terang saya bekerja di kejaksaan hampir 40 tahun, melihat surat dakwaan yang 121 halaman itu baru sekali ini. Melihat yang sampai 100 halaman pun belum pernah. Saya khawatir orang yang membaca sampai setengah saja sudah lupa apa yang ada di depan," sinidir Chairul dalam diskusi bertajuk "Perang Politik E-KTP" di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (18/3).
Lanjut Chairul, surat dakwaan yang disusun jaksa KPK hanya menyangkut pada tindak pidana korupsi. Padahal, menurut dia, KPK bisa menambah dakwaan dengan dugaan tindak pidana pencucian uang.
"Karena di dalam TPPU itu jelas dikatakan bahwa penyidik TPPU adalah penyidik tindak pidana asal. Jadi KPK sebagai penyidik tindak pidana korupsi sebetulnya bisa menyidik TPPU. Itu lebih mudah, karena satu kali saja uang itu berpindah tangan maka sudah bisa didakwa TPPU," jelasnya.
Menurut dia, dengan dua dakwaan yakni korupsi dan pencucian uang, maka tuntutan maupun hukumannya bisa dikenakan pasal kumulatif yang pada akhirnya menimbulkan efek jera lebih besar.
"Jumlah, kemudian ditambah sepertiganya, itu efek jeranya lebih tinggi daripada kalau hanya satu dakwaan," imbuhnya.
Kejanggalan selanjutnya dalam dakwaan itu adalah jaksa lebih memilih memisah-misah dakwaan ketimbang menjadikannya satu berkas.
"Ada satu hal lagi yang saya bingung. Di situ dikatakan bersama-sama, 30 lebih orang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Kenapa tidak dijadikan satu berkas saja kalau memang bersama-sama?" ujarnya.
[ald]