Boediono usai sidang Centurygate/net
Pengungkapan nama-nama anggota DPR RI dan partai politik di persidangan E-KTP Tipikor menuai kegaduhan. Mereka yang disebut terciprat uang haram ramai-ramai membantah, bahkan melancarkan serangan balik.
Langkah frontal dilakukan Ketua DPR RI periode 2009-2014, Marzuki Alie. Dalam surat dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dua terdakwa mantan pejabat di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, Marzuki disebut menerima duit dari Andi Agustinus alias Andi Narogong, pengusaha yang ditunjuk langsung untuk menjadi perusahaan pemenang lelang dalam proyek pengadaan E-KTP.
Marzuki menanggapi dakwaan itu dengan melapor ke Bareskrim Mabes Polri. Marzuki mengungkapkan, tidak mengenal Andi dan bahkan tidak mengetahui bagaimana wajah Andi. Marzuki menggugat Andi dengan dugaan tindak pidana sengata mengajukan pemberitahuan palsu kepada penguasa dan tindak pidana pencemaran nama baik melalui sarana elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 317 UU KUHP dan pasal 27 ayat 3 jo pasal 45 ayat 1 UU 19/2016 tentang ITE.
Langkah lebih tegas diambil Partai Golkar. Sekjen DPP Golkar, Idrus Marham, menugaskan Ketua DPP Bidang Hukum dan HAM, Rudy Alfonso, untuk mempelajari kasus tersebut dan menentukan langkah yang tepat. Menurutnya, penyebutan nama Setya Novanto dan beberapa politikus Golkar lain merupakan pencemaran nama baik. Apalagi, Novanto merupakan ketua umum yang merupakan simbol partai.
Sebelumnya, dalam dakwaan Jaksa, Partai Golkar disebut menerima kucuran Rp 150 miliar dari proyek E-KTP. Para elite Golkar pun meresponsnya dengan kecaman. Mereka tidak terima KPK mencantumkan nama partainya di dalam dakwaan E-KTP.
Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, mengakui, orang-orang yang disebut dalam dakwaan KPK bisa melakukan gugatan terhadap KPK kecuali yang bersangkutan sudah ditetapkan sebagai tersangka. Gugatan itu bisa jadi terkait pencemaran nama baik atau perdata bila mengakibatkan kerugian materiil.
Penyebutan nama-nama anggota DPR dan partai politik dalam dakwaan E-KTP bisa bermakna bahwa para penyidik tidak memiliki barang bukti cukup untuk menjadi dasar menjadikan para pihak tersebut sebagai tersangka. Sebetulnya, nama-nama itu tidak mesti dibuka lewat pengadilan walau tercantum dalam berita acara pemeriksaan. Apalagi, nama-nama dari mereka yang belum pernah diperiksa sama sekali oleh penyidik.
Hal itulah yang kemudian membuat sebagian publik berpikir kritis, apa yang sebenarnya dicari KPK lewat pembeberan beberapa nama besar dalam dakwaan E-KTP. KPK akan sangat mudah dijadikan bulan-bulanan jika tidak memiiki fakta yang cukup atau alasan kuat menyebut nama pihak tertentu seolah bersalah dalam dakwaan kasus korupsi.
Namun, jika memang sudah ada bukti kuat, KPK harus segera menetapkan pihak-pihak tersebut sebagai tersangka dalam kasus E-KTP. Jangan biarkan prasangka menggantung-gantung dan menimbulkan kegaduhan baru. Juga jangan sampai timbul persepsi publik bahwa kegaduhan E-KTP sengaja diciptakan untuk menutupi kejahatan besar lainnya yang menyangkut kekuasaan. Misalnya, dugaan keterlibatan adik ipar Presiden Jokowi dalam kasus suap pajak.
Bicara soal dakwaan KPK, para politikus bisa belajar dari Wakil Presiden RI 2009-2014, Boediono. Bayangkan, Boediono adalah salah satu orang yang disebut dalam dakwaan kasus dugaan korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek FPJP Bank Century, dengan terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa, Budi Mulya.
Awal Maret 2014, Boediono yang saat itu masih menjabat Wapres disebut ikut bersama-sama menyalahgunakan wewenang dalam menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik hingga mengakibatkan kerugian negara Rp 6,7 triliun. Bisa dibilang, keguncangan politik sejak awal Centurygate mencuat pada 2009 jauh lebih hebat dari guncangan yang akan ditimbulkan perkara KTP yang disebut merugikan negara Rp 2,3 triliun.
Lalu, apa tanggapan Boediono? Ia tidak melakukan serangan balik. Ia malah mau bersaksi di pengadilan. Kepada hakim, mantan Gubernur Bank Indonesia itu dengan percaya diri mengatakan bahwa keputusannya mem-bail out Bank Century pada November 2008 sudah sesuai dengan hati nurani.
Bukti-bukti hukum menyudutkannya, namun Boediono bergeming. Tanpa grasak-grusuk dan sibuk bantah sana-sini, Boediono masih berstatus orang bebas sampai sekarang.
Dari Boediono, yang keterlibatannya dalam mega skandal Century sangat kentara, para politikus bisa menarik kesimpulan bahwa dakwaan KPK bukan akhir segalanya.
[ald]