Berita

Prof. Erman Rajagukguk/Net

Politik

Kasus Mobil Listrik Bentuk Kriminalisasi Kebijakan

KAMIS, 02 MARET 2017 | 10:48 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Oleh: Prof. Erman Rajagukguk, Guru Besar Hukum UI

Kasus mobil listrik yang menjerat mantan Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan merupakan bentuk kriminalisasi terhadap kebijakan. Kasus ini, bukanlah kasus pidana, melainkan perdata. Sebab, Dahlan tak menerima suap atau melakukan penggelapan.

Yang terjadi di sini adalah wanprestasi dalam kerjasama antara tiga perusahaan BUMN dengan pemilik PT Sarimas Ahmadi Pratama, Dasep Ahmadi.


Dalam perjanjian, Dasep diminta untuk membuat prototipe 16 unit mobil listrik untuk pelaksaan APEC 2013. Namun saat APEC digelar, Dasep hanya mampu menghasilkan empat unit mobil listrik. Penyelesaiannya mudah, tinggal blacklist perusahaan itu.

Di laman website Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP), ada ratusan perusahaan yang saat ini sedang di-blacklist karena wanprestasi.

Dahlan juga tak bisa dipidanakan karena dia tidak merugikan keuangan negara. Darimana sumber pendanaan mobil listrik? Dari BUMN, yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI), Perusahaan Gas Negara (PGN), dan PT Pertamina.

Pembiayaan pembuatan prototipe mobil listrik itu bersumber dari dana sponsorship. Ada perbedaan penggunaan dan pertanggungjawaban dana sponsorship perusahaan dengan dana dari APBN. Artinya, itu bukan dari uang negara.

Ada kerancuan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan keuangan BUMN adalah keuangan negara dan kegiatan yang mendapat fasilitas dari negara adalah keuangan negara.

Itu keliru. Dalam UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, keuangan BUMN bukan merupakan keuangan negara. Sebab, BUMN adalah badan hukum.

Subjek hukum yaitu yang mempunyai hak dan kewajiban serta mempunyai harta kekayaan sendiri adalah manusia (natuurlijk persoon) dan Badan Hukum (rechtsperson, legal personality).

Badan Hukum sebagai subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban serta mempunyai harta kekayaan sendiri sebagaimana manusia. Harta kekayaan yang terpisah dari pendiri Badan Hukum itu, terpisah dari harta kekayaan pemilik, pengawas dan pengurusnya. Inilah doktrin hukum, baik dalam sistem Civil Law maupun Common Law.

Kekayaan negara yang dipisahkan di dalam BUMN hanya berbentuk saham. Artinya, kekayaan BUMN tidak menjadi kekayaan negara.

Kerugian dari satu transaksi dalam PT BUMN tidak menjadi kerugian atau otomatis menjadi kerugian negara. Jadi, meski sahamnya dimiliki negara, namun keuangan BUMN terpisah dari keuangan negara. Di luar negeri, misal di Amerika, dan Malaysia, itu juga sama.

Sebagai contoh, saya sebagai pensiunan guru besar mendapat gaji dari APBN setiap bulan. Ketika belanja di Pasar Senen, uang gaji saya itu dicopet. Pertanyaannya, apakah pencopet mencopet uang saya atau uang negara? Tentu ia mencopet uang saya, bukan uang negara. Begitu juga BUMN yang mendapat modal dari APBN, ketika sudah dimasukkan sebagai modal, uang tersebut bukan uang negara lagi; negara memiliki saham BUMN tersebut karena memasukkan modal itu. Tetapi kekayaan BUMN bukanlah kekayaan negara, melainkan kekayaan BUMN itu sendiri sebagai Badan Hukum.

Dalam Undang-Undang APBN juga disebut, hanya modal BUMN bersumber dari APBN dan dividen yang diterima oleh Negara dari BUMN masuk APBN. Tapi, keuangan BUMN tidak masuk dalam APBN, sehingga bukan menjadi keuangan negara.

Ini juga berlaku pada kasus pelepasan aset PT PWU. BUMD juga adalah badan hukum. Aset itu bukan milik Pemda Jatim, melainkan milik perusahaan itu. Kemudian, Dahlan juga sudah meminta persetujuan dari DPRD Jawa Timur. Jadi Dahlan tidak salah.

Keputusan tersebut telah diambil melalui prosedur yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar PT, tidak mempunyai pertentangan kepentingan dengan dirinya, dan telah mengambil keputusan tersebut dengan hati-hati. Maka ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi atas kerugian tersebut. Kerugian suatu PT. didasarkan kepada transaksi dalam satu tahun buku, bukan transaksi dalam enam bulan, atau tiga bulan, atau satu transaksi.

Pemegang Saham yang merasa dirugikan oleh Direksi, antara lain, dapat menggugatnya atas nama pribadi atau atas nama perseroan. Gugatan tersebut adalah gugatan perdata. Kerugian PT. menjadi tindak pidana kalau Dahlan terbukti memberi atau menerima suap, memutarbalikkan pembukuan, atau menghilangkan bukti-bukti pembukuan tersebut.

Jual-beli yang dilakukan tergantung pada pasar; ada permintaan dan ada penawaran. Ini dagang. Kalau rugi, wajar. Toh, ini bukan uang negara.

Kalau begitu, instruksi Presiden agar Pertamina menurunkan harga Gas Tabung 12 kg dalam satu hari, menurut orang awam hukum, juga telah merugikan keuangan negara.

Dengan menurunkan kenaikan harga Gas Tabung 12 kg menjadi Rp. 1.000,-, Pertamina mengalami kerugian sekitar Rp. 6,7 triliun (kecuali Pemerintah memberikan subsidi lagi). Pertamina adalah BUMN yang 100% modalnya milik negara.

Presiden bisa melanggar pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dimana disebut, merugikan keuangan negara adalah perbuatan korupsi.

Jadi ini jelas bentuk kriminalisasi terhadap kebijakan. Ini akan berdampak besar bagi pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi bisa tak berjalan.

Ketidakpastian hukum menghambat kelancaran tugas-tugas Direksi dan Komisaris BUMN dalam menjalankan aktivitas bisnisnya.

Sebab, mereka takut, jika merugikan keuangan BUMN itu diartikan merugikan keuangan negara dan dapat dituduhkan melakukan korupsi.

Pihak swasta yang selama ini kerap bekerjasama dengan aparatur negara juga tak kalah takut. Mereka tak akan mau lagi menjadi penyedia barang dan jasa pemerintah.

Kini melepaskan Dahlan dari tuduhan korupsi adalah sebuah jalan. Ini bisa dijadikan preseden penegakan hukum yang baik. Dengan begitu, para pejabat tak lagi resah dan takut pada hal ini; kriminalisasi seperti yang terjadi pada Dahlan, akan terjadi juga pada mereka, kelak. ***

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya