Pemerintah menilai hak PT Freeport Indonesia (PTFI) jika ingin membawa persoalan status kontraknya usaha ke arbitrase.
Langkah hukum itu dipandang lebih baik daripada menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat untuk menekan pemerintah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan mengatakan, sebetulnya pemerintah tidak ingin berhadapan dengan siapapun, termasuk PTFI, secara hukum karena apapun hasilnya akan berdampak kurang baik bagi sebuah relasi kemitraan.
"Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata," tegas Jonan kepada wartawan di Jakarta, Minggu (19/2).
Jonan menjelaskan, PTFI menolak perubahan dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Padahal, sesuai hasil pembahasan bersama yang melibatkan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan PTFI, pemerintah telah memberikan hak yg sama di dalam IUPK setara dengan yang tercantum di dalam KK, selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam enam bulan sejak IUPK diterbitkan.
"Namun PTFI menyatakan tetap menolak IUPK dan menuntut KK tetap berlaku," beber Jonan.
PTFI sendiri, menurut Jonan, telah mengajukan rekomendasi ekspor melalui surat No 571/OPD/II/3017 tanggal 16 Februari 2017 dengan menyertakan pernyataan komitmen membangun smelter. Sesuai IUPK yang telah diterbitkan, Dirjen Minerba menerbitkan rekomendasi ekspor untuk PTFI No 352/30/DJB/2017 pada 17 Februari 2017.
"Saya berharap kabar tersebut tidak benar karena Pemerintah mendorong PTFI agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi, termasuk perpanjakan izin, yang akan dikoordinasi oleh Ditjen Minerba dan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu serta BKPM," ujar Jonan.
Ia juga berharap PTFI tidak alergi dengan adanya ketentuan divestasi hingga 51 persen yang tercantum dalam perjanjian KK yang pertama antara PTFI dan Pemerintah Indonesia, termasuk diatur melalui PP No 1/2017.
[wid]