Pria asal Parepare, Sulawesi Selatan ini kembali terpilih menjadi Ketua Mahkamah Agung. Dia mendapatkan lebih dari 50 persen suara atau sebanyak 38 suara dari 47 Hakim Agung.
"Saya diam saja, tidak ada kampanye tapi di dalam pemiÂlihan masih mempercayakan kepada saya. Saya pun tidak meÂnyangka, tidak menduga masih dipercaya untuk periode kedua," ujar Hatta. Berikut penuturan lengkap Hatta Ali :
Anda kan sebentar lagi akan pensiun, apakah nanti akan ada pemilihan Ketua MA lagi atau menunggu hingga akhir periode jabatan anda habis?
Saya diangkat kembali menjadi ketua periode kedua Mahkamah Agung untuk periode 2017 hingÂga 2022. Lima tahun. Tetapi usia saya sudah menjelang 67 tahun, jadi kalau kita berpatokan pada Undang-Undang Mahkamah Agung, maka saya mejabat tiga tahun sudah pensiun. Karena usia pensiuan menurut undang-undang MA adalah 70 tahun. Jadi walaupun sebagai ketua, tetap usia pensiunnya mengikuti hakim agung. Tiga tahun inilah saya memanfaatkan semaksimal mungkin apa yang bisa saya abÂdikan kepada negara dan kepada Mahkamah Agung.
Saya diangkat kembali menjadi ketua periode kedua Mahkamah Agung untuk periode 2017 hingÂga 2022. Lima tahun. Tetapi usia saya sudah menjelang 67 tahun, jadi kalau kita berpatokan pada Undang-Undang Mahkamah Agung, maka saya mejabat tiga tahun sudah pensiun. Karena usia pensiuan menurut undang-undang MA adalah 70 tahun. Jadi walaupun sebagai ketua, tetap usia pensiunnya mengikuti hakim agung. Tiga tahun inilah saya memanfaatkan semaksimal mungkin apa yang bisa saya abÂdikan kepada negara dan kepada Mahkamah Agung.
Ada kesan dari luar MA, pemilihan ketua MA terburu-buru apa benar seperti itu? Ini harus diklarifikasi. Kesan terburu-buru itu tidak ada. Sejak bulan Januari kita sudah menÂgeluarkan SKtentang masalah pemilihan ini. Masalah pemiÂlihan ini memang harus kita lakukan sebelum dua minggu masa berakhirnya jabatan ketua saya periode pertama. Saya diÂlantik pada 1 Maret 2012, maka 1 Maret 2017 saya sudah selesai. Makanya kita lakukan tanggal 14 Februari, agar kita kasih waktu kepada Bapak Presiden untuk memberikan SK-nya. Supaya tidak terjadi kevakuman hakim.
Selain itu, ada kesan lain yang muncul, bahwa pemiliÂhan ketua MA tidak demokraÂtis, karena tidak ada penyamÂpaian visi-misi? Tidak demokratisnya di maÂna? Sebelum kita terbitkan surat Mahkamah Agung, kita bentuk kelopok kerja, untuk menyusun tata tertib pemilihan. Pokja ini kita ikutkan dari beberapa aspek kamar. Kamudian setelah lolos di pokja, kita bawa lagi ke rapat pimpinan untuk didiskusikan, untuk revisi jika ada yang perlu direvisi. Saya mau tahu di mana kelemahan dari tata tertib ini jika dikatakan tidak demokratis? Tidak ada yang tidak berkenan. Sistemnya sudah jelas, kecuali kalau di situ ditentukan bahwa hak vote ketua menentukan siapa pemenangannya. Nah ini yang tidak demokrasi. Tapi itu tidak ada. Di sini (hakim agung) hari-hari kita jumpa, asal basicnya saya tahu semua. Bagaimana kemampuan teknisÂnya, bagaimana kemampuan leadershipnya.
Selain itu... Ingat, tidak ada
money poliÂtic's di sini. Kalau ada, saya jamin saya masuk penjara. Sama sekali tidak ada. Jangan anda membuat berita seolah-olah ada
money politics. Sama sekali tidak ada, dari dulu tidak ada. Saya sendiri merasakan. Justru jangan sekali-kali berani berÂmain
money politics karena bisa saja hakim agung lainnya memberikan penilaian yang negatif. Mungkin di sini sudah terbiasa ingin mewujudkan hal yang adil. Yang ingin bermain-main diangÂgap tidak adil.
Lantas ke depan apa yang akan anda lakukan untuk memperbaiki MA? Pada laporan tahunan di tangÂgal 9 Februari 2017 lalu, saya sudah memaparkan, bahwa kita tidak menutup mata pada tahun 2016 banyak pejabat-pejabat pengadilan yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT). Tetapi kita tak boleh putus asa, justru itu memberikan semangat bagi saya untuk meningkatkan masalah pengawasan. Penertiban terhadap penyimpangan-penyimÂpangan yang dilakukan oleh para pejabat MA.
Memangnya penertiban seperti apa yang pernah Anda lakukan di MA? Sebagai contoh kita pernah melakukan penyamaran, yang tujuannya adalah menunjukkan kepada mereka bahwa komitmen MA dari dulu sama, yaitu tidak ingin ada perbuatan-perbuatan tiak baik yang dilakukan oleh para pejabat MA. Itu komitmen. Yang kedua, dengan penyamaÂran itu kita bisa mengetahui apa yang terjadi di lapangan. Masih adakah pungli, bagaimana benÂtuk pelayanan mereka kepada masyarakat khususnya para pencari keadilan.
Lantas menurut Anda apa penyamaran itu berhasil? Ternyata apa yang teah diÂlakukan oleh seluruh pimpinan, tidak ada satu pun yang menÂgenali di pengadilan. Termasuk saya sendiri. Saya mewancarai pegawai, penasehat hukum yang ada di pengadilan pada waktu itu, namun tidak ada yang mengenali saya.
Kami itu berfoto setelah (melakukan penyamaran), kita senÂgaja membagikannya ke publik, agar tahu kalau ini adalah tinÂdakan preventif. Jangan terjadi pelayanan yang kurang baik keÂpada para pencari keadilan. Inilah yang kita lakukan.
Apakah ke depannya cara yang sama akan Anda lakuÂkan lagi? Ini tidak sampai di sini. Kita akan tetap melanjuti ke pengadiÂlan-pengadilan yang mendapatÂkan surat pengaduan kepada MA. Kemudian saya sudah minta kepada Badan Pengawasan MA supaya cara (penyamaran) sepÂerti ini dilakukan oleh aparat pengawasan MA. Ini sangat efektif kita lakukan. Pelaksanaan pengawasan akan menjadi priÂoritas. Jadi masalah pengawasan ini tidak pernah lepas dari penÂgawasan saya.
Cuma satu hal, tapi untuk masalah tendesius, jangan sekaÂli-kali kita masuk. Karena kalau kita masuk sama saja sudah mengintervensi pengadilan. Justru intervensi kita semua harus menjaga. Karena kalau ada intervensi, maka sudah tidak ada artinya penegakan hukum. Saya selalu menjaga independensi para hakim. Sebab saya bisa memprediksi kalau independensi sudah tidak ada kacau balau dunia peradilan. ***