Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menjelaskan, isu yang berkembang mengenai sertifikasi bagi khotib Sholat Jumat. Menteri Lukman menjelaskan, sebenarnya yang akan dilakukan bukan sertifikasi, melainkan mengatur standarisasi bagi khatib. Tujuannya, agar syarat dan rukun Sholat Jumat tidak berkurang. Selain isu itu, Menteri Lukman juga bicara soal kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump melarang tujuh negara Islam masuk Amrik. Berikut wawanÂcara lengkapnya :
Sebenarnya apa sih maksud dari sertifikasi khotib Sholat Jumat?
Begini, jadi pertama itu tidak ada keinginan pemerintah melakukan sertifikasi ulama, jadi kata sertifikasi itu tidak muncul dari pemerintah. Yang kita ingin lakukan berdasarkan masukan dari sebagian umat Islam sendiri. Jadi latar belakangnya itu, beÂberapa kalangan merasa resah, risau dengan khutbah-khutbah Jumat yang berisi hal-hal yang provokatif.
Esensi khutbah Jumat itu berisi ajakan, nasihat untuk berÂtakwa, ternyata juga diisi dengan hal-hal yang sifatnya memecah belah kita. Karena menjelek-jelekkan, memaki-maki, bahkan menyebut nama orang-orang tertentu. Sehingga itu menimÂbulkan keresahan. Dan sebagian meminta agar pemerintah meÂnyikapi ini semua.
Esensi khutbah Jumat itu berisi ajakan, nasihat untuk berÂtakwa, ternyata juga diisi dengan hal-hal yang sifatnya memecah belah kita. Karena menjelek-jelekkan, memaki-maki, bahkan menyebut nama orang-orang tertentu. Sehingga itu menimÂbulkan keresahan. Dan sebagian meminta agar pemerintah meÂnyikapi ini semua.
Kementerian Agama sudah melakukan apa? Nah, tentu sebagai Menteri Agama saya tidak boleh diam terhadap hal ini. Lalu kami mengundang wakil-wakil dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) dari ormas-ormas Islam, juga dari organisasi-organisasi proÂfesi dai, dari akademisi untuk duduk bersama menyikapi ini.
Hasil pertemuannya apa? Munculah dari kajian itu wacana tentang standarisasi, bukan sertifikasi. Yaitu ingin memberikan batasan minimal, apa sih sesungguhnya komÂpetensi, kualifikasi yang harus dimiliki seorang khotib dalam menyampaikan khutbah Jumat. Untuk diketahui publik bahwa khutbah Jumat itu bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah Sholat Jumat itu sendiri. Jadi khutbah Jumat itu bentuk ibadah sebenarnya.
Sama sekali berbeda dengan ceramah ba'da shubuh atau ceramah kultum tarawih atau ceramah-ceramah lain yang relatif bisa lebih bebas.
Khutbah Jumat itu memiliki tata cara sendiri, punya syarat dan rukunnya sendiri, punya aturan sendiri yang kalau seÂmua itu tidak terpenuhi bisa membatalkan keabsahan ibadah Sholat Jumat itu. Sehingga ini harus benar-benar dijaga, semata-mata agar ini tidak menÂgurangi atau menghilangkan syarat atau rukun dari sholat Jumat. Jadi itu sebenarnya.
Lalu ketentuannya apa yang bakal dikenai terhadap para khotib Sholat Jumat? Kita akan kembalikan paÂda ulama. Pemerintah hanya berposisi sebagai fasilitator. Pemerintah tidak punya pretensi apalagi merasa yang paling mengerti tentang urusan ini. Karena ini urusan ulama, ini domain ulama, pemerintah itu umaro.
Jadi pemerintah itu hanya memfasilitasi saja. Isinya apa, lalu siapa yang memberikan itu menjadi kewenangan pemuka-pemuka agama, ulama, kiai, ormas-ormas Islam dan sebaÂgainya. Nah, sebenarnya secara saya pribadi berpandangan, sebenarnya yang lebih diperÂlukan adalah domain bersama yang akan menjadi acuan kita bersama, tidak hanya khotib-khotib itu sendiri. Agar domain bersama dipatuhi katakanlah apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.
Tapi bagi takmir masjid atau pengurus masjid yang menenÂtukan siapa yang boleh khutbah Jumat pada tanggal sekian dan tidak, karena itu kewengan takmir masjid. Tapi bagi publik juga, bagi umat Islam khususÂnya jamaah Sholat Jumat juga bisa mengetahui khutbah Jumat yang baik itu seperti apa, kemuÂdian kita semua memiliki acuan bersama bagaimana khutbah itu sebaiknya dilaksanakan.
Anda tidak khwatir hal itu justru bakal dimakni sebagai intervensi pemerintah terhÂadap para khotib... Sama sekali tidak ada interÂvensi. Kementerian Agama ini semata-mata merespons tunÂtutan, harapan sebagian umat Islam Indonesia yang resah dengan khutbah-khutbah belaÂkangan ini yang terkesan sangat agitatif, sangat provokatif, lalu ujaran-ujaran kebencian di sana juga muncul.
Lalu itu semua disampaikan kepada kami, dan minta kami bertindak, bersikap melakukan sesuatu, tidak diam. Karenanya pemerintah melalui Kementerian Agama tidak boleh diam.
Pemerintah sama sekali tidak berpretensi, mengintervensi, apalagi mengatur-atur isi khutÂbah seperti masa lalu. Ini zaman sudah berbeda sama sekali. Tidak mungkin pemerintah melakukan hal-hal seperti itu. Pemerintah sadar betul itu bukan domain pemerintah.
Jadi gagasan ini bukan diÂtujukan kepada salah satu ulama? Sama sekali tidak ada uruÂsannya dengan itu. Kita ingin menjaga ini. Oleh karenanya, lebih baik tidak ada keresahan itu, karena pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama akan mendengar masukan-masukan dari para ulama terkait dengan persoalan-persoalan keagamaan. Menteri Agama tidak mungkin jalan sendiri tanpa masukan dari ulama.
Lalu, kenapa Polda Jawa Timur melakukan pendataan para ulama? Kalau polisi, tentu ini kami sama sekali tidak mengetahui. Jadi itu yang saya tahu, itu laporan Polda Jawa Timur daÂlam rangka untuk bagaimana mereka memiliki daftar ulama, kiai, saat ingin mengundang. Itu akan memudahkan. Ya tentu jika keinginannya hanya untuk mendapatkan data, nama, alamat dan di mana itu, datang saja ke kami, kami punya daftar itu. Nanti bisa kami serahkan.
Oh ya, terkait kebijakan Donald Trump yang melarang tujuh negara muslim masuk Amerika Serikat bagaimana anda melihat? Kita menanyakan memang (kepada Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Joseph R Donovan). Bagaimana juga, poinnya begini, tetap harus menghorÂmati dan menghargai kewenanÂgan pemerintah Amerika Serikat dalam melahirkan kebijakan, tetapi sebagai sebuah negara sahabat, tentu kita ingin mengeÂtahui apa latar belakang dari kebijakan itu.
Apa penjelasannya? Dubes Amerika menjelaskan, bahwa ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama. Tapi ini lebih pada persoalan perÂbatasan, persoalan pengungsian, hal-hal terkait keamanan negara Amerika Serikat itu sendiri. Beliau juga tegaskan, lebih dari 40 negara berpenduduk mayÂoritas muslim sama sekali tidak terkait dengan kebijakan ini.
Kebijakan ini bersifat temÂporer, sudah direvisi, sudah dibawa ke Pengadilan dan prosesnya nanti akan ada proses bandingdan seterusnya. Mudah-mudahan ke depan tidak ada lagi kebijakan-kebijakan (yang) misalnya menyulitkan, khususÂnya bagi negara-negara muslim dalam membangun kerjasama dengan pemerintah Amerika Serikat. ***