Yoseph Adi Prasetyo/Net
Yoseph Adi Prasetyo/Net
Berkaitan dengan pe-rayaan HPN di Ambon pada 9 Februari ini, menurut Anda, hal-hal penting apa saja yang perlu jadi bahan introspeksi untuk pers saat ini?
Dewan Pers concern denÂgan berbagai pengaduan dari masyarakat. Kita perlu mengaÂjak pers merenungkan kembali, pasca pemberlakuan Undang- Undang Pers tahun 1999 (kini suÂdah masuk tahun ke-18), apakah kebebasan pers seperti ini yang kita harapkan? Sekarang terasa makin tipis, batas antara bisnis dan pemberitaan.
Misalnya saat Pilpres 2014, kita menÂemukan banyak warÂtawan menÂjadi joki politik.
Kemudian pemilik-pemilik media bikin partai.
Kini, situasi hampir sama terjadi saat Pilkada. Ketika kampanye, banyak calon menÂdatangi kantor-kantor redaksi. Katanya untuk menyampaikan visi-misi, silaturahim. Menurut saya, tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi, masyarakat pers perlu saling mengingatkan, agar berhati-hati menjaga indeÂpendensi newsroom.
Bagaimana Anda melihat eskalasi pemberitaan Pilkada DKI Jakarta di media-media mainstream? Kelihatannya situasi politiknya makin meÂmanas.
Sejauh ini saya melihat masih dalam taraf wajar.
Bagaimana sebaiknya sikap pers agar tidak terjebak menÂjadi joki politik?
Apabila wartawan ingin menÂjadi tim sukses salah satu paslon (pasangan calon), atau ketika pemilu legislatif ingin menjadi caleg, maka sebaiknya cutilah dulu. Atau yang lebih terhorÂmat mengundurkan diri secara permanen. Lapor ke tempat dia bekerja, lapor ke organisasi di mana dia berinduk dan orÂganisasinya nanti akan lapor kepada Dewan Pers. Lalu kita cabut kartu kompetensi warÂtawannya. Sebab, saat sudah jadi politikus, tak perlu lagi karÂtu kompetensi wartawan. Proses ini membutuhkan kerja sama dan dukungan dari semua pihak. Kalau tidak, Dewan Pers nantiÂnya hanya berteriak-teriak, tapi ya joki-joki politik masih berkeliaran.
Berita hoax akhir-akhir ini sangat marak. Apakah media sosial berperan paling besar dalam penyebaran berita-berita hoax itu?
Iya. Dan saya melihat, periÂlaku resources di institusi media juga kini mengalami perubaÂhan. (Universitas) Paramadina melakukan penelitian terhadap 352 wartawan. Wartawan ge-nerasi muda, fresh graduated. Mereka, bangun tidur langsung berpikir, apa bahan untuk diliput atau ditulis hari ini. Mereka lalu membuka media sosial, menÂcari isu yang sedang menarik. Hasilnya, 87 persen responden mendapat ide menulis berita dari media sosial.
Ini artinya ada lingkaran beÂgini: berita hoax disebarkan di media sosial, lalu ramai-ramai dimuat di media online. Dari media online, akan muncul di televisi dan media mainstream. Lalu akhirnya jadi viral lagi di media sosial. Begitulah siklusÂnya. Jadi, jangan kaget kalau sekarang banyak orang menjadi media buzzer. Bekerja untuk para calon dan kepentingan politik sesaat. Tugas mereka menciptakan berita, dimuat di situs-situs yang bisa dimatikan dan dihidupkan, kemudiÂan diÂkutip dan disebarkan ke grup-grup pembicaraan seperti WhatsApp. Mereka juga membuka akun-akun palsu, salÂing follow, dan seterusnya.
Melihat fenomena seperti ini, bagaimana posisi Dewan Pers?
Pertama, kami meminta warÂtawan tidak mengutip sumber di media sosial tanpa verifikasi. Kedua, ada tanda verifikasi dari Dewan Pers untuk meÂdia. Lainnya, program media literasi, bekerja sama denÂgan pemerintah, civil society dan masyarakat anti-hoax ke daerah-daerah untuk mengÂkampanyekan media yang sehat. Masyarakat harus diberitahu agar bisa membedakan, mana berita yang benar dan mana yang hoax. Jangan percaya dan langÂsung meneruskan berita yang tak jelas. Pertimbangkan dulu, pikir dan konfirmasi. Verifikasi dulu, ada enggak berita itu di media lain. Kalau ada dan faktanya sama, baru disebar.
Kami juga mengajak teman-teman pers meneguhkan kemÂbali jati diri pers, dan mengemÂbalikan otoritas kebenaran publik pada pemberitaan media mainstream. Jadi, apabila orang meragukan sebuah berita, maka dia bisa merujuk kepada meÂdia yang benar, yang dikelola oleh orang-orang yang kompeten. Media mainstream harus bisa menÂjadi rujukan, untuk menguji sebuah informasi, benar atau tidak.
Bagaimana mekanisme ve-rifikasi Dewan Pers kepada media?
Media yang telah diverifikasi, akan ada logonya, dengan Quick Response (QR) code. Logo ini nanti dikembangkan secara teknologi. Sehingga, jika QR code-nya difoto, akan langsung terkoneksi dengan URL medianya atau link-nya dan nama penanggung jawab, alamat redaksi, nomor teleÂpon, dan seterusnya. Juga ada nomor registrasi Dewan Pers medianya.
Jika QR code dipalsukan, ketika difoto dengan smartphone, akan blank, tidak muncul daÂtanya. Dengan cara ini, orang menjadi tahu, mana media benar, trusted media yang beritanya bisa dipercaya, mana yang tidak. Langkah ini meruÂpakan follow up dari piagam Palembang 2012.
Piagam Palembang adalah kesepakatan yang ditandatanÂgani oleh 18 pemimpin meÂdia nasional, pada 9 Februari 2010 di Palembang, Sumatera Selatan, saat peringatan Hari Pers Nasional, yang disaksiÂkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Para pimpinan media nasional saat itu sepaÂkat melaksanakan sepenuhnya KEJ (Kode Etik Jurnalistik), Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan dan Standar Kompetensi Wartawan. ereka menyerahÂkan pelaksanaanya kepada lemÂbaga independen yang dibentuk Dewan Pers. Logo atau tanda khusus akan diberikan kepada perusahaan pers yang dinilai teÂlah diverifikasi dan diratifikasi.
Berapa banyak media yang sudah diverifikasi?
Saat ini, ada 43.300 media, dan data Dewan Pers tahun 2015 menunjukkan, yang baru terverifikasi hanya 247. Bisa kita tanya: puluhan ribu lainnya itu apa? Ya, abal-abal, hoax, mengutip sumber yang sudah ada, diputarbalikkan faktanya dan sebagainya.
Bagaimana dengan proÂgram standar kompetensi wartawan. Apakah masih terus berjalan?
Iya, tentu. Kami menerapÂkan standar kompetensi warÂtawan. Apalagi, Indonesia kini masuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sejak tahun lalu. Beberapa profesi dimungkinkan diisi oleh orang-orang asing, sehingga standar kerja yang ditetapkan tingkatnya internaÂsional. Ini menuntut kompetensi wartawan juga harus jauh lebih baik. Mereka harus bisa berÂbahasa Inggris, harus mampu bersaing dengan wartawan dari negara lain. Wartawan Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, dan lain-lain yang kemungkinan juga bekerja di Indonesia. Karenanya, dibutuhÂkan peningkatan skill, kemamÂpuan dan kualitas pendidikan. Ini harus dikejar.
Masyarakat pers harus menÂdorong pemerintah membuat satu sekolah jurnalistik. Seperti yang pernah digagas di HPN Palembang, ide ini harus diÂwujudkan dan menjadi salah satu alat melahirkan talent. Wartawan-wartawan terbaik mesti lulusan dari sekolah itu dan menjadi tenaga yang siap pakai. Dewan Pers mencatat, sejauh ini baru sekitar 12 ribu wartawan yang sudah mendapat sertifikasi melalui uji kompetensi.
Bagaimana kompetensi wartawan Indonesia secara umum, dibandingkan dengan standar internasional?
Di banyak daerah, kita me-nemukan ada mantan loper koran yang bikin kartu nama, name tag dan mengaku warÂtawan, tapi tidak tahu menulis dan tidak bisa bertanya. Saat ini, ada gap antara media-media besar yang wartawannya proÂfesional, dibandingkan dengan media-media kecil di daerah yang badan hukumnya pun tidak jelas, tidak digaji, dan menyandarkan hidup pada belas kasihan naraÂsumber. Dengan adanya standar kompetensi, maka wartawan dari katagori seperti ini bisa dicegah.
Misalnya saat saya hendak mewawancarai narasumber. Narasumber bertanya, "Anda dari media mana?" Saat diÂjawab dari apalah dot com, misalnya, narasumber bisa saja merespons, "Lho saya tidak perÂnah dengar nama media anda." Narasumber lalu bisa bertanya lagi, "Punya kartu kompetensi tidak?" Nah, saat saya tidak bisa menunjukkan kartu komÂpetensi, maka narasumber bisa menolak diwawancara. Yang seperti ini, ditolak saja, dariÂpada isi beritanya kacau. Atau sudah melayani wawancara dua jam, ujung-ujungnya minta duit.
Bagaimana Dewan Pers mencermati keberpihakan media? Misalnya, sikap awak redaksi yang harus profesional, tetapi berpotensi terbentur dengan kepentingan pemilik?
Itu salah satu kesulitan. Dewan Pers tak bisa menjangÂkau pemilik. Tapi Dewan Pers menginginkan newsroom harus dijaga se-independen mungkin. Jaminan itu bisa diberikan jika yang jadi pemimpin dan petinggi redaksi adalah orang-orang dengan integritas terÂbaik. Jangan sampai seseorang ditunjuk menjadi Pemimpin Redaksi hanya karena dia jadi tim sukses. Tanpa integritas, tanpa kompetensi, berarti tak kenal etika dan tidak tahu menÂjaga ruang independensi di newsroom.
Berapa banyak pengaduan terhadap pers, sepanjang tahun 2016?
Di tahun 2016, ada sekitar 670-an pengaduan. Lebih dari 90 persennya selesai. Baik seleÂsai di sidang ajudikasi, atau daÂlam bentuk PPR (Penyelesaian Pendapat dan Rekomendasi) Dewan Pers. Ada juga yang kita rekomendasikan ke kepolisian karena ada unsur pidananya.
Terbanyak yang diadukan media mainstream atau abal-abal?
Ya, dua-duanya. Yang meng-adukan media abal-abal, kita dorong ke polisi. Tapi penga-duan kepada media mainstream, diselesaikan di Dewan Pers. Yang abal-abal ini, ujung-ujungnya, misalnya, meminta uang kepada narasumber. Jika tak diberi, ditulis yang jelek-jelek dan terus dikembangkan.
Misalnya, ada pemberitaan seorang kepala daerah korup-si, tapi tidak ada wawancara kepala daerahnya, tidak ada wawancara aparat penegak hukumnya, dan dalam tulisan juga tidak ada bukti unsur korupsinya. Hanya ada orang komentar dan menuduh saja. Lalu, kepala daerah ini melapor ke polisi. Dan polisi melapor ke Dewan Pers. Mereka meÂnyebut, ada bukti pemerasan oleh oknum wartawan. Ya, kita rekomendasikan, "Kalau begitu, silakan itu pasien Bapak. Itu sudah pidana." Saat diproses di kepolisian dan sampai di penÂgadilan, Jaksa meminta ada ahli dari Dewan Pers. Saya yang diÂtugaskan. Kini, orangnya sudah dipidana penjara 8 bulan.
Intinya, jika bukan produk jurnalistik, silakan diproses hukum. Juga ada pengaduan tentang berita-berita hoax. Biasanya, saat menangani yang begitu-begitu, polisi akan berÂtanya ke Dewan Pers. Apakah media ini terverifikasi atau tidak. Lalu kami di Dewan Pers memberi penilaian. Oh, ini abal-abal nih. Badan hukumnya tidak jelas, beritanya melintir-melintir, silakan diproses hukum, dan setÂerusnya. Ada juga media yang sudah diblokir, lalu dengan cepat pindah domain. Diblokir, pindah dan bikin domain baru lagi.
Berarti pemblokiran nggak efektif?
Tidak efektif. Seharusnya dilakukan dua hal. Pertama, kalau khawatir menimbulkan efek viral, ya diblokir dulu. Kedua, segara dicari pengeloÂlanya. ***
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
UPDATE
Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17
Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13
Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06
Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47