SEKALI tepuk dua nyawa lebih tepat dikatakan terhadap keputusan Menteri BUMN telah menghentikan langkah karir Dirut Pertamina Dwi Sucipto sekaligus dengan Wakil Dirut Ahmad Bambang melalui mekanisme RUPSLB tanggal 3 Februari 2017 telah mengejutkan publik dan khususnya di sektor migas di Tanah Air dan luar negeri.
Pasalnya dalam dua tahun terakhir di saat harga migas jatuh, akan tetapi kedua pucuk pimpinan tertinggi Pertamina ini mampu dan berhasil melakukan transformasi bisnis di Pertamina dengan "best practise" dan menjunjung tinggi prinsip GCG. Serta hasilnya bisa memberikan kontribusi laba yang tinggi mencapai Rp 40 triliun dan banyak melakukan efisiensi, tidak melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan dan suatu prestasi yang belum pernah bisa dicapai oleh direksi sebelummnya.
Tanda-tanda akan tamatnya karir kedua putra terbaik bangsa di sektor BUMN migas saat ini diawali beredarnya kabar tanggal 2 Februari 2017 sekitar jam 23.00 WIB karena awalnya beredar kabar hanya Dwi Sucipto saja yang akan diusulkan untuk dicopot dari jabatannya setelah pertemuan dewan komisaris tanggal 24 Januari 2017 dengan seluruh direksi.
Semuanya akibat terbelah kubu di internal Pertamina semakin memanas dan mencuat di ruang publik setelah heboh terhentinya beroperasi kilang Balikpapan pada 11 Januari 2017 selama 10 hari. Anehnya Direktur Pengolahan Toharso tidak langsung meninjau kilang tersebut untuk mengetahui langsung penyebabnya dan memberi dukungan moril dan arahan penanggulangan kepada karyawan di kilang, malah memilih pergi ke Bangka Belitung dan terus dilanjutkan ke Papua sampai Raja Ampat.
Adapun penjelasan Menteri BUMN dan Komisaris utama di ruang publik bahwa keputusan pencopotan ini terpaksa dilakukan untuk menghindari potensi merusak proses bisnis di Pertamina disebabkan keduanya tidak bisa akur alias tidak harmonis dan ada masalah dengan "leadership dan personality". Bukan karena perubahan struktur organisasi yang melahirkan jabatan wakil direktur dengan perluasan kewenangan dalam anggaran dasar perseroan yang dikenal "matahari kembar".
Tentu kebijakan Presiden untuk pencopotan terhadap keduanya terkesan adil di mata publik dan tentu atas dasar laporan menterinya.
Walaupun faktanya hasil RUPSLB tersebut juga memutuskan menghilangkan jabatan wakil direktur utama dalam nomenklaturnya. Artinya secara sah dan meyakinkan resuktur organisasi ini yang awalnya kami protes akan berakibat buruk bagi Pertamina akhirnya menjadi kenyataan yang tidak terbantahkan.
Sejujurnya Tim Eksplorasi sejak awal sudah memiliki informasi dan menulisnya sebagai peringatan kepada pemerintah pada 10 Agustus 2016 dengan judul "Rencana Perubahan Struktur di Pertamina Adalah Kudeta Merangkak Menyingkirkan Dwi Sucipto" ketika beredar dokumen rencana perubahan struktur organisasi Pertamina yang tidak lazim alias bukan atas kajian teknis. Tetapi katanya hanya diusulkan sepihak oleh Dewan Komisaris saja tanpa pembahasan melibatkan semua direksi pada 8 Agustus 2016, ketika saat itu Dirut Pertamina Dwi Sucipto dan Syamsu Alam dengan seorang komisaris Widyawan Prawira berada di Iran untuk melaksanakan tugas perusahaan.
Padahal saat itu publik sudah mencium aroma tak sedap di balik rencana perubahan struktur organisasi. Lebih terkesan tujuan akhirnya adalah semata-mata untuk mendepak Dwi Sucipto dari singgasananya daripada tujuan strategis perusahaan ke depan dalam mempersiapkan rencana pembentukan holding migas. Sesungguhnya yang terbaca adalah Rini Soemarno sudah tidak merasa nyaman dengan langkah Dwi Sucipto yang dianggapnya telah menikam dari belakang di saat resuffle kabinet tanggal 27 Juli 2016. Ketika itu beredar kabar kuat Rini Soemarno termasuk salah satu yang akan terdepak dari Kabinet Kerja Jokowi.
Ketika Meneg BUMN Rini Soemarno pada 20 Oktober 2016 menyetujui usulan perubahan struktur dengan tambahan jabatan wakil direktur utama, itulah titik awal terjadinya perpecahan di internal Pertamina semakin memicu terpolarisasi menjadi dua kubu dan mulai berimplikasi terhadap semua proses bisnis "best practice". Yaitu terkendalanya penunjukan definitif sekitar 34 jabatan strategis di beberapa direktorat, terjadi rusaknya kilang selama lima kali dalam periode 45 hari sejak 2 Desember 2016. Ketika pelantikan Direktur Pemasaran dan Niaga oleh Iskandar dan Direktur Pengolahan Toharso tanpa melalui proses yang normal alias tanpa pembahasan dan persetujuan Direktur Utama, konon kabarnya dilakukan oleh Ahmad Bambang langsung ke Menteri BUMN dan disetujui.
Anehnya ada perbedaan keterangan asal usul perubahan struktur organisasi. Kalau menurut Tanri Abeng yang ditulis Faisal Basri diposting tanggal 3 Februari 2017 dengan judul "Rahasia Dibalik Pencopotan Direksi Pertamina", Tanri Abeng menyatakan usulan perubahan struktur itu datangnya dari Kementerian BUMN dan mereka hanya menandatangani saja. Sementara kalau menurut Rini Soemarno usulan itu datangnya dari dewan komisaris dan menteri hanya menyetujuinya saja.
Sehingga publik semakin bingung mana yang benar dari keterangan yang berbeda tersebut. Apalagi beredar dokumen hasil fit and proper test calon direksi Dwi Daryoto tanggal 30 November 2014 dengan kesimpulan "tidak disarankan untuk jabatan direksi", akan tetapi tetap diangkat dan dilantik sebagai direktur umum dan SDM Pertamina pada 8 Desember 2014 oleh Menteri BUMN. Konon kabarnya tetap diangkat karena teman sekamarnya Sudirman Said waktu pendidikan di STAN.
Tentu kalau melihat semua fakta-fakta tersebut di atas maka tidak heran publik menilai bahwa semua proses di Pertamina mulai tahap penilaian, pemilihan dan penentuan serta pengangkatan anggota Dewan Direksi, Dewan komisaris rentan intervensi kekuasaan dan dugaan telah terjadi pelanggaran terhadap UU BUMN Nomor 19/2003 pasal 16, dan Peraturan Pemerintah Nomor 41/2015 pasal 13, pasal 32, dan pasal 33, serta Keputusan Menteri BUMN Nomor 09A/MBU/2005 tentang Penilaian Kelayakan dan Kepatutan Calon Anggota Direksi BUMN.
Kalau kita merujuk Undang-Undang 40/2007 tentang Perseroan Terbatas maka atas kekisruhan hubungan antara Direksi dan telah merugikan Pertamina secara korporasi, maka selayaknya Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab. Karena dianggap telah lalai melaksanakan fungsinya sesuai Undang-undang.
Mengingat Pertamina adalah BUMN strategis yang mengurus kepentingan hajad hidup orang banyak. Dan pencopotan kedua direksinya telah menyita perhatian publik secara luas atas kesimpangsiuran informasi, maka sudah selayaknya Presiden memerintahkan Menteri keuangan utk menggunakan organ negara seperti BPK melakukan audit forensik, khususnya terhadap mekanisme proses fit and proper test dan perubahan struktur organisasi apakah sudah melalui proses yang benar dan transparan serta murni tujuan strategis atau hanya akal akalan saja. Dengan harapan proses audit ini dapat membuka tabir yang tertutup selama ini demi perbaikan tata kelola BUMN.
Hal ini sangat penting dilakukan karena stigma ada masalah "leadership dan personality" yang terlanjur dilekatkan oleh Menteri BUMN sebagai pembantu Presiden dan Komisaris Utama kepada Dwi Sucipto dan Ahmad Bambang yang telah banyak berjasa untuk negara di lingkup tugas BUMN selama lebih kurang 33 tahun tidaklah dibaca publik sebagai pembunuhan karakter, sebuah upaya cuci tangan Rini Soemarno.
Terkecuali di kemudian hari mereka terjerat kasus hukum soal korupsi selama pernah menjabat oleh penegak hukum adalah suatu hal lain.
Karena kalau stigma buruk tersebut tidak direhabilitasi oleh Menteri BUMN terhadap DS dan AB maka tamatlah kesempatan mereka untuk bisa mengabdi kembali bagi bangsa dan negara di BUMN di saat umur menjelang pensiunnya, tragis memang. Jangan jangan Rini Soemarno lagi menggunakan jurus "muka buruk cermin dibelah".
[***]
Penulis adalah Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)