Sebelumnya hubungan KontraS dan Komnas HAM selalu harmonis. Kedua organisasi ini dulu kerap segendang sepenarian dalam menangani kasus HAM. Namun belakanÂgan hubungan keduanya menÂjadi tegang menyusul munculÂnya kabar adanya kesepakatan antara Komnas HAM dengan Menkopolhukam terkait penunÂtasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Haris Azhar cs betul-betul kecewa begitu menÂdengar kabar tersebut hingga akhirnya melaporkan Jenderal Wiranto dan Komnas HAM ke Ombudsman. Berikut penuÂturan Haris Azhar kepada Rakyat Merdeka terkait laporan KontraS terhadap keduanya;
Anda melaporkan Menkopolhukam dan Komnas HAM ke Ombudsman lanÂtaran Anda menganggap kedÂuanya melakukan maladminÂistrasi. Apa yang melandasi pemikiran itu?
Pertama, kalau dilihat dari peraturan tentang Kemenkopolhukam, tugasnya dia hanya mengkoordinasiÂkan kementerian yang ada di bawahnya, bukan merumuskan satu penyelesaian hukum, atau membuat suatu kebijakan dan model yang berimplikasi pada hilangnya penegakan hukum. Menjadi masalah serius ketika hukum tidak digunakan kepada sebuah tindak pidana. Apalagi ini tindak pidana berat yang enggak sembarangan. Enggak bisa levelnya sekelas menteri memutuskan begitu saja.
Jadi patut diduga dia (Menkopolhukam) menyalahgunakan wewenangnya. Kedua, menurut undang-undang dia enggak boleh menggunakan kewenangannya untuk membuat suatu kebijakan yang berimplikasi terhadap keÂpentingan pribadinya.
Jadi patut diduga dia (Menkopolhukam) menyalahgunakan wewenangnya. Kedua, menurut undang-undang dia enggak boleh menggunakan kewenangannya untuk membuat suatu kebijakan yang berimplikasi terhadap keÂpentingan pribadinya.
Di mana kepentingan pribÂadinya? Dalam kasus-kasus yang akan menjadi objek seperti Trisakti Semanggi kan Wiranto disebut-sebut sebagai pihak yang bertanggung jawab. Hari ini dia menggunakan kekuasaannya untuk menutupi kewajibannya bertanggung jawab, itu enggak boleh.
Hakim aja enggak boleh perÂiksa perkara yang pelaku atau korbannya ada hubungan darah. Nah ini Wiranto bukan pemilik otoritas hukum, tapi menggunaÂkan kewenangan pada dirinya.
Tetapi bukankah Ketua Komnas HAM sudah memÂbantah ada kesepakatan unÂtuk melakukan rekonsiliasi dalam penyelesaian kasus peÂlanggaran HAM masa lalu. Tanggapan anda? Ah, susah kita percaya sama Komnas HAM hari ini. Komnas HAM kan juga punya kewaÂjiban mendorong proses hukum. Ngapain dia datengin Wiranto. Kalo Wiranto punya kepentinÂgan terhadap Komnas HAM, dia dateng dong ke Komnas HAM. Dia enggak tahu aja dulu bagaimana Komnas HAM mau periksa Wiranto. Komisioner Komnas HAM yang dulu ya, bukan yang sekarang.
Memang dulu bagaimana? Dulu Wiranto diundang Komnas HAM (untuk diperiksa terkait kasus pelanggaran HAM masa lalu) enggak pernah mau datang. Waktu pemeriksaan kaÂsus Trisakti, Semanggi kan nggak datang. Artinya dia meremehkan Komnas HAM, meremehkan proses hukum, membangkang hukum. Kok sekarang (Komnas HAM) dipanggil Wiranto malah datang ke sana. Itu kan artinya mereka (Komnas HAM) sedang merendahkan diri sendiri.
Tapi bukankah Wiranto yang kini duduk di kursi Menkopolhukam sangat wajar jika sewaktu-waktu mengunÂdang Komnas HAM... Kalau memang berkaitan denÂgan kepentingan publik, mesÂtinya mereka bikin konsultasi. Panggil juga dong pihak-pihak terkait, libatkan dalam diskusi. Ini kan enggak, main ngumumin aja. Ngacolah. Saya malah daÂpat informasi, ternyata empat orang (anggota Komnas HAM) yang ke Kemenkopolhukam ini jalan sendiri. Rupanya ada perÂpecahan dalam Komnas HAM. Jadi Imdadun, Siti Nurlela itu memang lagi main akrobat.
Lantas melihat kondisi itu apa Anda masih punya haraÂpan kasus pelanggaran HAM masa lalu bisa terselesaikan? Saya cukup pesimistis dan enggak banyak harapan dengan pemerintahan sekarang. Karena nama-nama terduga kuat pelangÂgar HAM-nya saja ada di sekitar Presiden Jokowi. Padahal bukti dan saksi masih banyak. Secara hukum ada undang-undang yang memerintahkan untuk menunÂtaskan. Kenapa harus cara lain. Kalau menyelesaikan dengan cara yudisial dan nonyudisial, kami sangat mendukung. Tapi kalau rekonsiliasi, kami menoÂlak.
Kenapa? Pertama, karena yudisial dan nonyudisial itu masing-masing punya prinsip. Kesamaan prinÂsipnya adalah enggak boleh merendahkan hak korban, yaitu hak atas keadilan. Sementara untuk rekonsiliasi, hak para korÂban ini tidak bisa didapat karena proses yudisialnya dihentikan. Ditambah lagi penyelesaian kaÂsusnya jadi enggak jelas.
Maksud Anda dengan jalan rekonsiliasi penyelesaian kaÂsusnya jadi nggak jelas, baÂgaimana? Iya dong. Memang sekarang kalau mau rekonsiliasi, yang mau direkonsiliasi siapa sama siapa? Renkonsiliasi harus jelas, pelakunya siapa korbannya siapa. Kalau proses yudisialnya dihentikan, berarti pelaku sebeÂnarnya kan enggak ketahuan. Jadi kami menolak itu bukan karena mau buat kegaduhan sepÂerti yang Wiranto bilang. Yang gaduh siapa? Kami mau nuntut hak para korban. Pelakunya siapa, korbannya siapa, emangÂnya enggak boleh?.
Lantas apa bedanya dengan penyelesaian nonyudisial? Non yudisial itu bukan menuÂtupi proses yudisial. Bukan artinya enggak bisa diselesaikan secara hukum, lalu diselesaikan melalui nonyudisial. Nonyudisial itu melengkapi proses yudiÂsial. Hak para korban diberikan melalui cara-cara nonyudisial. Misalnya pemulihan kerugian yang dialami oleh para korban. Selama proses yudisial berjalan, para korban bisa memperoleh pemulihan. Itu satu paket. Nah, Presiden harus ngumumin tuh, kita akan proses hukum, tapi selama proses hukum berjalan para korban akan kami pulihkan semua kerugiannya. Barangkali ada yang cacat, masih ada peluru di badannya. Itu (penyelesaian) nonyudisial.
Tapi pemerintah kan beralaÂsan memilih penyelesaian denÂgan jalan rekonsiliasi lantaran kasusnya sudah terlalu lama sehingga bukti-buktinya sulit didapat. Tanggapan Anda? Menurut saya ini soal ketidakÂberanian dan ketidakmauan negÂara aja sebetulnya. Jokowinya enggak punya pemahaman soal penyelesaian ini. Kedua, dia juga enggak punya keberanian. Yang ketiga situasinya dimanfaatkan oleh orang-orang disekitarnya yang anti-konstitusi. Jaksa Agung bilang, bagus tuh rekonÂsiliasi. Sebab bukti-buktinya sudah enggak ada. Dia baru dua tahun jadi Jaksa Agung, sudah ngomong bukti enggak ada. Sementara faktanya berkasÂnya selalu dipulangin sama Kejagung. Artinya mereka engÂgak ngelakuin tindakan apapun. Jadi dari mana dia tahu buktinya enggak ada. Itu hoax kalo dia ngomong gitu, pembohongan itu. Proses yudisial masih bisa dan penting.
Sebenarnya apa sih yang dilaporkan keluarga korban Semanggi I itu? Mereka melaporkan Presiden karena selama ini surat perÂhononan untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM masa laÂlu enggak pernah dibalas. Padahal itu hak mereka sebagai warga negara yang menjadi korban. Jadi mereka minta Ombudsman periksa Presiden. ***