TENSI politik di ibukota menjelang Pilgub Jakarta makin memanas. Mendekati hari pencoblosan, masing-masing paslon dan pendukungnya kian massif melancarkan jurus kampanye untuk melipatgandakan elektabilitas.
Sayang, persaingan politik yang diharapkan bisa berjalan sehat, telah menjurus pada gaya berpolitik yang saling menghancurkan. Fenomena tersebut sangat jelas terlihat di media sosial, dimana pembusukan terhadap para paslon sudah di luar toleransi.
Di tengah situasi yang berpotensi terjadinya konflik terbuka, diharapkan aparat negara yaitu Polri, TNI dan BIN berdiri di atas semua kelompok politik. Bila perlu pimpinan lembaga tersebut membuat pernyataan bersama untuk berkomitmen menjaga netralitas dalam Pilgub.
Pengukuhan sikap netralitas aparat negara sangat penting sebagai upaya preventif menjaga kondusifitas ibukota. Jakarta adalah parameter Indonesia, oleh karena itu sudah menjadi kewajiban aparat negara untuk menjadi pelopor terwujudnya ibukota yang kondusif.
Dan hendaknya netralitas aparat negara juga diikuti dalam tindakan di lapangan. Jangan sampai ada paslon atau pendukungnya yang meragukan netralitas aparat.
Keraguan yang tidak diinginkan itu ternyata muncul setelah Polri mengusut kasus pembangunan Masjid Al-Fauz dan dana hibah Kwarda DKI Jakarta. Sejauh ini Polri telah memanggil Sylviana Murni untuk dimintai keterangannya. Ada yang menganggap tindakan Polri ini sebagai bentuk kriminalisasi.
Kapolri Tito Karnavian menyatakan bahwa tindakan tersebut sebagai upaya menegakkan asas 'equality before the law', karena Polri juga sudah mengusut kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok.
Menurutnya, setelah kasus Ahok diusut, maka Perkap soal penundaan kasus hukum para paslon Pilkada, dikesampingkan dulu. Konsekuensinya, seluruh kasus hukum yang menimpa kontestan Pilkada akan segera diusut.
Maka, untuk menepis tuduhan kriminalisasi dan sekaligus menegaskan sikap netralitas serta menjunjung asas equality before the law, hendaknya Kapolri segera membuktikkan pernyataannya, yaitu segera mengusut semua kasus hukum yang melibatkan paslon dalam Pilkada.
Dalam kasus Jakarta, dimana akhir-akhir ini telah dihebohkan dengan berbagai kasus korupsi seperti kasus RS Sumber Waras, Reklamasi, dana CSR, pembelian tanah Cengkareng Barat dan Kedubes Inggris, maka Polri harus segera mengusutnya. Apalagi sudah ada hasil audit BPK yang menyatakan beberapa kasus telah terbukti merugikan negara.
Memang ada sebagian kasus yang tengah ditangani KPK, namun hal tersebut tidak menjadi penghalang Polri untuk mengusutnya juga. Kasus mantan Dirut Pelindo II RJ Lino bisa dijadikan preseden bahwa Polri dan KPK bisa mengusut secara bersamaan. Apalagi selama ini KPK terkesan tidak serius mengusut kasus-kasus yang melibatkan Ahok, sehingga peran Polri sangat dinantikan.
Dalam hal pengusutan kasus yang melibatkan Ahok harus diakui Polri selangkah lebih maju dari KPK. Sehingga tidak berlebihan jika Kapolri pernah sesumbar bahwa Polri yang sanggup menjadikan Ahok sebagai tersangka. Publik menunggu gebrakan Polri untuk mengusut kasus-kasus korupsi yang diduga melibatkan Ahok.
Dapat disimpulkan, netralitas aparat masih menjadi pertanyaan besar di benak publik. Mudah-mudahan seluruh aparat negara dapat menjawabnya melalui tindakan nyata. Netralitas adalah harga mati untuk mewujudkan kondusifitas selama proses pilgub, sehingga pilgub Jakarta dapat berjalan dengan lancar, damai, adil dan jujur.
[***]
Penulis adalah Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (PRIMA)