Serikat Pekerja PT PerusaÂhaan Listrik Negara (PLN) PerÂsero (SP PLN) menggelar rapat akbar SP PLN 2017 yang digelar di Kantor Pusat PLN Jakarta, 24-25 Januari 2017.
Di momen tersebut, SP PLN berharap PLN meluruskan arah kelistrikan nasional terkait proÂgram pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW). Ketua SP PLN, Jumadis Abda mengatakan, program pembangkit 35 ribu MW yang pembangunannya saat ini didominasi Independent Power Producer (IPP) atau pihak swasta berpotensi merugikan keuangan PLN senilai Rp 144 triliun pertahun.
"Untuk itu, SP PLN meminta pemerintah dan Direksi PLN mengevaluasi skema pembelian listrik dari IPP. Selain merugikan PLN, dominasi IPP juga menÂgakibatkan harga listrik yang diterima masyarakat akan jadi semakin mahal karena setiap komponen biaya listrik dibeÂbankan kepada harga jual listrik ke masyarakat," kata Jumadis di Kantor Pusat PLN, Jakarta, kemarin.
PLN juga diminta waspada terkait rencana reorganisasi PLN yang mengarah kepada konsep holding murni yang akan menjadikan Unit Induk PLN Distribusi dan Wilayah sebagai anak perusahaan.
"Ini perlu diwaspadai perusaÂhaan, karena berpotensi menimÂbulkan biaya lebih mahal untuk Rupiah per kilowatt hour (kWh) listrik yang dibeli pelanggan PLN," kata Jumadis.
PLN sendiri memastikan tidak akan tergantung pada
IndepenÂdent Power Producer/IPP daÂlam pembangunan pembangkit listrik. Langkah ini juga untuk mewujudkan target proyek lisÂtrik 35 ribu MW.
Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengatakan, perjanjian pembelian listrik antara PLN dan pemilik pembangkit listrik berbeda-beda sesuai jenisnya. Misalnya, untuk pembangkit yang masuk kategori
base loader seperti PLTU, PLTA, PLTMH, PLTG, maka PLN berani memÂbeli volume listrik 80-85 persen dari kapasitas mereka.
Sedangkan untuk pembangkit jenis pengisi saat jam sibuk atau peaker, kewajiban PLN membeli listriknya hanya 45 persen dari kapasitas. Pembangkit peaker bisa membangkitkan listrik denÂgan cepat, sehingga digunakan saat permintaan listrik sedang tinggi.
"Skema bisnis
take or pay merupakan negosiasi antara PLN dan pengembang swasta dengan persetujuan Kementerian ESDM. Dalam skema ini, PLN belum berniat membuat harga tetap saat membuat kontrak dengan pembangkit swasta," tegasnya.
PLN juga menegaskan, rasio elektrifikasi atau tingkat penÂduduk menikmati listrik 100 persen akan terjadi pada 2024. Perkiraan ini lebih cepat dari apa yang direncanakan dalam RenÂcana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2015.
"Rasio elektrifikasi 100 persen di dalam RUPTL yang baru akan terjadi lebih cepat. Sebelumnya, tahun 2027, kami dorong menÂjadi 2024," kata Direktur PerenÂcanaan PLN, Nicke Widyawati.
Untuk melakukan percepatan rasio elektrifikasi di daerah yang terisolasi dan krisis listrik, khususÂnya luar Pulau Jawa, PLN akan menggunakan '
mobile power plant', pembangkit hybrid dengan energi terbarukan baik '
on grid' maupun '
off grid' yang mengutaÂmakan energi primer lokal.
Perseroan juga menyediaÂkan
'marine mobile power plant' sebagai cadangan atau yang bergerak untuk Indonesia timur. ***