Berita

Fuad Bawazier/Net

Bisnis

Understanding Gap Antara Kemenkeu dan JP Morgan

SABTU, 07 JANUARI 2017 | 21:57 WIB

KEMENTERIAN Keuangan mencoret JP Morgan (JPM) dari daftar mitra kerjanya efektif sejak Januari 2017. Pemicunya adalah hasil riset JPM tentang Indonesia yang dinilai tidak kredibel dan berpotensi merugikan perekonomian Indonesia. Persisnya hasil riset JPM tentang ekuitas di global emerging market Nopember 2016 yang sekaligus menurunkan Indonesia dua peringkat dari overweight ke underweight.

Dengan penurunan dua peringkat ini dikhawatirkan Surat Utang Indonesia menjadi tidak menarik bagi investor khususnya investor asing portofolio. Selain itu, dengan peringkat underweight berarti Indonesia harus menaikkan suku bunganya agar Surat Utangnya bisa laku dijual. Berarti akan semakin membebani APBN.

Tentu saja hal itu membuat Kemenkeu "murka" dan layak menduga bahwa ada udang di balik batu, yaitu agar investor asing bisa memperoleh return yang lebih tinggi lagi dari investasinya pada Surat Utang Indonesia.


Padahal sejak beberapa tahun terakhir ini dan lebih-lebih tahun 2017 dan tahun-tahun selanjutnya, diperkirakan pemerintah Indonesia akan sangat bergantung pada dana utang sehingga riset JPM dinilai mengganggu program pendanaan infrastruktur pemerintah dan APBN 2017.

Sebetulnya riset JPM ini bersifat global dan jangka pendek serta menurunkan tidak saja peringkat Indonesia tetapi juga ekuitas di banyak negara lain seperti Brazil dan Turki, sementara Malaysia naik peringkat. Singkatnya, riset JPM yang berjudul 'Trump Forces Tactical Changes' ini dinilai Menkeu Sri Mulyani dan jajarannya sebagai tidak kredibel dan berpotensi merugikan Indonesia. Sejauh ini belum kedengaran reaksi marah ataupun pujian dari negara lain atas hasil riset JPM ini.

Begitu marah atau kecewanya Kemenkeu terhadap JPM dapat dilihat dari skup pembatalan kerjasamanya yang meliputi pencabutan JPM sebagai penjual utama Surat Utang Negara, sebagai peserta lelang Surat Berharga Syariah Negara, sebagai penjamin penerbitan obligasi global RI, dan pencabutan sebagai bank persepsi (penerimaan) uang tebusan pengampunan pajak.

Tidak sedikit komentar yang berbeda atas hasil riset JPM maupun reaksi keras Menkeu. Secara umum sikap Menkeu SMI mendapat dukungan luas publik. Meski demikian, Lembaga Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Ekonomi & Bisnis UI cenderung mengamini hasil riset JPM bahwa terpilihnya Trump berpotensi memberikan dampak negatif terhadap nilai tukar rupiah maupun pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebelumnya Lembaga UI ini juga sudah memberikan warningnya kepada pemerintah Indonesia melalui Economic Outlooknya kedepan. Bedanya, JPM mempunyai "otoritas" menurunkan peringkat Indonesia yang dinilai oleh Kemenkeu seenaknya sendiri tanpa alasan yang kuat dan detail. Sementara itu Ketua BKPM Thomas Lembong menghargai independensi hasil riset JPM itu dan  mengingatkan bahwa hasil riset itu bersifat jangka pendek.

Pertanyaannya adalah kenapa riset JPM yang sebenarnya rutin itu, kali ini menimbulkan kehebohan di Indonesia? Dalam pandangan saya karena terdapat understanding gap yang melatar belakangi reaksi keras Menkeu itu.

Pertama, selama ini pemerintah menganggap JPM sebagai partner "mesra dan setia" yang seharusnya membela Indonesia. Di lain pihak, JPM melihat dirinya sendiri dari dua sisi yaitu sebuah lembaga riset yang profesional dan independen sebagai salah satu sumber pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi bagi calon investor internasional. Selain itu, JPM sendiri dapat dilihat sebagai lembaga bisnis yang selalu mencari peluang mendapatkan keuntungan, yang bukan tidak mungkin dengan menghalalkan segala cara. Misalnya, bermain untuk menjatuhkan harga Surat Berharga di pasar, memborongnya, lalu menjualnya lagi setelah harga membaik (yang bisa jadi juga hasil rekayasa pasar).

Kedua, Menkeu menilai bahwa prestasi ekonomi Indonesia selama 2016 cukup bagus. Inflasi hanya 3 persen, kurs rupiah sedikit menguat atau lebih baik dari asumsi di APBN 2016 yang Rp 13.500, defisit transaksi berjalan masih di bawah 2 persen dan pertumbuhan ekonomi 5 persen. Dengan beberapa catatan prestasi itu, kenapa rating Indonesia sebagai negara tujuan investasi diturunkan sekaligus dua peringkat. Inilah yang dinilai Kemenkeu bahwa riset JPM Nopember 2016 sebagai tidak kredibel dan tidak fair.

Sementara itu, pemerintah menyadari betul bahwa utang valas negara cukup besar dan bagian kepemilikan asing atas Surat Utang Pemerintah per 31 Des 2016 telah mencapai Rp 665 triliun,- Suatu jumlah yang cukup besar bila dibandingkan dengan kemampuan likuiditas APBN, bukan sekedar rasio utang terhadap PDB. Tentu saja pemerintah mengkhawatirkan bila para investor asing itu lari gara-gara hasil riset JPM. Arus balik modal seperti itu, -bila terjadi,- bisa seketika menjungkalkan kurs rupiah terhadap valas. Di lain pihak, JPM mengarahkan hasil risetnya bukan terhadap tahun 2016 (masa lalu) tetapi sebagai rekomendasi investasi untuk tahun 2017 (masa depan). JPM melihat potensi ancaman terhadap ekonomi Indonesia di 2017. Sementara Menkeu melihat prestasi ekonomi Indonesia tahun 2016.

JPM melihat Indonesia akan sangat memerlukan suntikan cash untuk menolong APBN-nya yang dalam 10 tahun terakhir ini realisasi penerimaan pajaknya jauh di bawah target. Bahkan untuk 2016 yang lalu shortfall penerimaan perpajakannya mencapai Rp 256 triliun. Bisa jadi JPM mempertimbangkan shortfall penerimaan pajak yang berkepanjangan,- sementara defisit APBN sudah ditetapkan dalam UU maksimum 3 persen PDB,-  bisa mengakibatkan pemerintah mengalami kesulitan atau gagal bayar atas utang utangnya yang jatuh tempo.

Disini JPM bertindak sebagai advisor yang ingin melindungi atau menjaga investor dari risiko kerugian. Bukankah sekarang ini utang lama yang jatuh tempo sebagian dibayar dengan utang baru; bahkan bunga atas utang lama itu dibayar dengan utang baru atau yang biasa disebut dengan defisit keseimbangan primer APBN. Artinya utang-utang baru yang diciptakan pemerintah semakin tidak produktif. Selain itu, JPM juga mempertimbangkan ancaman kenaikan suku bunga dolar oleh The Fed dlm th 2017 yang bisa berdampak pada turunnya kurs rupiah akibat capital outflow.

Ketiga, sebetulnya JPM melakukan risetnya secara rutin dan hasilnya mengenai Indonesia juga naik- turun. Dalam bulan Maret 2016 JPM justru menaikkan rating Indonesia dari netral (sesuai ekspektasi) menjadi overweight (return di atas ekspektasi) karena melihat kedepannya Indonesia akan diuntungkan oleh perkembangan di emerging market dan turunnya suku bunga bank sehingga earning per share akan naik. Tetapi pada bulan April 2016 JPM merekomendasikan underweight (return di bawah ekspektasi) untuk investasi di sektor perbankan di Indonesia sehingga harga saham perbankan di BEI pada awal awal April 2016 turun cukup drastis. Atas kedua hasil riset di atas pemerintah tidak bereaksi seperti halnya atas riset JPM Nop 2016.

Memang dalam alam kebebasan seperti sekarang ini, para pembaca riset, survey, opini dan lain-lain perlu cerdas dan kritis karena pemelintiran atau penyulapan biasa terjadi. Misalnya tulisan David Tweed 29 Desember 2016 di Bloomberg yang  hanya mengulas singkat dan ringan perubahan kurs dan pertumbuhan ekonomi di 8 negara Asia dalam tahun 2016 bisa tiba-tiba dimunculkan menjadi berita Jokowi pemimpin terbaik se Asia dan Australia. Hal yang sama sering dinikmati para ekonom pejabat tinggi di Indonesia yang tanpa kejelasan asal-usul dan juntrungannya tiba-tiba dinobatkan dengan predikat "ini-itu" terbaik se Asia atau ASEAN dan lain-lain. Praktek seperti ini biasanya tidak gratis dan sebagai bagian dari "take and give" pemerintah dengan pasar atau pelaku pasar. Dan ini bisa terjadi bila penguasa terlalu dekat atau mesra dengan pelaku pasar. Di lain pihak, bila tiba-tiba terjadi kesalahpahaman atau benturan kepentingan, bisa menimbulkan luka yang mendalam. Jadi kata kuncinya adalah kedua belah pihak harus selalu menjaga jarak yang pas, tidak terlalu dekat atau mesra, agar tidak mudah selingkuh.

Kesimpulannya adalah telah terjadi understanding gap antara Kemenkeu dan JPM sebab yang pertama lebih menitikberatkan pada keadaan masa lalu dan hari ini (prestasi), sedangkan yang kedua (JPM) lebih menitik beratkan pada masa depan untuk tujuan investasi. Kemenkeu yang selama ini nampaknya merasa telah menjalin hubungan mesra dengan JPM sebagai partner, tiba-tiba merasa dikhianati justru di saat-saat yang sulit khususnya dalam hal rencana penerbitan surat utang negara. Kemenkeu "gagal" melihat bahwa JPM selama ini sebenarnya telah menjalankan dwifungsi sebagai researcher sekaligus pemain di pasar modal.

Saya rasa, selama ini keduanya lupa menjaga jarak yang pas. Kini kemesraan itu telah berlalu. Saran saya, pemerintah harus tetap berbuat yang terbaik dan tidak lagi mengandalkan "propaganda" pelaku pasar. [***]

Dr. Fuad Bawazier
Penulis adalah mantan Menteri Keuangan era Orde Baru

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Trump Serang Demokrat dalam Pesan Malam Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04

BUMN Target 500 Rumah Korban Banjir Rampung dalam Seminggu

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Gibran Minta Pendeta dan Romo Terus Menjaga Toleransi

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40

BGN Sebut Tak Paksa Siswa Datang ke Sekolah Ambil MBG, Nanik: Bisa Diwakilkan Orang Tua

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39

Posko Pengungsian Sumut Disulap jadi Gereja demi Rayakan Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20

Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK, Kardinal Suharyo Ingatkan Pejabat Harus Tobat

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15

Arsitektur Nalar, Menata Ulang Nurani Pendidikan

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13

Kepala BUMN Temui Seskab di Malam Natal, Bahas Apa?

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03

Harga Bitcoin Naik Terdorong Faktor El Salvador-Musk

Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58

Selengkapnya