SETELAH selesai Pilkada DKI, saling serang antar pendukung kandidat, dan merebaknya isu SARA (Suku, Agama, dll) akan selesai pula.
Itu semua hanyalah realitas khusus. Isu itu jangan dibaca dengan kaca mata realitas normal.
Banyak yang bertanya, mengapa dalam Pilkada Jakarta banyak terjadi saling serang antarpendukung kandidat? Bahkan saling serang itu menggunakan isu SARA, termasuk agama? Akankah saling serang ini berlanjut setelah Pilkada selesai?
Pilkada dan Pemilu di seluruh dunia itu bisa disebut realitas khusus. Sebagaimana pertarungan tinju, pertarungan gulat, dan aneka martial art lainnya juga termasuk realitas khusus.
Norma untuk realitas khusus memang berbeda dengan norma untuk realitas normal. Dalam realitas normal, jika ada dua tokoh atau dua pendukung tokoh saling memukul kepala bahkan dengan niat untuk saling meng-KO-kan, itu hal yang buruk. Membiarkan publik saling pukul secara fisik itu akan merusak keadaban.
Namun dalam pertarungan tinju, saling pukul itu memang dibolehkan. Bahkan jika masing-masing pihak saling menjatuhkan, bangkit lagi, jatuh lagi, pukul lagi, dengan semangat militan dan ganas, penonton akan lebih bersorak. Game of the year dalam pertarungan tinju justru selalu untuk pertarungan yang petinjunya sangat agresif saling menjatuhkan.
Tinju adalah realitas khusus. Jangan gunakan kaca mata realitas normal untuk membaca realitas khusus.
Namun tetap ada aturan main dalam realitas khusus itu. Misalnya, siapapun dilarang memukul bagian bawah perut. Siapapun dilarang menggigit kuping, seperti yang dilakukan Mike Tyson terhadap Holyfield.
Hukuman untuk yang melanggar aturan tinju sangat keras. Mereka yang melanggar aturan, skornya dikurangi. Bahkan pertarungan bisa dihentikan. Yang melanggar akan didiskualifikasi, dan dilarang bertinju untuk sekian waktu.
Ketika Tyson menggigit kuping Holyfield, ia didiskualifikasi dan dinyatakan kalah. Untuk sekian waktu Tyson dilarang bertinju.
Hal yang sama dalam Pilkada. Ia juga realitas khusus. Jangan membaca dinamika pilkada dengan kaca mata realitas normal.
Dalam Pilkada, aneka pihak dan pendukung dibolehkan saling mengkritik sekeras kerasnya. Bahkan para pendukung dibolehkan melakukan
negative campaign atau
attacking campaign. Syaratnya itu dilakukan sejauh berdasarkan data dan fakta.
Filosofi
negative campaign justru untuk kepentingan publik. Untuk rokok saja bahkan kini diwajibkan mencantumkan info negatif atas rokok. Publik layak tahu sisi negatif produk sebelum membeli. Jika setelah tahu sisi negatif produk namun masih bersikeras membelinya, itu sudah menjadi pilihan bebas individu bersangkutan.
Apalagi untuk memilih pemimpin dalam Pilkada dan pemilu. Pemimpin itu akan membuat kebijakan publik. Bulat dan lonjong kebijakan publik akan mewarnai, memberi berkah atau petaka bagi publik luas.
Sisi negatif calon pemimpin itu harus pula diketahui publik agar kita tak memilih "monyet dalam karung." Bagaimana cara tahu sisi negatif pemimpin? Caranya dengan membolehkan aneka pihak saling menampilkan sisi negatif lawannya.
Di Amerika Serikat, tak jarang FBI sendiri ikut mensimulasi sisi negatif calon presiden untuk diketahui publik. Lebih baik publik tahu sisi negatif calon presiden itu sebelum ia terpilih sebagai presiden. Jika sudah tahu dan masih memilih tokoh itu, sepenuhnya hal tersebut pilihan bebas warga negara.
Info soal Clinton pernah menghisap mariyuana ketika masa SMA beredar. George Bush yunior yang pernah mabuk dan menabrak mobil di masa muda juga beredar. FBI diduga ikut membuka info itu ke publik. Tapi kedua tokoh itu tetap terpilih sebagai presiden AS.
Sebagaimana dalam tinju, dalam Pilkada dan Pemilu tetap ada aturan main soal apa yang tak boleh.
Fitnah dan serangan atas tokoh yang tak berdasarkan data dilarang. Walau negative campaign dibolehkan tapi black campaign dilarang. Berbeda dengan negatif campaign, black campaign berdasarkan pada fitnah.
Isu agama, ras, etnik dan segala hal yang berhubungan dengan politik identitas juga dibolehkan untuk dijadikan bahan kampanye. Hak berpendapat atas perspektif agama dan sejenisnya bagian dari hak asasi. Itu dilindungi bukan hanya oleh prinsip HAM universal tapi juga oleh konstitusi demokratis.
Bukan SARA-nya tapi sisi kriminalnya yang dilarang. Sama dengan dunia tinju. Bukan saling memukulnya, tapi memukul bagian bawah perut yang dilarang.
Hate speech atau kriminal dalam pilkada itu Itu sama dengan mengigit kuping seperti yang dilakukan Tyson terhadap Hollyfield dalam pertarungan tinju.
Saling serang kandidat bahkan dengan isu politik identitas itu realitas khusus, bukan realitas normal. Segera pilkada selesai, akan selesai pula dinamika saling serang itu. Seandainyapun tersisa dendam atau kemarahan, ia hanya terisolasi di kalangan kecil masyarakat.
Karena itulah tak usah terlalu kwatir dengan mengerasnya isu agama atau etnik dalam pilkada Jakarta saat ini. Jangan dibaca realitas khusus itu dengan kaca mata realitas umum.
Yang penting aparat hukum harus tegas membedakan, yang mana negative campaign (yang dibolehkan) versus black campaign (yg dilarang). Mana isu politik identitas (SARA) yang dibolehkan vesus yang dilarang (ujaran kebencian, kekerasan, dan yang masuk dalam kategori kriminal).
Selesai pilkada, akan selesai pula sebagian saling serang itu. Sebagaimana setelah pertarungan tinju, saling pukul di antara dua petinju akan selesai pula.
Dalam pertarungan yang sportif, bahkan setelah ganas saling ingin menjatuhkan, ketika pertarungan selesai, dua petinju itu saling berpelukan dan saling memuji.
Jika setelah bertarung, ada dendam pribadi petinju yang ingin ia lanjutkan di luar ring tinju, ia akan terlempar dalam dunia tinju profesional.
Hal yang sama terjadi dalam Pilkada. Selesai Pilkada, dalam sistem demokrasi yang matang, ketiga kandidat akan meminta pendukungnya mendukung calon terpilih. Rakyat sudah bicara.
Namun jika ada kandidat yang sakit hati, atau pendukung yang ingin melanjutkan serangan di era paska Pilkada, mereka akan tersingkir dalam dunia politik praktis yang beradab.
Demikianlah realitas khusus yang jangan dibaca dengan kaca mata realitas normal.
[***]