Kabarnya, ada 175 juta hektare atau setara 93 persen luas daratan di Indonesia saat ini dimiliki para pemodal swasta/asing. Sementara, rakyat kecil dan petani rata-rata hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare.
Kondisi itu terjadi karena peÂmerintah dinilai membabi buta dalam memberikan izin dan hak eksploitasi hutan kepada pemilik modal. Baik itu untuk lahan tamÂbang, perkebunan besar, properti dan keperluan lainnya.
Lantas apa solusi yang ditaÂwarkan Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil? Berikut petikan wawancaranya;
Tanah jutaan hektare di Indonesia kabarnya sudah diÂkuasai oleh pemodal asing dan swasta. Sementara petani hanÂya menguasai rata-rata hanya 0,5 hektare. Ini bagaimana? Nah, ini kan yang jadi masalahnya adalah penguasaan tanah itu oleh undang-undang dimungkinkan.
Kok bisa begitu ya?Karena bukan orang, tapi grup dari perusahaan ya. Oleh peraturan yang ada itu dimungÂkinkan.
Padahal konstitusi negara kita mengatakan tanah, air dan udara itu digunakan harÂusnya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat?Nanti kita akan membikin kriteria yang lebih ketat. Yang lebih penting, tanah itu harus memberikan manfaat terbesar. Di bawah penguasaan oleh koÂrporasi yang penting bahwa itu memberikan manfaat. Karena yang jadi masalah selama ini adalah sistem ekonomi Indonesia yang memang (memungkinkan) sekelompok orang menguasai aset ekonomi terbesar. Termasuk tanah.
Caranya?Maka program reforma agraria termasuk untuk mengoreksi hal tersebut.
Singkron dengan PP 11?PP 11 itu intinya soal tanah terÂlantar, tapi tanah yang dikuasai oleh pengusaha-pengusaha besar berbagai macam sumbernya. Ada HGU (Hak Guna Usaha) yang kita atur, ada juga konsesi yang diatur oleh Kementerian Kehutanan. Oleh sebab itu, orang punya konsesi sampai dengan setengah juta hektare untuk HTI (Hutan Tanaman Industri). Itu untuk kepentinÂgan tanaman industri. Itu tidak ada wewenang BPN (Badan Pertanahan Nasional). BPN adaÂlah HGU untuk perkebunan.
Mengetatkan itu konkretnya seperti apa?Ke depan, mengetatkan adalah yang penting kriterianya. Tanah itu harus digunakan. Kalau itu ditelantarkan kita ambil.
Bagaimana dengan konsep land bank yang diterapkan banyak korporasi?Kalau land bank itu untuk peÂrumahan, itu tidak masalah. Tapi perumahan juga jangan cuma beli tanah kemudian biarkan kosong. Tapi memang harus suÂdah ada business plan-nya. Tapi business-plan mereka bukan untuk satu bulan, dua bulan, satu tahun, dua tahun. Tapi kalau setÂelah sekian tahun tidak dibangun apa-apa, kita akan bilang: kalau you nggak bangun kita akan sebut tanah terlantar. Kemudian sekarang mereka bikin business plan, kita ambil 20 persen untuk kepentingan umum, olahraga, hutan dan kepentingan apa saja kita ambil.
Kenapa bisa demikian?Karena begini, bangunan kota itu nggak bisa dibangun dalam satu malam. Tanpa business plan, perusahaan nggak berkembang.
Ada solusi lain nggak?Maka pemerintah bikin land bank pemerintah. Karena selama ini pemerintah nggak bikin land bank, pemerintah dimiliki oleh swasta. Mereka yang mengatur. Maka kita serius sekali mau bikin land bank pemerintah. Begitu ada land bank pemerinÂtah, mungkin jutaan hektare bisa kita kuasai.
Untuk kategori lahan apa?Mau kawasan industri, mau apa, mau apa, begitu. Bahkan kiÂta nanti akan meminta, bisa HGU atau HPL (Hak Pengelolaan) dari tanah hutan. Kenapa hutan boleh you minta, kenapa nggak kita minta. Karena land bank ini milik negara, bisa kita kontrol.
Untuk berantas mafia tanah, ada upaya apa dari Kementerian ATR saat ini?Kita kerja sama dengan kepolisian, ada dua jenderal polisi sekarang bekerja di kantor ini (Kementerian ATR), tunggu aja kita tangkap beberapa mafia tanah.
Sudah ada yang ditangkap?Tunggu saja, begitu kita tangÂkap kita akan ekspos. ***