Direktur Teknik PT Pelindo II Haryadi Budi Kuncoro dan Direktur Operasi dan Teknik PT Pelindo II Ferialdy Noerlan didakwa telah melakukan korupsi terkait pengadaan 10 unit mobile crane.
Keduanya diduga telah memperkaya korporasi dan orang lain, yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 37,9 miliar.
"Patut diduga pengadaan 10 mobile crane tersebut tak sesuai perencanaan dan terjadi penggelembungan anggaran," ujar Jaksa TM. Pakpahan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (28/11).
Kasus ini bermula ketika Direktur Utama Pelindo II RJ Lino mengusulkan pengadaan mobile crane dengan kapasitas 25 dan 65 ton untuk keperluan cabang Pelindo II pada tahun 2011. Atas usul itu, Ferialdy lantas memerintahkan Haryadi membuat kajian investasi dan menghitung harga satu unit mobil crane.
Hasil kajian menunjukkan bahwa hampir semua cabang Pelindo II tidak membutuhkan mobile crane. Kendati demikian, Ferialdy menyuruh agar Mashudi melaporkan langsung hasil kajian kepada RJ Lino.
Sedianya, pengadaan mobile crane itu akan digunakan di Pelindo II sejumlah cabang pelabuhan. Di antaranya pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Bengkulu, Teluk Bayur, Banten, Cirebon, dan Jambi.
Perbuatan Haryadi bersama Ferialdy itu dianggap bertentangan dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Permen BUMN jelas menyatakan, pengadaan barang dan jasa harus menerapkan prinsip efektif yang sesuai dengan kebutuhan.
Sesuai arahan Haryadi, biro pengadaan dan tim teknis meloloskan PT Guangxhi Narishi Century M&E Equipment (GNCE) selaku penyedia barang yang diproduksi Harbin Construction Machinery Co. Ltd (HCM).
Padahal PT GNCE tak memenuhi syarat keuangan dan syarat teknis seperti pengadaan lima unit mobile crane dalam lima tahun terakhir.
Untuk menyiasati itu, Haryadi yang diketahui merupakan adik kandung mantan komisioner KPK, Bambang Widjojanto lalu mengubah spesifikasi teknis mobile crane untuk disesuaikan dengan spesifikasi mobile crane HCM. Tujuannya agar lolos syarat adminstrasi.
Selanjutnya pada 8 Juni 2012 Pelindo II dan PT GNCE melakukan perjanjian dengan nilai kontrak sebesar Rp 45,6 miliar. Kontrak itu meliputi 10 unit mobile crane beserta pengirimannya, sertifikasi pemakaian alat pengangkutan, garansi, hingga aksesoris alat.
Usai perjanjian, Ferialdy lalu mengajukan pembayaran uang muka sebesar Rp 9,13 miliar. Pembayaran uang muka itu rupanya tidak didukung jaminan uang muka dari GNCE ke Pelindo II.
Ferialdy juga diketahui melakukan pembayaran tahap I sebesar 75 persen dan tahap II sebesar 5 persen. Padahal di satu sisi GNCE belum melakukan performance test maupun pelatihan apapun terkait proyek ini.
"Setelah dilakukan pemeriksaan pada tujuh mobile crane tipe QYL65 dan tiga mobile crane tipe QYL25 ternyata tidak layak operasi, karena mengalami kondisi tekuk pada pipa penyusun lengan," ucap Jaksa Pakpahan.
Tak cuma itu, spesifikasi teknis dan kinerja dua tipe mobile crane tersebut juga tidak sesuai rencana kerja dan syarat teknis pengadaan. Bahkan kondisi di lapangan, semua mobile crane tersebut tidak sesuai dengan data yang ada di buki petunjuk. Kondisi seluruh mobil crane tersebut diduga bekas pakai dan tidak dimanfaatkan sesuai rencana semula.
Akibatnya negara dirugikan atas proyek pengadaan 10 mobile crane ini. Total kerugian negara dalam proyek ini mencapai Rp 37,9 miliar dari nilai proyek Rp 58,9 miliar.
Atas perbuatan mereka, keduanya terancam dipidana sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 1 juncto pasal 18 ayat 1 huruf b UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Atas dakwaan ini, baik Haryadi maupun Ferialdy sepakat tak mengajukan eksepsi atau nota pembelaan. Dengan begitu, persidangan akan dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi.
[ian]