Pemerintah DKI Jakarta berencana merenovasi Lapangan Banteng di Jakarta Pusat. Sejumlah fasilitas akan dibangun di salah satu tempat bersejarah di Indonesia itu.
Kemarin sore, Lapangan Banteng tidak terlalu ramai dari pintu masuk di seberang Hotel Borobudur. Tidak terlalu banyak warga yang menikmati teduhnya suasana di bawah rindangnya poÂhon dan hijaunya daun di Taman Lapangan Banteng.
Hanya ada beberapa pekerja harian lepas (PHL) berseragam hijau dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta yang tengah membersihkan serta merawat taman. Hanya segelintir warga menikmati bangku yang tersedia.
Dari sisi ini, atau dari bagian selatan, begitu masuk, pengunÂjung disambut taman yang asri dan teduh. Di sebelah kanan, beberapa alat permainan anak-anak sedang dimainkan.
Permainannya terbilang cukup lengkap, ada papan jugkat-jungÂkit, hingga perosotan. Namun, dilihat dari warna catnya, tamÂpak sekali alat-alat permainan tersebut jarang terpakai.
Beberapa meter berjalan lurus dari pintu masuk, terdapat pula sebuah kolam dengan air mancur. Selain kolam tersebut, di taman ini terdapat beberapa kolam air mancur lain. Sayangnya, warna kolamnya tidak lagi terlihat meÂnyegarkan, akibat keruhnya air.
Beberapa orang terlihat berÂcengkerama di beberapa kursi yang memang disediakan untuk pengunjung. Tak jauh dari dereÂtan kursi-kursi taman dan kolam air mancur, ada sebuah tangga di pohon, lengkap dengan rumah buatan di bagian atasnya berdiri tegak.
Taman Lapangan Banteng terlihat terawat dan bersih dari sampah. Tempat sampah berÂbentuk buah-buahan juga terlihat tersebar di sana. Melangkahkan kaki sekitar 50 meter dari pintu masuk sisi selatan, pengunjung dapat melihat sebuah tempat yang biasa digunakan untuk peÂnyelenggaraan acara. Bentuknya tidak bulat utuh seperti teater.
Di depannya, Patung Pembebasan Irian Barat berdiri tegak. Pada bagian bawahnya, terdapat sebuah lorong. Biasanya, lorong itu dipergunakan warga untuk beristirahat, berlindung dari panas dan hujan. Beberapa pedaÂgang memanfaatkan area itu unÂtuk menjajakan dagangannya.
Di bagian utara Lapangan Banteng, terdapat beberapa lapangan untuk fasilitas olahraÂga. Sebuah lapangan sepakbola ukuran besar, dua buah lapangan sepakbola ukuran kecil, dan dua buah lapangan basket.
Lapangan sepakbola berukuÂran besar menjadi tempat yang paling ramai dikunjungi warga sore itu. Sejumlah anak-anak terlihat sibuk mendengar arahan dari pelatih yang sedang melatih mereka.
Sedangkan di sebelahnya, tampak sejumlah warga asing berkulit hitam sedang bermain sepakbola menggunakan rompi hijau dan kuning. Di lapangan sepakbola yang berukuran lebih kecil, sejumÂlah remaja tertawa ceria sambil bermain sepakbola mini.
Pemandangan berbeda justru tampak dari dua buah lapangan basket yang berada persis di seberang Masjid Istiqlal. Dari dua lapangan yang ada, hanya satu lapangan yang terpakai. Itu pun hanya dua sampai tiga orang yang sedang bermain di sana.
Rencananya, lapangan berseÂjarah ini akan direnovasi pada akhir November 2016 dan akan rampung pada Agustus 2017 mendatang. Namun, berdasarkan pengamatan
Rakyat Merdeka, kemarin, belum ada persiapan pengerjaan renovasi.
Sejumlah warga pengunjung Lapangan Banteng setuju dengan ide renovasi Lapangan Banteng. Jan Somer, pelatih sepakbola yang biasa melatih anak-anak di Lapangan Banteng salah satunya. Menurutnya, untuk tujuan baik, rencana renovasi Lapangan Banteng harus didukung. Namun, kata dia, hendaknya renovasi bukan malah menyÂingkirkan komunitas yang telah terbentuk sebelumnya.
"Karena ada beberapa pengalaÂman, ketika tempat itu diperbaiki, komunitas yang lama malah tersÂingkir. Kalau bisa dipertahankan, apalagi di sini saya membina anak-anak usia dini yang masih harus dibentuk agar tidak terjeruÂmus ke dalam kegiatan negatif," katanya saat ngobrol dengan
Rakyat Merdeka. Lebih lanjut, usia anak-anak yang dilatihnya merupakan usia rawan yang perlu dibenÂtuk. Caranya adalah dengan memberinya kegiatan-kegiatan positif. "Jika nanti malah tersÂingkir, kita tak tahu mereka ke depannya akan seperti apa. Kalau kita tanamkan yang positif setiap hari, kita bisa punya pandangan bahwa ke depannya akan bagus," ucap Jan yang mengenakan kaos olahraga biru.
Perbaikan fasilitas juga diÂharapkan Sisko. Sore itu, usai lari bersama dua orang rekanÂnya, Husna dan Mika, Sisko setuju dengan rencana renovasi Lapangan Banteng. "Kalau bisa bahan lapangan untuk kita lari, diganti menjadi bahan tartar. Karena akan lebih nyaman buat kita," kata Sisko yang tergabung di klub lari Meteor ini.
Hampir tiap sore dia berolahÂraga di tempat tersebut. Namun, kegiatannya terpaksa dihentikan jika hari sudah menjelang gelap. Karena, pengelola tidak menyeÂdiakan lampu penerangan di
jogging track.
"Ya terpaksa bubar kalau gelap. Kalau ada lampu, malam hari mungkin juga akan ramai. Kita juga bisa mengikuti arahan pelatih. Kalau sekarang, hanya di bagian yang dekat dengan tribun yang ada lampunya, sedangkan di seberang gelap kalau malam," jelasnya.
Kepala Dinas Olahraga dan Pemuda (Disorda) DKI Jakarta Firmansyah menyampaikan, sebuah lapangan dikatakan berÂstandar internasional jika memiÂliki berbagai fasilitas penunjang. Salah satunya adalah ukuran lapangan.
"Kalau standar internasional itu dari ukuran, serta fasilitas pendukung seperti toilet, ruang ganti,
office untuk pertandÂingan, media centre itu ada semua. Sekarang belum ada di sana. Kami minta tidak hanya lapangan saja, tetapi siap untuk event," katanya.
Latar Belakang
Punya Sejarah Penting, Lapangan Banteng Awalnya Lapangan Singa
Lapangan Banteng meruÂpakan satu tempat yang memÂpunyai sejarah penting pada masa lalu. Lapangan tersebut berada di wilayah Jakarta Pusat, dikelilingi oleh Masjid Istiqlal, Gereja Katedral, Gedung Kementerian Keuangan dan Hotel Borobudur.
Kawasan yang tidak jauh dari Monumen Nasional itu cukup populer di telinga masyarakat. Dalam buku berjudul
"Djakarta Tempo Doeloe", disebutlan asal-usul nama Lapangan Banteng.
Menurut buku tersebut, tanah lapang yang disebut Lapangan Banteng itu dahulunya berÂnama
Waterloo-Plein (plein yang artinya lapangan) Weltevreden Batavia. Pada masa itu, Lapangan Banteng dikenal dengan sebutan Lapangan Singa.
Penyebabnya, di tengahnya terpancang tugu peringatan kemenangan pertempuran di Waterloo, dengan patung singa di atasnya. Pertempuran Waterloo terjadi pada 18 Juni 1815 di dekat kota Waterloo, sekitar 15 km setelah Ibu Kota Belgia, Brussels.
Pertempuran itu merupakan pertempuran terakhir Napoleon dengan pasukan Inggris-Belanda-Jerman. Pertempuran itu juga dicatat dalam sejarah sebagai penutup dari seratus hari sejak larinya Napoleon dari pulau Elba.
Sedangkan Tugu Singa didiÂrikan pada era pemerintahan pendudukan tentara Jepang (1942-1945). Setelah Indonesia merdeka namanya diganti menÂjadi Lapangan Banteng.
Rasanya memang lebih teÂpat, bukan saja karena singa mengingatkan kita pada lamÂbang penjajah, tetapi juga tidak terdapat dalam dunia fauna Indonesia. Sementara itu banteng merupakan lambang nasionalisme.
Pada saat Gubernur Belanda JPCoen berkuasa dan membanÂgun kota Batavia di dekat muara Ciliwung, lapangan tersebut dan sekelilingnya masih berupa hutan belantara yang sebagian berpayau-payau.
Kini, Lapangan Banteng diisi sejumlah taman dan beberapa lapangan olahraga, dan sebuah Monumen, namanya Monumen Pembebasan Irian Barat. Akhir bulan ini, Lapangan Banteng akan direnovasi.
Renovasi tersebut berupa penambahan fasilitas dan pemÂbuatan danau kecil di sekeliling Monumen Pembebasan Irian Barat. Lapangan Banteng dengan wajah baru ditargetkan rampung pada Agustus 2017. ***