Kontestasi politik dengan tensi tinggi saat Pilpres 2014 lalu karena hanya diikuti dua pasangan calon, yakni Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Semua terpolarisasi mulai dari jagad dunia maya hingga perbincangan di warung kopi.
Hal serupa juga terjadi di kalangan media. Masing-masing pasangan capres memiliki media pendukung. Prabowo-Hatta dengan dukungan dari TVOne dan MNC Grup bertarung melawan Jokowi-JK yang di-back-up Metro TV dan Grup Tempo.
"Singkat kata, saat Pilpres 2014 lalu, hampir semua media di Indonesia berpihak. Ini fenomena baru di Indonesia dan keniscayaan di dunia demokrasi modern," ujar Pemimpin Redaksi (Pemred) Tabloid Obor Rakyat Setiyardi Budiono dalam pembacaan pledoi atas dakwaan penghinaan terhadap nama baik Joko Widodo saat Pilpres 2014 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Jalan Bungur Besar, Jakarta Pusat, Senin (14/11).
Sementara posisi
Obor Rakyat, juga sama dengan media mainstream Tanah Air lain.
Obor Rakyat mengambil ceruk berita yang tak bisa diambil media mainstream. Pasalnya, dalam dunia jurnalistik setiap wartawan dituntut untuk menyajikan berita dengan sudut pandang atau angle yang berbeda.
"Persaingan pers yang sangat ketat mengharuskan wartawan kreatif dan pandai cari angle eksklusif," sambungnya menjawab tudingan bahwa
Obor Rakyat terlalu membela Prabowo-Hatta dan menyerang Jokowi-JK.
Setiyardi melanjutkan, jika ada narasumber yang merasa dirugikan dengan pemberitaan
Obor Rakyat, sepatutnya menggunakan mekanisme hak jawab. Termasuk dalam kasus ini Jokowi yang merasa telah dicemarkan nama baiknya.
"Sejak awal kami membuka pintu lebar-lebar, jika Pak Jokowi dirugikan pemberitaan
Obor Rakyat bisa menggunakan hak tersebut," pungkasnya.
Setiyardi bersama Redaktur Pelaksana
Obor Rakyat Darmawan Sepriyosa menjadi terdakwa karena penerbitan
Obor Rakyat yang kontroversi saat Pilpres 2014. Keduanya didakwa melanggar Pasal 310 KUHP tentang penghinaan nama baik seseorang dengan ancaman penjara satu tahun.
[zul]