PADA hari Jumat yang penuh berkah kemarin, Saya bersyukur diberi Allah SWT kesempatan bisa melakoni seperti apa rasanya berdesakan di antara sekian ratus ribu Saudara-Saudara Kita umat Islam di Indonesia. Dengan penuh semangat mereka berjalan kaki ke Istana Negara, untuk memohon penegakan hukum terkait penistaan iman dan aqidah Islam, Al-Qur'an dan Surat Al-Maidah ayat 51.
Hati dan perasaan Saya mengharu biru, kala menatap keluguan dan kepolosan di mata Saudara-Saudara Kita umat Islam di Indonesia yang ada disana. Sebagian besar diantara mereka bukanlah orang yang mapan secara materi. Mereka datang dengan semua kesederhanaan dirinya, hanya bermodalkan tekad dan semangat yang membara, untuk membela iman dan aqidah Islam yang diyakini dengan seluruh jiwa raganya.
Sepanjang hari Saya terus menahan air mata yang menggantung di pelupuk mata, menyadari dan merasakan kesederhanaan dan kebersahajaan mereka Saudara-Saudara Kita, yang mau mempertaruhkan segalanya hanya supaya bisa berada disana. Mereka datang berbondong-bondong dari seluruh penjuru negeri, laksana semut-semut yang tertib berbaris rapi, untuk menyuarakan jeritan hatinya dengan semangat 'rahmatan lil alamin' dan 'ukkuwah Islamiyah'.
Mungkin yang ada dalam benak mereka, hanya ini yang bisa kuberikan, membawa diriku berbaris bersama-sama saudara-saudaraku sesama umat Islam menuju Istana Negara, untuk menunjukkan di pihak mana Aku berada.
Sangat disayangkan jika ada di antara kita yang lupa, jika sampai bisa sedemikian banyak rakyat Indonesia yang datang berbaris ke Istana Negara, untuk menyampaikan jeritan hatinya kepada pemimpinnya, artinya ada jurang pemisah di antara mereka.
Semoga kita bisa berpikir jernih, sudah pasti ada miskomunikasi atau mispersepsi diantara mereka, yang paling buruk adalah saling curiga antara rakyat dengan pemimpinnya. Jika sampai itu yang terjadi, sungguh malapetaka sudah di depan mata.
Pemimpin itu ada karena rakyat yang dipimpinnya. Sangatlah ironis jika ia menghindar saat rakyat berbondong-bondong ingin bertemu dengannya. Sementara ketika ia berharap dipilih rakyatnya untuk jadi penguasa.
Ia blusukan sampai ke pelosok-pelosok negeri. Padahal semua ini terjadi tentu karena akumulasi berbagai masalah ketika Ia memimpin NKRI. Sungguh Saya terperangah, kenapa sampai bisa Presiden Jokowi lebih memilih blusukan ke bandara Soekarno-Hatta, daripada menemui rakyat Indonesia yang rindu akan ketegasan sikapnya.
Karena salah seorang bawahannya dianggap sudah semena-mena kepada agama Islam yang juga diyakininya. Sangat disesalkan karena Presiden Jokowi tidak merasa penting dan perlu bertemu dengan mereka. Artinya Presiden Jokowi sudah tidak percaya lagi, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Kita jadi mereka-reka, apakah Presiden Jokowi tahu tapi pura-pura tidak tahu, ataukah Ia tidak tahu bahwa ia tidak tahu. Apakah tidak ada seorangpun di antara orang-orang kepercayaannya yang mengingatkan semuanya ini?
Keyakinan dan filosofi kehidupan mengajarkan kita tentang hukum sebab dan akibat. Siapa yang menanam maka pasti ia yang akan memanen. Jika kebaikan yang ditanam, maka kebaikan pula yang akan dituai. Sebaliknya jika keburukan yang ditanam, maka keburukan pula yang akan dituai. Jika Presiden Jokowi mau sungguh-sungguh menyayangi seluruh rakyat Indonesia, maka sudah tentu seluruh rakyat juga akan menyayanginya. Jika Presiden Jokowi memilah dan memilih rakyatnya, maka janganlah heran jika rakyat pun akan memilah dirinya.
Sesungguhnya dilema yang dihadapi oleh Presiden Jokowi persis sama dengan dilema Ahok, mantan wakilnya. Musuh utama setiap manusia adalah dirinya sendiri. Hukum besi yang sama berlaku juga kepada Presiden Jokowi. Ahok terjerembab karena lobang yang digali oleh dirinya sendiri. Bukanlah kelasnya seorang pemimpin bangsa, jika selalu mencari 'kambing hitam'.
Apalagi jika selalu menyalahkan orang lain, atas semua kejadian buruk yang sedang menimpa dirinya. Setiap manusia selalu diberi sifat baik dan sifat jahat. Keduanya selalu bertarung dalam diri Kita. Jika sifat baik yang menang, maka baiklah orang itu. Jika yang terjadi sebaliknya, maka Ia akan jadi pemimpin yang tidak amanah, dzalim, suka berbohong dan selalu mementingkan kepentingan dirinya dan kelompoknya.
Pemimpin Bisa Datang dan Pergi, Silih BergantiKekuasaan itu adalah amanah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Siapapun kita yang mendapat karunia menjadi pemimpin, kemudian tidak amanah bahkan sampai berani melawan perintah-Nya, maka bersiap-siaplah jika seketika kekuasaan itu ditarik kembali oleh-Nya. Pemimpin itu harus siap menempuh jalan sunyi, demi menanam kebaikan di seluruh negeri.
Kala ia memegang kuasa semua orang mengaku sebagai sahabat. Semua orang selalu siap melakukan apapun yang ia minta. Tapi, ia harus waspada. Ketika kekuasaan itu dicabut darinya, masih adakah teman atau pendukung setia yang masih tersisa?
Presiden Jokowi perlu selalu menyadari, siapa kawan dan siapa lawan dalam politik selalu kasat mata. Bahkan yang sering terjadi kawan bisa jadi lawan, dan lawan bisa jadi kawan. Tidak ada kawan yang abadi, juga tidak ada lawan yang abadi. Harusnya Presiden Jokowi selalu ingat dan waspada, kawan harus dipelihara dan lawan perlu dirangkul. Jangan sampai terlena dengan kenikmatan kekuasaan.
Merasa diri paling sempurna dan tahu segalanya, serta bisa melakukan segala-galanya. Jika itu sampai terjadi, maka perlu disadari bahwa pemimpin itu bisa datang dan pergi, silih berganti. Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Tapi satu hal yang pasti, apapun yang terjadi NKRI akan tetap selalu tegak berdiri.
[***]Penulis adalah pendiri Negarawan Center