Jenderal bintang tiga Kepolisian ini menilai perhatian pemerintah kepada korban tindak pidana terorisme sangat kurang. Terutama, setelah terjadinya peristiwa bom Bali 1.
Menurutnya, hak korban tindak pidana terorisme, dalam upaya pemberantasan teror di Indonesia tidak serta-merta berupa penindakan hukum. Sebab, dalam setiap tindakan dan aksi terorisme, hampir seÂbagian besar mengakibatkan jatuhnya korban.
"Oleh karenanya, perhatian pemerintah kepada saksi dan korban kejahatan terorisme juga harus diperhatikan," imbuhnya.
Berikut wawancara denÂgan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius lengkapnya:
Apakah ini artinya revisi Undang-Undang Antiterorisme ke depan harus lebih berpihak kepada korban?Tidak. Pelaku, saksi, dan korÂban akan memperoleh perlakuan yang proporsional. Hanya saja dalam revisi ini hak para korban mendapat perhatian yang lebih serius. Dalam revisi undang-undang ini akan ada ketentuan kompensasi dan rehabilitasi unÂtuk para korban tindak pidana terorisme.
Bukankah soal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban?Betul. Secara eksplisit, pasal 1 undang - undang itu menyatakan, korban terorisme menderita baik secara fisik, mental, ekonomi, dan sosial dapat memperoleh kompensasi dan rehabilitasi. Namun pada Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang tindak pidana teroris, kejelasan soal korban terorisme tak dijabarÂkan secara baik.
Maksudnya?Terdapat implementasi yang kurang jelas dan tegas pada Undang-Undang Nomor 15 taÂhun 2003 tersebut. Tidak ada keÂjelasan untuk korban terorisme. Bila terduganya telah dinyatakan bersalah di pengadilan, baru ada penanganan resmi untuk korban. Padahal para korban itu bukan tujuan utamanya. Teroris hanya menyerang sarana utama saja. Tapi, korban merupakan objek mereka untuk memancing perang urat syaraf.
Kan mekanismennya meÂmang seperti itu?Kami mengusulkan supaya dalam revisi undang - undang ini dibuat aturan, kalau korban tindak pidana terorisme bisa cepat mendaÂpatkan kompensasi. Kompensasi dan restitusi dapat diberikan sebeÂlum putusan pengadilan melalui mekanisme tertentu.
Caranya?Dengan menyederhanakan birokrasi. Lakukan pengaturan pada level operasinal dan teknis, dengan cara menyusun peraturan pemerintah. Buat supaya permintÂaan kompensasi tidak harus langÂsung kepada menteri keuangan, tetapi dapat langsung ke kemenÂterian dan lembaga terkait.
Contoh konkretnya seperti apa?Contohnya korban dapat langÂsung ke Kementerian Kesehatan untuk pemberian kesehatan dan pemulihan psikologis. Kemudian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk membangun perumahan yang hancur karena bom. Semua itu dilakukan setelah berkoordinasi dengan BNPTdan juga LPSK. Setelah direvisi, ujung tombak hal ini ada di LPSK.
Kenapa LPSK dijadikan salah satu ujung tombak?Karena lembaga ini bersenÂtuhan langsung dengan korban tindak pidana terorisme. Selama ini orang-orang hanya terfokus pada pelaku. Para korban kurang mendapat perhatian.
Persoalan yang dihadapi seÂlama ini kan karena kurang kuatÂnya wewenang yang diberikan undang-undang. LPSK sebetulÂnya bisa saja meminta adanya peninjauan ulang terhadap peraÂturan itu. Tapi berhubung sedang ada revisi, hal itu bisa diatur lebih rinci dan mendalam oleh LPSK.
Maksudnya mendalam itu seperti apa?Begini, minimnya implemenÂtasi itu disebabkan masih adanya kelemahan dalam undang-unÂdang itu dalam beberapa pasal yang mengatur penanganan korban. Walaupun pemberian kompensasi, restitusi, dan rehaÂbilitasi sudah diatur dalam UUTerorisme, namun implemenÂtasinya ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
Kelemahan dalam aturan tersebut disebabkan belum jelasÂnya kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi korban terorisme. Prosedur pemberian kompensasi, restitusi, dan reÂhabilitasi terhadap korban juga masih belum rinci dijelaskan dalam undang-undang.
Begitu juga dengan belum adanya sanksi untuk pelaku yang tidak memberikan restitusi. Padahal, restitusi dari pelaku dapÂat membantu mengganti kerugian yang dialami oleh korban terorÂisme. Kali ini semuannya bisa diatur dalam revisi tersebut.
Apakah soal itu sudah dimasukan dalam pembaÂhasan?Belum. Ini baru rekomendasi dari kami. Kami berharap keleÂmahan tadi bisa dimasukkan daÂlam pasal-pasal, agar negara berÂtanggung jawab terhadap korban tindak pidana terorisme.
Kami juga berharap pada reÂvisi ini agar mendapat masukan dari LPSK. Kemarin itu saya minta Pansus untuk mengundang LPSK. Kami membuat beberapa rekomendasi, karena kehadiran negara menjadi kritikal sehuÂbungan dengan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap korban. ***